Minggu, 07 April 2019

Menikmati Mie Razali Banda Aceh

Ngainun Naim
Bersama Mas Syahril dan rekannya

Tugas mengisi acara di Fakultas Dakwah UIN Ar-Raniry Banda Aceh usai sudah. Saya kembali ke hotel untuk istirahat. Tubuh terasa lelah setelah perjalanan panjang darat dari Tulungagung—Surabaya, lalu dilanjutkan dengan penerbangan dari Surabaya ke Banda Aceh transit Medan. Mengisi acara seharian juga lumayan melelahkan.
“Kita keluar jam 7 malam ya mas”, kata Syahril, Ketua Panitia acara via WA.
“Ok mas”, jawabku.
Ada waktu beberapa jam untuk istirahat sambil menunggu Mas Syahril datang.
Ini merupakan kedatanganku yang ketiga kali ke Banda Aceh. Kedatangan pertama tahun 2017. Saat itu aku datang mewakili Jurnal Episteme yang diundang oleh Subdit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Kementerian Agama untuk hadir dalam acara koordinasi nasional jurnal terakreditasi. Kedua kali aku datang ke IAIN Langsa Aceh sebagai pembicara sebuah acara. Dan kedatanganku pada 22-23 November 2018 ke Banda Aceh juga dalam rangka berbicara tentang dunia menulis.
Tepat pukul 19.00 Mas Syahril kirim WA. Ia sudah sampai di lobi hotel. Saya pun segera keluar kamar menuju lobi.
“Malam ini kita akan menikmati mie khas Aceh, Mas”, katanya.
Saya segera mengikuti langkahnya menuju parkir mobil. Malam itu, Mas Syahril mengajak saya menjelajahi jalanan Kota Banda Aceh yang pernah diterjang Tsunami hebat. Sambil menyetir, dia bercerita bagaimana dia bersama keluarga berjuang menyelamatkan diri dari bencana Tsunami. Sepanjang perjalanan, cerita demi cerita dituturkan dengan datar. Ada nada kepedihan, namun juga selalu memantik optimisme.
Sebuah warung yang tidak besar tampak penuh sesak oleh pengunjung. Warung itu cukup legendaris. Namanya Mie Razali. Mas Syahrul segera saja masuk. Rupanya seorang temannya sudah memesan meja khusus untuk kita bertiga sehingga kami tinggal menuju meja yang telah dipesan. Teman Mas Syahril sudah menunggu di kursi yang dipesan.
Warung Mie Razali

“Presiden Jokowi pernah makan di warung ini Mas”, kata Mas Syahrul.
Seorang pelayan segera mendekat dengan membawa daftar menu. Saya memesan mie yang menjadi khas warung itu dan jus jambu. Memang, selain kopi, saya suka dengan jus.
Pelayanan di warung ini cukup cepat. Tidak sampai sepuluh menit pesanan sudah sampai. Sepiring penuh mie dan segelas jus sudah siap untuk dinimati.
Mie dengan porsi jumbo

Saya membayangkan sulit rasanya menghabiskan mie dengan volume yang sedemikian jumbo. Tetapi ternyata dugaan saya salah. Pelan tetapi pasti mie yang sedemikian banyak masuk ke pusaran perut. Sungguh, rasa nikmat membuat saya terus saja menyantap sendok demi sendok sampai tandas tak tersisa. Ya, Mie Razali yang legendaris itu memang sangat lezat. 

Mie sesungguhnya cukup sering saya konsumsi, khususnya ketika dulu kos. Bagi anak kos, mie adalah menu penyelamat untuk mempanjang hidup. Rasa bukan lagi ukuran karena yang penting perut ada isinya. Rasa mie itu tentu saja ya hanya begitu-begitu saja. Tetapi Mie Razali berbeda. Rasanya sungguh sangat lezat.

Tulungagung, 28 Nopember 2018

2 komentar:

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.