Oleh Ngainun Naim
Saya sedang membaca sebuah buku menarik karya Dr. Sutirjo,
M.Pd. Buku terbitan UM Press Malang yang saya miliki merupakan cetakan kedua
tahun 2009. Melihat buku ini telah
cetak sampai dua kali itu berarti buku ini cukup laris. Judul buku ini
pun cukup menarik, yaitu "Menulis PTK Senikmat Minum Teh".
Saya sudah membaca buku ini sampai tamat beberapa waktu
setelah membelinya. Namun karena sekadar saja, ada banyak hal yang terlewat. Hasil
pembacaan secara sekilas yang saya lakukan membuat saya menyimpulkan bahwa buku
ini memang wajar jika ini laris karena memang bahasanya enak, ringan,
sederhana, dan mengalir. Selain itu,
PTK atau Penelitian Tindakan Kelas merupakan keterampilan dasar yang harus
dikuasai oleh para guru. Demi kepentingan kerja sebagai guru yang harus membuat
PTK dalam menjalankan tugasnya dapat terbantu dengan membaca buku ini. Kebutuhan
teoritis para guru dapat terpenuhi dengan menelaah buku ini.
Saya tidak akan
menjelaskan secara mendetail mengapa membaca buku ini. Jawaban sederhananya
karena memang saya ingin mengetahui secara lebih baik tentang PTK. Kepentingan yang
lainnya tentu banyak, seperti sebagai tambahan pengetahuan bagi saya saat
membimbing mahasiswa membuat PTK.
Membaca buku ini membuat saya merenung dalam. Ada satu hal menggelitik yang membuat saya menghubungkan
dengan realitas kemampuan mahasiswa di tempat saya mengajar, yaitu kemampuan
meneliti. Mahasiswa yang akan mengakhiri studinya harus melakukan penelitian
untuk tugas akhir. Sebelum membuat tugas akhir, mereka telah mendapatkan
matakuliah-matakuliah pendukung, di antaranya Metodologi Penelitian. Melihat
berbagai prasyarat teoritis yang telah disajikan, semestinya para mahasiswa
telah memiliki modal yang cukup untuk menghadilkan karya ilmiah yang baik
sebagai tugas akhir.
Tetapi realitas
tidak selalu sesuai harapan. Tidak jarang justru realitas itu terlalu jauh dari
harapan. Tidak sedikit karya tulis tugas akhir (skripsi, tesis) yang isinya
amburadul. Antara bab satu dengan bab yang lainnya tidak sinkron, desain
penelitian kurang jelas, tidak menguasai topik yang diteliti, dan sebagainya.
Memang tidak mudah
mengurai persoalan tradisi meneliti yang lemah tersebut. Tidak perlu mencari
siapa yang salah. Cara berpikir mencari siapa yang salah hanya akan memberikan
kesan kurang baik bagi si tertuduh.
Cara berpikir yang
seyogyanya dikembangkan adalah saling membuka diri, membuka hati, dan
bersama-sama dengan penuh kesadaran melakukan evaluasi diri. Melalui cara
semacam ini diharapkan ditemukan akar masalah dan strategi jalan keluarnya.
Pendidik, termasuk
saya, harus mengakui secara jujur bahwa salah satu penyebab kondisi yang
semacam itu adalah kurangnya 'modelling' atau teladan dari pendidik. Dalam
teori pendidikan dikatakan bahwa teladan itu sangat efektif untuk menumbuhkan
kemauan meniru anak didik. Minimnya teladan membuat anak didik pun kurang
memiliki keterampilan sebagaimana diharapkan, termasuk dalam hal meneliti.
Keteladanan di
berbagai aspek, termasuk penelitian, memberikan dorongan yang lebih besar
kepada siswa atau mahasiswa untuk melakukan hal yang sama. Mereka meneliti
bukan hanya berdasar teori tetapi karena meniru apa yang dilakukan
dosen/gurunya.
Buku yang menarik |
Dr. Sutirjo
menekankan betul kepada para guru untuk melakukan penelitian yang sesungguhnya,
bukan penelitian 'abal-abal'. Penelitian 'abal-abal' itu banyak jenisnya,
misalnya mengganti hasil penelitian orang lain menjadi milik sendiri, atau
minta jasa orang lain untuk membuatkan penelitian.
Tujuan penelitian
adalah—salah satunya—untuk meningkatkan kualitas keilmuan penelitinya. Melalui
penelitian, sebuah teori diuji; melalui penelitian bisa ditemukan hal-hal baru
yang tidak diduga sebelumnya; dan melalui penelitian pula kualitas keilmuan
diasah. Karena itu, guru--apalagi dosen--harus melatih dirinya dengan meneliti.
Penelitian itu
tidak harus sesuatu yang rumit, besar, dan spektakuler. Hal-hal biasa,
sederhana, dan dekat dengan kehidupan sehari-hari pun bisa menjadi topik
penelitian yang menarik. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) bisa dilakukan guru di
ruang kelas yang dekat dengan aktivitasnya sehari-hari.
Semakin sering
guru/dosen meneliti maka dampaknya akan terasa terhadap kemajuan pendidikan.
Jika dunia pendidikan sekarang ini seperti jalan di tempat, hal itu disebabkan
oleh—di antaranya—lemahnya tradisi meneliti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.