Beberapa orang teman yang memiliki minat di dunia menulis sering berdiskusi
dengan saya mengenai naik turunnya semangat menulis. Pada saat tertentu,
semangat menulis begitu menggebu-nggebu. Pada saat semacam ini, satu hari mampu
menulis banyak halaman. Tetapi jika kondisi sedang menurun, jangankan satu
halaman, satu alinea pun tidak mampu keluar. Rasanya ide mampat. Dipaksa
sekalipun tidak ada yang bisa ditulis.
Bukuku terbaru, Islam dan Pluralisme Agama |
Mengapa kondisi semacam itu bisa terjadi? Tidak mudah menjawabnya. Semua
penulis pasti pernah mengalaminya. Saya juga sering dilanda kondisi semacam
itu.
Ada banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Kondisi fisik yang capek,
misalnya, menjadikan menulis memang tidak mudah. Ide-ide bisa tidak keluar.
Jika capek lebih baik tidur dulu. Jangan dipaksa untuk menulis. Hasilnya tidak
akan bagus. Menulis saat bangun tidur, berdasarkan pengalaman saya, jauh lebih
segar dan mudah untuk menghasilkan karya. Kondisi fisik yang bugar, khususnya
di pagi hari, menjadikan ide-ide begitu mudah mengalir.
Macetnya ide bisa juga karena kita belum terlatih untuk menulis. Menulis
masih dilakukan pada saat-saat tertentu saja. Mereka yang menulis hanya
berdasarkan mood akan mengalami
kondisi yang semacam ini. Cara mengatasinya sederhana, yaitu dengan menulis
setiap hari. Setiap hari? Ya, menulis setiap hari.
Menulis setiap hari untuk
kemudian ditampilkan di jejaring sosial—facebook, twitter, blog—jelas bukan
pekerjaan ringan. Saya sendiri merasakan betul beratnya melakukan setiap hari.
Tetapi saya yakin itu bukan hal yang mustahil untuk dilakukan.
Sudah cukup lama saya bertekad
menulis sehari satu artikel. Untuk itu saya benar-benar harus berjuang
mewujudkannya. Godaannya jelas ada. Kadang rasa malas, kadang kondisi fisik
yang capek, kadang waktu yang tidak bisa kompromi, dan berbagai alasan lainnya.
Tetapi jika mengingat berbagai
tulisan yang saya buat agar tidak mudah mengeluh, harus bersyukur, harus
berjuang, dan berbagai energi positif lainnya, saya pun berusaha untuk menepis
berbagai godaan yang ada. Mengeluh jelas tidak banyak memberikan manfaat.
Daripada mengeluh, lebih baik saya berjuang dengan menulis. Mengeluh tidak
memberikan manfaat apa pun kepada saya. Menulis bagi saya merupakan manifestasi
dari rasa syukur.
Karunia Allah yang diberikan kepada
saya sangat-sangat banyak dan tidak terhitung. Bahkan jika pun saya harus
menghitungnya, jelas saya tidak mampu menghitungnya. Karena itu, bersyukur
harus terus-menerus saya lakukan sebagai manifestasi kehambaan saya kepada
Allah. Salah satu wujud karunia Allah yang harus saya syukuri adalah karunia
menulis.
Menulis memang tidak mudah.
Setidaknya itu pengalaman saya pribadi dan juga pendapat beberapa orang yang
pernah saya temui. Pada kerangka inilah, saya meenyebut bahwa ”Penulis Itu Makhluk Langka”. Disebut
langka karena yang mampu melakukannya hanya sedikit orang.
Sekarang coba amati sekeliling
Anda. Jika Anda seorang guru, coba Anda hitung berapa orang teman guru yang
bisa menulis. Jika total ada 50 guru, adakah 5 orang yang mampu menulis dalam makna
yang sesungguhnya? Jika hanya beberapa orang saja, maka Anda termasuk ”makhluk
langka”.
