Jumat, 24 Juli 2015

Social Capital



Oleh Ngainun Naim
Jika Anda membaca teori-teori sosial, kata 'social capital biasanya berhubungan erat dengan pemikir Prancis Pierre Bourdieu. Selain 'social capital', kata kunci lain yang juga dipopulerkan Bourdieu adalah 'habitus'.
Saya mulai mengenal tokoh ini saat kuliah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2007-2008. Waktu itu ada matamuliah Penelitian Filsafat yang diajar oleh Dr. Haryatmoko. Dr. Haryatmoko yang lulusan Prancis memang dosen yang memiliki wawasan keilmuan filsafat sangat luas. Penjelasan yang gamblang beserta contoh kasus membuat saya mulai mengerti beberapa hal terkait tokoh dan pemikirannya.
Kini, sekitar tujuh tahun setelah diajar Dr. Haryatmoko, saya menemukan lagi kata yang hampir sama, yaitu 'modal sosial'. Konteksnya memang tidak secara langsung berkaitan dengan nama Pierre Bourdieu. Saya menemukan kata ini dibuku karya Prof. Hamdan Juhannis, Ph.D. Judul buku Prof. Hamdan Juhannis  cukup provokatif, yaitu Berhentilah Menjadi Orang Biasa! (Yogyakarta: Ladang Kata, 2014). Profesor muda dari UIN Makasar ini menyatakan bahwa modal sosial itu penting artinya agar kita mendapatkan apresiasi dalam kehidupan. Setiap orang yang ingin sukses dalam hidup seyogyanya memupuk modal sosial ini. Bagi mahasiswa, misalnya, modal sosial ini bisa diperoleh dengan rajin belajar.
Rajin belajar memberi peluang untuk menjadi manusia berkualitas. Manusia semacam ini memiliki peluang untuk masuk ke berbagai ruang sosial. Modal semacam ini seyogyanya diketahui dan diusahakan oleh kaum muda yang sedang menuntut ilmu. Modal wajah saja tidak cukup. Tampan atau cantik saja bukan jaminan sukses dalam hidup. Idealnya memang perpaduan keduanya. Ya tampan atau cantik sekaligus pintar. Jika tidak terlalu tampan atau cantik, pinter itu menjadi alternatif yang semestinya diusahakan. Caranya ya rajin belajar.
Rajin belajar bukan hanya membuat kita memiliki modal sosial, tetapi juga membuat kita menjadi manusia yang bijaksana. Prof. Nadirsyah Hosen melalui buku terbarunya, Dari Hukum Makanan Tanpa Label hingga Memilih Madzab yang Cocok (2015: xxxi) menasehati, "Ayo kita terus belajar! Jangan pernah berhenti belajar agar tidak gampang protes dan menyalah-nyalahkan orang lain terus".
Tentu ada banyak lagi manfaat yang bisa digali dari belajar. Intinya adalah mari terus belajar agar kita tidak sombong. Orang yang mau belajar akan tahu bahwa ilmunya sedikit. Karena itu tidak mungkin sombong. Jika ada yang sombong berarti dia tidak tahu kalau ilmunya masih sedikit. Salam.

Trenggalek-Tulungagung, 23-24 Juli 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.