Oleh
Ngainun Naim
Pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden tahun 2014 telah usai. KPU telah menetapkan pemenangnya
adalah Ir. H. Joko Widodo dan Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla. Jika dicermati, inilah proses pemilihan
pemimpin bangsa yang paling menguras energi, emosi, dan juga harga diri. Persaingan
berlangsung sangat sengit semenjak penetapan kedua calon. Berbagai manuver dilakukan
demi membela calonnya dan menjelekkan calon lawan. Semakin lama persaingan
menjadi semakin tidak sehat. Jejaring sosial penuh caci maki. Masing-masing
pendukung membela calonnya dengan beragam cara, mulai dari cara
biasa-sederhana, ilmiah, hingga ekstrim.
Membela calon yang
didukung itu merupakan hal wajar. Bahkan merupakan keharusan. Bagaimana pun,
merupakan sebuah kebahagiaan dan juga keberhasilan manakala calon yang didukung
sukses menjadi pemenang. Sebaliknya, merupakan hal yang menyakitkan jika calon
yang didukung kalah.
Buku karyaku 'Teologi Kerukunan' |
Mendukung yang
dilakukan secara rasional, objektif, dan tidak menyinggung pihak lain merupakan
cara mendukung yang bermartabat. Prinsipnya sesungguhnya sederhana saja, yaitu
silahkan mengunggulkan dan memuji calon kita asalkan tidak menyinggung, apalagi
merendahkan dan menghina calon lain. Sepanjang kita proporsional dan fokus pada
calon yang kita dukung, tentu tidak banyak persoalan yang timbul.
Persoalan timbul
manakala pembelaan sudah berlangsung secara membabi buta. Istilah saya ”membela
secara ekstrim”. Para pendukung yang masuk kategori ini akan lawan menyerang
secara membabi buta. Cara apa pun dilakukan, termasuk menebarkan fitnah. Kelompok
ini ada di dua pendukung capres.
Para pembela
secara ekstrim ini telah kehilangan obyektivitas. Paradigma berpikirnya adalah;
calonku yang terbaik dan yang lainnya pasti jelek. Tidak ada sedikit pun nilai
positif yang dimiliki lawan. Semuanya jelek, negatif, dan tidak ada nilai
positif sama sekali. Kerja kelompok ini adalah terus-menerus mencari sisi-sisi
negatif lawan yang bisa dieksploitasi kepada publik. Anehnya, atau mungkin
sayangnya, termasuk dalam kelompok ini adalah kalangan intelektual yang namanya
cukup berkibar.
Saya tidak habis berpikir
jika seorang intelektual masuk dalam gerbong ini. Di mana letak nalar obyektif
mereka? Apakah tradisi dan metode ilmiah yang mereka gunakan sudah tidak
berfungsi lagi?
Selama masa
kampanye hingga hari ini, saya sering berhadapan dengan realitas yang kurang
nyaman. Banyak kawan baik yang saya kenal secara nyata maupun dari statusnya
telah kehilangan obyektivitas. Setiap hari statusnya hanya berkutat pada
membela calon dan menjatuhkan lawan. Tautan demi tautan yang sesuai dengan
aspirasi dibagikan secara massif.
Saya terpaksa
menghapus sejumlah akun yang isinya golongan ekstrim ini. Status mereka membuat
saya terganggu. Jika hidup hanya berisi caci maki, maka kita kehilangan
kekayaan jiwa yang sesungguhnya sangat berharga.
Dapat apakah
mereka seandainya calonnya menang? Saya terkadang heran juga. Apakah kalau
calonnya menang mereka akan mendapatkan keuntungan secara material langsung?
Saya kira keuntungan itu—jika pun ada—tidak secara langsung. Bahkan mungkin
juga tidak mendapatkan keuntungan sama sekali.
Fenomena ini mengingatkan
saya pada perbincangan dengan guru saya, Prof. Dr. Mujamil beberapa saat lalu.
Saat itu tema perbincangannya kebetulan tentang pemikiran Islam, khususnya
teologi. Walaupun tidak berkaitan secara langsung dengan topik yang saya ulas
di atas, tetapi saya menemuka spirit yang sama, yaitu bagaimana bisa memberikan
kontribusi konstruktif terhadap dinamika kehidupan yang ada, sekecil apapun. Saya
ingat persis apa yang beliau sampaikan, ”Coba kamu rekonstruksi lebih tajam dan
kembangkan lagi lebih serius gagasanmu tentang teologi kerukunan’”, tantang
beliau.
Saya memang pernah
menulis sebuah buku yang berjudul ”Teologi Kerukunan: Mencari Titik Temu dalam
Keragaman”. Buku ini terbit tahun 2011 lalu. Buku tersebut memang baru berisi
gagasan awal yang perlu untuk direkonstruksi lagi. Karena itu, menjawab
tantangan Prof. Dr. Mujamil, saya pun mengiyakannya. Saya sadar sepnuhnya bahwa
untuk melakukannya jelas butuh energi yang sangat besar dan tidak mudah. Tetapi
ini tugas mulia secara keilmuan yang memang saya sukai.
Substansi ’Teologi
Kerukunan’ adalah bagaimana tumbuhnya sikap saling menghargai terhadap mereka
yang berbeda pendapat. Titik tekannya pada bagaimana dari perbedaan pendapat
itu dicari titik temunya, bukan titik bedanya.
Memang bukan hal
mudah, tetapi Insyaallah akan menjadi agenda yang akan dikerjakan. Menarik dan
menantang. Semoga dimudahkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.