Saya sendiri mengamati hal
yang sama di kampus saya bekerja. Semua dosen memang menulis untuk kepentingan
kepangkatan. Tetapi hanya beberapa orang saja yang serius menekuni dunia
menulis. Saya kira hal yang sama juga berlaku di perguruan tinggi lain, di
instansi lain, dan di berbagai bidang kehidupan yang lainnya.
Justru karena realitas yang
semacam itulah saya harus mensyukuri anugerah Allah karena bisa menulis. Dan
wujud syukur saya adalah dengan menulis dan membagikannya kepada masyarakat
luas. Jadi, menulis merupakan manifestasi rasa syukur saya.
Menulis itu, menurut saya,
juga merupakan bentuk perjuangan. Banyak yang berpendapat bahwa menulis itu
membutuhkan waktu yang tenang, khusus, dan sedang tidak sibuk. Jika rumus ini
dipakai, barangkali saya akan sangat jarang menghasilkan tulisan. Lima hari
dalam seminggu saya harus pergi ke kantor. Berangkat dari rumah jam sekitar jam
6 pagi dan sampai di rumah setelah magrib. Hari sabtu dan minggu biasanya saya
pakai untuk kegiatan keluarga, sehingga nyaris tidak ada waktu khusus untuk
menulis.
Tetapi karena menulis itu
merupakan hobi, saya selalu berusaha menyempatkan menghasilkan tulisan,
walaupun mungkin hanya satu paragraf. Tulisan ini, misalnya, saya buat beberapa
kali. Pertama saya buat setelah shalat subuh. Menulis harus saya hentikan
karena saya harus berangkat ke kantor. Di kantor, kebetulan ada waktu senggang
beberapa menit. Kesempatan ini segera saya manfaatkan untuk menulis. Begitulah,
sebuah tulisan lahir melalui beberapa momentum dan tidak dalam satu kesempatan.
Aspek penting yang saya ingin
bagikan adalah energi positif. Tulisan-tulisan yang saya buat saya niatkan
sebagai sarana untuk memberikan manfaat kepada diri saya dan juga kepada
sesama. Semoga melalui cara semacam ini hidup saya bermanfaat dan barakah.
Agar kita bisa menghasilkan
tulisan setiap hari dibutuhkan komitmen yang kuat. Tanpa komitmen yang kuat,
sulit rasanya menjaga ritme menulis secara terus-menerus. Tetapi jika memiliki
komitmen kuat, berbagai hambatan dapat diatasi.
Kita bisa belajar dari Prof.
Dr. Imam Suprayogo, mantan Rektor UIN Maliki Malang. Prof. Imam sampai hari ini
terus saja menghasilkan tulisan-tulisan reflektif setiap hari. Dalam
perbincangan secara personal beliau mengatakan bahwa sehabis shalat subuh
beliau selalu menulis sekitar tiga sampai empat halaman. Hal itu beliau lakukan
rutin tanpa henti selama lebih dari 7 tahun.
Berkaitan dengan komitmen
menulis ini kita bisa juga belajar dari penulis senior yang juga dosen
Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Much. Khoiri. Dalam perbincangan santai di
sebuah sanggar kepenulisan di Tulungagung, Pak Emcho—sapaan akrab Much.
Khoiri—mengatakan bahwa komitmen menulis itu harus dipegang teguh. Bagi Pak
Emcho, menulis adalah hidup itu sendiri. Bagi beliau, pilihannya hanya dua:
write or die, menulis atau mati.
Anda bisa memaknai apa konteks dan kekuatan semboyan Pak Emcho ini.
Semboyan ini menegaskan betapa kuatnya spirit menulis yang beliau miliki.
Karena spirit inilah Pak Emcho mampu terus berkarya seolah tanpa henti. Di
tengah gempuran kesibukan yang seolah tanpa jeda, menulis tetap menjadi
kegiatan yang tidak bisa ditinggalkan. Menulis, menulis, dan menulis menjadi
aktivitas wajib yang mengisi hari-hari Pak Emcho.
Mungkin ini yang disebut writers block?
BalasHapusYa Bu. Seperti itu.
Hapus