Ngainun
Naim
Jika
Anda membaca judul ini kesan umumnya ini membahas persoalan serius. Semacam
artikel untuk jurnal ilmiah. Saya kira kesan itu tidak salah meskipun
sesungguhnya isi tulisan ini hanya sebuah laporan. Hanya hasil pengamatan
sekilas saja terhadap acara Lecturer Series # 15 yang diselenggarakan oleh LP2M
IAIN Tulungagung.
Acara
yang disiarkan rutin setiap hari Rabu mulai jam 10.00-12.00 melalui aplikasi
Zoom dan YouTube ini merupakan ajang diseminasi hasil penelitian dan pengabdian
dosen-dosen IAIN Tulungagung. Lewat acara ini dosen menyebarluaskan aktivitas
akademiknya kepada masyarakat luas. Jika sebelum pandemi acara semacam ini
dihadiri peserta dalam jumlah terbatas, kini pesertanya bisa lebih dari 100
orang. Semua orang memiliki peluang untuk bergabung. Dan lagi, bisa mendapatkan e-sertifikat secara gratis.
Hari
Rabo tanggal 15 Juli 2020, ada tiga peneliti yang melakukan presentasi. Pertama
adalah Budi Harianto, S.Hum., M.Fil.I. Ia mempresentasikan pengabdian yang
berjudul “Pendampingan dan Pemberdayaan Mahasiswa dalam Pengelolaan Kegiatan
Keagaan Guna Membentengi Gerakan Radikalisme di IAIN Tulungagung”. Nah, saya
mengambil satu kata kunci untuk judul artikel ini, yaitu radikalisme.
Ada
dua hal yang disarikan dari pengabdian ini. pertama,
ideologisasi wawasan keagamaan. Budi Harianto menuturkan bahwa proses
ideologisasi wawasan keagamaan moderat dan cinta tanah air dalam kelompok
mahasiswa IAIN Tulungagung dilakukan dengan kegiatan kaderisasi internal. Paparan
teknis tentang bagaimana pendampingan yang dilakukan oleh Budi Harianto
memberikan informasi bahwa kelompok mahasiswa yang didampingi memiliki ideologi
moderat dan nasionalisme. Memang juga diakui ada mahasiswa yang—Budi
menyebutnya sebagai—“sedikit kaku” dalam pemahaman keagamaan.
Kedua, kerja
pendampingan dan pemberdayaan dilakukan oleh Budi Harianto terhadap mahasiswa
dari Fakultas Ushuludin, Adab, dan Dakwah. Dalam pengelolaan kegiatan keagamaan
untuk mencegah radikalisme di IAIN Tulungagung, Budi Harianto melakukannya
dengan indoktrinasi Islam moderat dan wawasan keagamaan.
Pembicara
kedua adalah Muhammad Ridho. Judul penelitiannya adalah “Model-model
Deradikalisasi Islam Mahasiswa di PTKIN Jawa Timur (Studi Multisitus di IAIN
Ponorogo, IAIN Madura, dan UIN Sunan Ampel Surabaya)”. Ada tiga hal yang
dibahas dalam penelitian ini, yaitu pemaknaan
radikalisme Islam, faktor-faktor determinan radikalisme Islam, dan
model-model radikalisasi Islam.
Pada
paparannya Muhammad Ridho menyampaikan bahwa mahasiswa yang diteliti memaknai
radikalisme Islam sebagai pemikiran, sikap, dan perilaku yang keras, menginginkan
perubahan sosial politik secara revolutif. Radikalisme dikembangkan melalui
tiga level, yaitu pengetahuan/pemahaman, sikap, dan perilaku. Program dan
kegiatannya dilaksanakan dengan menggunakan strategi tertutup, anti pemerintah,
dan anti kolonialisme karena semuanya dianggap sebagai penyebab ketidakadilan
dan ketidakmuran umat dan bangsa. Ada dua faktor determinan radikalisme Islam
mahasiswa PTKIN, yaitu aspek ideologis dan aspek non-ideologis. Kedua aspek ini
saling berkaitan dan mempengaruhi.
Model-model
moderasi beragama berdasarkan riset Muhammad Ridho ada dua, yaitu membiasakan
berdzikir dan penguatan berpikir ilmiah. Berdzikir dipahami sebagai metode
terapi untuk menghaluskan hati dan budi pekerti mahasiswa. Kajian ilmiah
dimaksudkan untuk menguatkan kemampuan olah pikir mahasiswa sehingga dapat
mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Mana yang bermanfaat dan mana
yang tidak bermanfaat.
Narasumber
ketiga adalah Dr. Ahmad Zainal Abidin, M.A. dengan judul penelitian “Relasi
Syiah-Sunni yang Konflik dan Damai: Studi tentang Faktor Pembentuk Kebijakan
Negara yang Berbeda di Sampang dan Yogyakarta”. Pada paparannya Dr. Zainal
Abidin menyampaikan beberapa hal. Pertama,
faktor-faktor pembentuk relasi sosial dan kebijakan di Sampang adalah; (a)
Faktor sosial; (b) Faktor budaya; (c) Faktor Politik; dan (d) Faktor Ekonomi. Masing-masing
faktor diuraikan berdasarkan penelitian cermat yang dilakukan di Sampang dan di
Yogyakarta. Sebagai tawaran kebijakan negara yang adil. Dr. Zainal menawarkan
konsep politik multikulturalisme.
Pembahas
pada LS # 15 kali ini adalah Dr. Phil. Suratno, M.A., Dosen Universitas
Paramadina Jakarta. Sebagai ilmuwan yang mumpuni, Dr. Suratno memberikan
catatan, apresiasi, dan memperkaya wawasan. Sungguh banyak informasi dan
pengetahuan baru yang disampaikan. Perspektif yang ditawarkannya semakin
memperkaya wacana dan signifikansi pengembangan penelitian di IAIN Tulungagung.
Trenggalek, Sabtu,
18 Juli 2020
Luar biasa memang IAIN Tulungagung lewat kegtn seperti bs jd motivasi tersendiri utama nya Bg dosen2 muda untuk terus lbh produktif
BalasHapusTerima kasih Mas Irfan. Ini cara untuk diseminasi secara sederhana. Tampil secara umum di Zoom bukan persoalan sederhana. Mengundang ilmuwan dari kampus lain juga banyak manfaatnya. Alhamdulillah, sudah 15 kali terlaksana.
HapusMantabb Proff
BalasHapusNarasumber pertama yang mantap
HapusLuar biasa Prof.
BalasHapusMatur suwun Mas
HapusTerima kasih Bapak Prof Ngainun, belajar pengetahuan baru..
BalasHapusSama-sama
Hapus😍😍😍
BalasHapus👍👍👍👍
Hapus