Resensi buku ini pernah dimuat di Harian Duta Masyarakat edisi Minggu, 31 Agustus 2014
Judul Buku: Lentera
Ukhuwah, Indahnya Saling Menyayang dalam Dekapan Iman
Penulis: K.H.
Miftah Faridl
Tebal: 236 halaman
Penerbit: Mizania
Bandung
Edisi: Januari 2014
Peresensi: Ngainun
Naim )*
Kerukunan menjadi agenda besar yang harus terus diperjuangkan. Konflik
dalam berbagai bentuknya masih terjadi di mana-mana. Berbagai ikhtiar untuk
membangun kerukunan hidup selalu berhadapan dengan fakta rumitnya persoalan.
Seolah kerukunan begitu sulitnya untuk diwujudkan.
Fakta menunjukkan bahwa konflik dan kekerasan begitu mudahnya tersulut.
Faktor kecil dan remeh bisa dengan cepat melebar menjadi pemicu kerusuhan
sosial secara luas. penanganan persoalan yang kurang tepat menjadikan konflik
segera meluas dan berkepanjangan.
Kerukunan sesungguhnya menjadi harapan sebagian besar warga masyarakat.
Tetapi ada juga manusia yang justru menikmati dan menangguk untung dari
konflik. Bagi kelompok semacam ini, kerukunan berarti ancaman karena berbagai
keuntungan yang biasa diperoleh menjadi lenyap.
Pada tataran praktis, memang tidak mudah untuk memberikan solusi praktis bagi
terciptanya kerukunan yang berlaku universal. Setiap kasus konflik membutuhkan
penanganan secara khusus. Tetapi ada satu hal yang semestinya disadari bersama,
yakni pentingnya memberikan kontribusi pemikiran maupun aksi bagi terciptanya
kerukunan ini. Melalui kesadaran untuk selalu memberikan kontribusi
aktif-produktif, maka kerukunan yang diidealkan diharapkan dapat terwujud dalam
makna yang sesungguhnya.
Buku ini hadir dengan perspektif baru yang mencerahkan. Kehadiran buku ini
semakin memperkaya wacana dan tawaran untuk membangun kerukunan dalam makna
yang sesungguhnya. Penulis buku ini adalah seorang yang memiliki reputasi cukup
lengkap; guru besar Institut Teknologi Bandung (ITB), Pengurus Majelis Ulama
Indonesia (MUI), aktivis sosial keagamaan, dan berbagai kegiatan lain yang
cukup banyak. Selain itu, Miftah Faridl juga ilmuwan tangguh dengan puluhan
karya tulis. Pada diri Miftah Faridl terpadu secara kokoh kekuatan kerangka
teoritis dan aplikasi praktis di lapangan. Dan buku ini adalah bukti bagaimana
seorang Miftah Faridl berusaha keras membangun kontribusi bagi terciptanya
kerukunan yang senantiasa terkoyak.
Bagi Miftah Faridl, kerukunan harus diupayakan, bukan ditunggu. Ada banyak
langkah yang dapat dilakukan, mulai dari membangun basis teologi, penyadaran,
hingga langkah praktis di lapangan. Pada dimensi teologis, Miftah FAridl dengan
kedalaman argumentasinya menjelaskan bahwa iman adalah persaudaraan yang
menyebabkan orang asing pun seperti satu keturunan. Argumentasi teologis yang
dibangunnya sangat kokoh. Ia menegaskan signifikansi ishlâh yang dimaknai tidak hanya bermakna mendamaikan ketika ada
perselisihan, tetapi lebih dari itu, upaya terus-menerus (dalam segala
keaadaan) untuk menghadirkan nilai manfaat dalam diri setiap Muslim.
Pada tataran sosiologis, Miftah Faridl menawarkan perspektif yang sangat
menarik. Walaupun posisinya adalah sebagai seorang kiai dengan aktivitas sosial
keagamaan yang ketat, tetapi Miftah Faridl justru menawarkan perspektif baru
dalam membangun kesadaran umat dengan model filsafat pembebasan yang ia adopsi
dari pemikiran Paulo Freire. Pada titik ini terlihat bagaimana secara cerdas Miftah
Faridl membangun strategi memberdayakan umat dengan landasan teori yang cukup
kokoh. Namun demikian, ia tidak terjebak untuk menduplikasi gagasan Freire
dengan teologi pembebasannya. Ia merekonstruksi secara kontekstual dan
menjadikan teori Freire sebagai basis untuk menyusun teori dan strategi baru.
Freire, dengan demikian, menjadi alat analisis yang cukup menarik. Justru pada
dimensi inilah terlihat bagaimana Miftah Faridl menunjukkan dirinya sebagai
ulama dengan penguasaan khazanah pengetahuan yang luas dan mendalam.
Miftah Faridl tidak hanya menggunakan kerangka teori Freire, tetapi juga
mengembangkan strategi ukhuwwah dengan merekonstruksi Filsafat Proses Alferd
North Whitehead. Titik berangkat yang ia gunakan adalah pembacaan secara
objektif atas realitas umat yang banyak diwarnai oleh anomali. Sesama umat
Islam saling konflik, padahal ada begitu banyak persoalan yang harus dihadapi dan
dipecahkan. Pada titik inilah, Miftah merekonstruksi pemikiran Freire dan
Whitehead dan mengembangkan apa yang disebutnya sebagai ”Islam Proses”.
Islam Proses besutan Miftah Faridl ini sangat menarik karena tidak hanya
berhenti pada tataran konsep filosofis yang melangit. Ia membangun teori,
menyusun strategi, dan menerjemahkannnya dalam kerangka aksi. Buku ini menjadi
bukti tentang bagaimana penulisnya secara cerdas menerjemahkan Islam proses
yang berbasis pada ajaran Islam seperti syukur, iman, dan amal saleh. Penulis
juga menguraikan secara panjang lebar dalam strategi membangun kesadaran umat
di tengah kehidupan yang multikultural.
Membangun kerukunan adalah kerja abadi. Selama manusia hidup, perbedaan
akan selalu ada. Potensi konflik juga selalu terbuka lebar. Hal produktif yang
penting untuk dilakukan adalah membangun usaha—dalam bentuk apa pun—agar
keragaman itu bisa menjadi orkestra kehidupan yang harmonis. Jika tidak ada
usaha secara serius, kehidupan tidak lagi diwarnai dengan keindahan sebagaimana
orkestra.
Pada titik inilah, Miftah Faridl memberikan kontribusi yang cukup
signifikan. Ia tidak hanya berteori pada wilayah teologis atau filosofis
semata, tetapi juga membangun kerangka implementasi sekaligus menyusun strategi
di lapangan. Perspektif semacam ini menjadi menarik untuk melengkapi buku-buku
tentang kerukunan yang selama ini cenderung sporadis.
Pilihan menggunakan bahasa sederhana tanpa referensi ketat sebagaimana buku
ilmiah menjadikan buku ini memiliki nilai lebih tersendiri. Buku ini tidak
terjatuh pada kerangka ilmiah yang kerap sulit dicerna oleh masyarakat secara
luas. Pada titik inilah, buku ini mewakili apa yang pernah ditulis oleh
Jalaluddin Rakhmat, bahwa jika ada buku berat tetapi begitu mudah dicerna dan
dipahami maka penulisnya telah bekerja sangat keras untuk menerjemahkan
gagasan-gagasan berat tersebut. Buku ini saya kira termasuk di dalamnya.
Ngainun Naim, Dosen IAIN Tulungagung, Jawa
Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.