Jumat, 25 Juli 2014

Pasca Teologi Kerukunan



Oleh Ngainun Naim


Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014 telah usai. KPU telah menetapkan pemenangnya adalah Ir. H. Joko Widodo dan Drs. H. Muhammad Jusuf  Kalla. Jika dicermati, inilah proses pemilihan pemimpin bangsa yang paling menguras energi, emosi, dan juga harga diri. Persaingan berlangsung sangat sengit semenjak penetapan kedua calon. Berbagai manuver dilakukan demi membela calonnya dan menjelekkan calon lawan. Semakin lama persaingan menjadi semakin tidak sehat. Jejaring sosial penuh caci maki. Masing-masing pendukung membela calonnya dengan beragam cara, mulai dari cara biasa-sederhana, ilmiah, hingga ekstrim.
Membela calon yang didukung itu merupakan hal wajar. Bahkan merupakan keharusan. Bagaimana pun, merupakan sebuah kebahagiaan dan juga keberhasilan manakala calon yang didukung sukses menjadi pemenang. Sebaliknya, merupakan hal yang menyakitkan jika calon yang didukung kalah.
Buku karyaku 'Teologi Kerukunan'

Mendukung yang dilakukan secara rasional, objektif, dan tidak menyinggung pihak lain merupakan cara mendukung yang bermartabat. Prinsipnya sesungguhnya sederhana saja, yaitu silahkan mengunggulkan dan memuji calon kita asalkan tidak menyinggung, apalagi merendahkan dan menghina calon lain. Sepanjang kita proporsional dan fokus pada calon yang kita dukung, tentu tidak banyak persoalan yang timbul.
Persoalan timbul manakala pembelaan sudah berlangsung secara membabi buta. Istilah saya ”membela secara ekstrim”. Para pendukung yang masuk kategori ini akan lawan menyerang secara membabi buta. Cara apa pun dilakukan, termasuk menebarkan fitnah. Kelompok ini ada di dua pendukung capres.
Para pembela secara ekstrim ini telah kehilangan obyektivitas. Paradigma berpikirnya adalah; calonku yang terbaik dan yang lainnya pasti jelek. Tidak ada sedikit pun nilai positif yang dimiliki lawan. Semuanya jelek, negatif, dan tidak ada nilai positif sama sekali. Kerja kelompok ini adalah terus-menerus mencari sisi-sisi negatif lawan yang bisa dieksploitasi kepada publik. Anehnya, atau mungkin sayangnya, termasuk dalam kelompok ini adalah kalangan intelektual yang namanya cukup berkibar.
Saya tidak habis berpikir jika seorang intelektual masuk dalam gerbong ini. Di mana letak nalar obyektif mereka? Apakah tradisi dan metode ilmiah yang mereka gunakan sudah tidak berfungsi lagi?
Selama masa kampanye hingga hari ini, saya sering berhadapan dengan realitas yang kurang nyaman. Banyak kawan baik yang saya kenal secara nyata maupun dari statusnya telah kehilangan obyektivitas. Setiap hari statusnya hanya berkutat pada membela calon dan menjatuhkan lawan. Tautan demi tautan yang sesuai dengan aspirasi dibagikan secara massif.
Saya terpaksa menghapus sejumlah akun yang isinya golongan ekstrim ini. Status mereka membuat saya terganggu. Jika hidup hanya berisi caci maki, maka kita kehilangan kekayaan jiwa yang sesungguhnya sangat berharga.
Dapat apakah mereka seandainya calonnya menang? Saya terkadang heran juga. Apakah kalau calonnya menang mereka akan mendapatkan keuntungan secara material langsung? Saya kira keuntungan itu—jika pun ada—tidak secara langsung. Bahkan mungkin juga tidak mendapatkan keuntungan sama sekali.
Fenomena ini mengingatkan saya pada perbincangan dengan guru saya, Prof. Dr. Mujamil beberapa saat lalu. Saat itu tema perbincangannya kebetulan tentang pemikiran Islam, khususnya teologi. Walaupun tidak berkaitan secara langsung dengan topik yang saya ulas di atas, tetapi saya menemuka spirit yang sama, yaitu bagaimana bisa memberikan kontribusi konstruktif terhadap dinamika kehidupan yang ada, sekecil apapun. Saya ingat persis apa yang beliau sampaikan, ”Coba kamu rekonstruksi lebih tajam dan kembangkan lagi lebih serius gagasanmu tentang teologi kerukunan’”, tantang beliau.
Saya memang pernah menulis sebuah buku yang berjudul ”Teologi Kerukunan: Mencari Titik Temu dalam Keragaman”. Buku ini terbit tahun 2011 lalu. Buku tersebut memang baru berisi gagasan awal yang perlu untuk direkonstruksi lagi. Karena itu, menjawab tantangan Prof. Dr. Mujamil, saya pun mengiyakannya. Saya sadar sepnuhnya bahwa untuk melakukannya jelas butuh energi yang sangat besar dan tidak mudah. Tetapi ini tugas mulia secara keilmuan yang memang saya sukai.
Substansi ’Teologi Kerukunan’ adalah bagaimana tumbuhnya sikap saling menghargai terhadap mereka yang berbeda pendapat. Titik tekannya pada bagaimana dari perbedaan pendapat itu dicari titik temunya, bukan titik bedanya.
Memang bukan hal mudah, tetapi Insyaallah akan menjadi agenda yang akan dikerjakan. Menarik dan menantang. Semoga dimudahkan.

Trenggalek, Minggu pagi, 20 Juli 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.