Jumat, 05 September 2014

Merajut Kerukunan yang Terkoyak



Resensi buku ini pernah dimuat di Harian Duta Masyarakat edisi Minggu, 31 Agustus 2014
 
Judul Buku: Lentera Ukhuwah, Indahnya Saling Menyayang dalam Dekapan Iman
Penulis: K.H. Miftah Faridl
Tebal: 236 halaman
Penerbit: Mizania Bandung
Edisi: Januari 2014
Peresensi: Ngainun Naim )*


Kerukunan menjadi agenda besar yang harus terus diperjuangkan. Konflik dalam berbagai bentuknya masih terjadi di mana-mana. Berbagai ikhtiar untuk membangun kerukunan hidup selalu berhadapan dengan fakta rumitnya persoalan. Seolah kerukunan begitu sulitnya untuk diwujudkan.
Fakta menunjukkan bahwa konflik dan kekerasan begitu mudahnya tersulut. Faktor kecil dan remeh bisa dengan cepat melebar menjadi pemicu kerusuhan sosial secara luas. penanganan persoalan yang kurang tepat menjadikan konflik segera meluas dan berkepanjangan.
Kerukunan sesungguhnya menjadi harapan sebagian besar warga masyarakat. Tetapi ada juga manusia yang justru menikmati dan menangguk untung dari konflik. Bagi kelompok semacam ini, kerukunan berarti ancaman karena berbagai keuntungan yang biasa diperoleh menjadi lenyap.
Pada tataran praktis, memang tidak mudah untuk memberikan solusi praktis bagi terciptanya kerukunan yang berlaku universal. Setiap kasus konflik membutuhkan penanganan secara khusus. Tetapi ada satu hal yang semestinya disadari bersama, yakni pentingnya memberikan kontribusi pemikiran maupun aksi bagi terciptanya kerukunan ini. Melalui kesadaran untuk selalu memberikan kontribusi aktif-produktif, maka kerukunan yang diidealkan diharapkan dapat terwujud dalam makna yang sesungguhnya.
Buku ini hadir dengan perspektif baru yang mencerahkan. Kehadiran buku ini semakin memperkaya wacana dan tawaran untuk membangun kerukunan dalam makna yang sesungguhnya. Penulis buku ini adalah seorang yang memiliki reputasi cukup lengkap; guru besar Institut Teknologi Bandung (ITB), Pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI), aktivis sosial keagamaan, dan berbagai kegiatan lain yang cukup banyak. Selain itu, Miftah Faridl juga ilmuwan tangguh dengan puluhan karya tulis. Pada diri Miftah Faridl terpadu secara kokoh kekuatan kerangka teoritis dan aplikasi praktis di lapangan. Dan buku ini adalah bukti bagaimana seorang Miftah Faridl berusaha keras membangun kontribusi bagi terciptanya kerukunan yang senantiasa terkoyak.
Bagi Miftah Faridl, kerukunan harus diupayakan, bukan ditunggu. Ada banyak langkah yang dapat dilakukan, mulai dari membangun basis teologi, penyadaran, hingga langkah praktis di lapangan. Pada dimensi teologis, Miftah FAridl dengan kedalaman argumentasinya menjelaskan bahwa iman adalah persaudaraan yang menyebabkan orang asing pun seperti satu keturunan. Argumentasi teologis yang dibangunnya sangat kokoh. Ia menegaskan signifikansi ishlâh yang dimaknai tidak hanya bermakna mendamaikan ketika ada perselisihan, tetapi lebih dari itu, upaya terus-menerus (dalam segala keaadaan) untuk menghadirkan nilai manfaat dalam diri setiap Muslim.
Pada tataran sosiologis, Miftah Faridl menawarkan perspektif yang sangat menarik. Walaupun posisinya adalah sebagai seorang kiai dengan aktivitas sosial keagamaan yang ketat, tetapi Miftah Faridl justru menawarkan perspektif baru dalam membangun kesadaran umat dengan model filsafat pembebasan yang ia adopsi dari pemikiran Paulo Freire. Pada titik ini terlihat bagaimana secara cerdas Miftah Faridl membangun strategi memberdayakan umat dengan landasan teori yang cukup kokoh. Namun demikian, ia tidak terjebak untuk menduplikasi gagasan Freire dengan teologi pembebasannya. Ia merekonstruksi secara kontekstual dan menjadikan teori Freire sebagai basis untuk menyusun teori dan strategi baru. Freire, dengan demikian, menjadi alat analisis yang cukup menarik. Justru pada dimensi inilah terlihat bagaimana Miftah Faridl menunjukkan dirinya sebagai ulama dengan penguasaan khazanah pengetahuan yang luas dan mendalam.
Miftah Faridl tidak hanya menggunakan kerangka teori Freire, tetapi juga mengembangkan strategi ukhuwwah dengan merekonstruksi Filsafat Proses Alferd North Whitehead. Titik berangkat yang ia gunakan adalah pembacaan secara objektif atas realitas umat yang banyak diwarnai oleh anomali. Sesama umat Islam saling konflik, padahal ada begitu banyak persoalan yang harus dihadapi dan dipecahkan. Pada titik inilah, Miftah merekonstruksi pemikiran Freire dan Whitehead dan mengembangkan apa yang disebutnya sebagai ”Islam Proses”.
Islam Proses besutan Miftah Faridl ini sangat menarik karena tidak hanya berhenti pada tataran konsep filosofis yang melangit. Ia membangun teori, menyusun strategi, dan menerjemahkannnya dalam kerangka aksi. Buku ini menjadi bukti tentang bagaimana penulisnya secara cerdas menerjemahkan Islam proses yang berbasis pada ajaran Islam seperti syukur, iman, dan amal saleh. Penulis juga menguraikan secara panjang lebar dalam strategi membangun kesadaran umat di tengah kehidupan yang multikultural.
Membangun kerukunan adalah kerja abadi. Selama manusia hidup, perbedaan akan selalu ada. Potensi konflik juga selalu terbuka lebar. Hal produktif yang penting untuk dilakukan adalah membangun usaha—dalam bentuk apa pun—agar keragaman itu bisa menjadi orkestra kehidupan yang harmonis. Jika tidak ada usaha secara serius, kehidupan tidak lagi diwarnai dengan keindahan sebagaimana orkestra.
Pada titik inilah, Miftah Faridl memberikan kontribusi yang cukup signifikan. Ia tidak hanya berteori pada wilayah teologis atau filosofis semata, tetapi juga membangun kerangka implementasi sekaligus menyusun strategi di lapangan. Perspektif semacam ini menjadi menarik untuk melengkapi buku-buku tentang kerukunan yang selama ini cenderung sporadis.
Pilihan menggunakan bahasa sederhana tanpa referensi ketat sebagaimana buku ilmiah menjadikan buku ini memiliki nilai lebih tersendiri. Buku ini tidak terjatuh pada kerangka ilmiah yang kerap sulit dicerna oleh masyarakat secara luas. Pada titik inilah, buku ini mewakili apa yang pernah ditulis oleh Jalaluddin Rakhmat, bahwa jika ada buku berat tetapi begitu mudah dicerna dan dipahami maka penulisnya telah bekerja sangat keras untuk menerjemahkan gagasan-gagasan berat tersebut. Buku ini saya kira termasuk di dalamnya.

Ngainun Naim, Dosen IAIN Tulungagung, Jawa Timur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.