Sabtu, 18 Juli 2020

Radikalisme, Model-model Deradikalisasi, dan Relasi Syiah-Sunni


Ngainun Naim


Jika Anda membaca judul ini kesan umumnya ini membahas persoalan serius. Semacam artikel untuk jurnal ilmiah. Saya kira kesan itu tidak salah meskipun sesungguhnya isi tulisan ini hanya sebuah laporan. Hanya hasil pengamatan sekilas saja terhadap acara Lecturer Series # 15 yang diselenggarakan oleh LP2M IAIN Tulungagung.
Acara yang disiarkan rutin setiap hari Rabu mulai jam 10.00-12.00 melalui aplikasi Zoom dan YouTube ini merupakan ajang diseminasi hasil penelitian dan pengabdian dosen-dosen IAIN Tulungagung. Lewat acara ini dosen menyebarluaskan aktivitas akademiknya kepada masyarakat luas. Jika sebelum pandemi acara semacam ini dihadiri peserta dalam jumlah terbatas, kini pesertanya bisa lebih dari 100 orang. Semua orang memiliki peluang untuk bergabung. Dan lagi, bisa mendapatkan e-sertifikat secara gratis.
Hari Rabo tanggal 15 Juli 2020, ada tiga peneliti yang melakukan presentasi. Pertama adalah Budi Harianto, S.Hum., M.Fil.I. Ia mempresentasikan pengabdian yang berjudul “Pendampingan dan Pemberdayaan Mahasiswa dalam Pengelolaan Kegiatan Keagaan Guna Membentengi Gerakan Radikalisme di IAIN Tulungagung”. Nah, saya mengambil satu kata kunci untuk judul artikel ini, yaitu radikalisme.
Ada dua hal yang disarikan dari pengabdian ini. pertama, ideologisasi wawasan keagamaan. Budi Harianto menuturkan bahwa proses ideologisasi wawasan keagamaan moderat dan cinta tanah air dalam kelompok mahasiswa IAIN Tulungagung dilakukan dengan kegiatan kaderisasi internal. Paparan teknis tentang bagaimana pendampingan yang dilakukan oleh Budi Harianto memberikan informasi bahwa kelompok mahasiswa yang didampingi memiliki ideologi moderat dan nasionalisme. Memang juga diakui ada mahasiswa yang—Budi menyebutnya sebagai—“sedikit kaku” dalam pemahaman keagamaan.
Kedua, kerja pendampingan dan pemberdayaan dilakukan oleh Budi Harianto terhadap mahasiswa dari Fakultas Ushuludin, Adab, dan Dakwah. Dalam pengelolaan kegiatan keagamaan untuk mencegah radikalisme di IAIN Tulungagung, Budi Harianto melakukannya dengan indoktrinasi Islam moderat dan wawasan keagamaan.
Pembicara kedua adalah Muhammad Ridho. Judul penelitiannya adalah “Model-model Deradikalisasi Islam Mahasiswa di PTKIN Jawa Timur (Studi Multisitus di IAIN Ponorogo, IAIN Madura, dan UIN Sunan Ampel Surabaya)”. Ada tiga hal yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu pemaknaan radikalisme Islam, faktor-faktor determinan radikalisme Islam, dan model-model radikalisasi Islam.
Pada paparannya Muhammad Ridho menyampaikan bahwa mahasiswa yang diteliti memaknai radikalisme Islam sebagai pemikiran, sikap, dan perilaku yang keras, menginginkan perubahan sosial politik secara revolutif. Radikalisme dikembangkan melalui tiga level, yaitu pengetahuan/pemahaman, sikap, dan perilaku. Program dan kegiatannya dilaksanakan dengan menggunakan strategi tertutup, anti pemerintah, dan anti kolonialisme karena semuanya dianggap sebagai penyebab ketidakadilan dan ketidakmuran umat dan bangsa. Ada dua faktor determinan radikalisme Islam mahasiswa PTKIN, yaitu aspek ideologis dan aspek non-ideologis. Kedua aspek ini saling berkaitan dan mempengaruhi.
Model-model moderasi beragama berdasarkan riset Muhammad Ridho ada dua, yaitu membiasakan berdzikir dan penguatan berpikir ilmiah. Berdzikir dipahami sebagai metode terapi untuk menghaluskan hati dan budi pekerti mahasiswa. Kajian ilmiah dimaksudkan untuk menguatkan kemampuan olah pikir mahasiswa sehingga dapat mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Mana yang bermanfaat dan mana yang tidak bermanfaat.
Narasumber ketiga adalah Dr. Ahmad Zainal Abidin, M.A. dengan judul penelitian “Relasi Syiah-Sunni yang Konflik dan Damai: Studi tentang Faktor Pembentuk Kebijakan Negara yang Berbeda di Sampang dan Yogyakarta”. Pada paparannya Dr. Zainal Abidin menyampaikan beberapa hal. Pertama, faktor-faktor pembentuk relasi sosial dan kebijakan di Sampang adalah; (a) Faktor sosial; (b) Faktor budaya; (c) Faktor Politik; dan (d) Faktor Ekonomi. Masing-masing faktor diuraikan berdasarkan penelitian cermat yang dilakukan di Sampang dan di Yogyakarta. Sebagai tawaran kebijakan negara yang adil. Dr. Zainal menawarkan konsep politik multikulturalisme.
Pembahas pada LS # 15 kali ini adalah Dr. Phil. Suratno, M.A., Dosen Universitas Paramadina Jakarta. Sebagai ilmuwan yang mumpuni, Dr. Suratno memberikan catatan, apresiasi, dan memperkaya wawasan. Sungguh banyak informasi dan pengetahuan baru yang disampaikan. Perspektif yang ditawarkannya semakin memperkaya wacana dan signifikansi pengembangan penelitian di IAIN Tulungagung.

Trenggalek, Sabtu, 18 Juli 2020

10 komentar:

  1. Luar biasa memang IAIN Tulungagung lewat kegtn seperti bs jd motivasi tersendiri utama nya Bg dosen2 muda untuk terus lbh produktif

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih Mas Irfan. Ini cara untuk diseminasi secara sederhana. Tampil secara umum di Zoom bukan persoalan sederhana. Mengundang ilmuwan dari kampus lain juga banyak manfaatnya. Alhamdulillah, sudah 15 kali terlaksana.

      Hapus
  2. Terima kasih Bapak Prof Ngainun, belajar pengetahuan baru..

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.