Menulis buku dengan tema yang menjadi bahan perdebatan di masyarakat,
sebagaimana tema buku ini, sesungguhnya merupakan pekerjaan yang tidak ringan.
Ada kekawatiran jangan-jangan tulisan ini bukannya berkontribusi bagi
pencerahan kehidupan sosial kemasyarakatan, tetapi justru menjadi bahan
perdebatan baru. Saya kira hal semacam itu wajar mengingat sebuah teks saat
menjadi milik publik, ia akan dimaknai secara bebas oleh pembacanya. Penulis
teks sendiri sudah tidak memiliki otoritas untuk memaksa pembaca mengikuti
penafsiran penulisnya. Semuanya bebas memproduksi makna dan pemahaman sesuai
dengan konteks masing-masing pembaca.
Persoalannya bukan pada keragaman pemaknaan itu sendiri. Keragaman
pemaknaan memang menjadi realitas sekaligus konsekuensi logis yang harus
diterima. Masalahnya adalah sikap setelah membaca teks. Di sini dibutuhkan
pengetahuan, pemahaman, kesadaran, dan kedewasaan berpikir. Jika hal semacam
ini sudah terwujud, teks model apapun tidak akan menjadi masalah. Ia justru
menjadi bidang diskusi dan perdebatan yang kreatif dan produktif. Jika ada
pembaca yang tidak setuju, ia akan paham bahwa langkah terbaik yang harus
dilakukan secara proporsional adalah membuat teks sejenis untuk memberikan
sanggahan atau klarifikasi. Masalah timbul ketika pembaca belum memiliki
kedewasaan sikap dan intelektual. Ketidaksetujuan terhadap buku, misalnya,
tidak di-counter dengan buku, tetapi
dengan demonstrasi atau fatwa. Ini bukan merupakan bentuk respon kreatif dan
konstruktif.
Sejarah intelektual Islam Indonesia memiliki contoh yang sangat bagus dalam
tradisi perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat selalu terjadi dalam perjalanan
sejarah manusia. Aspek yang berbeda antara satu dengan yang lainnya adalah
sikap terhadap perbedaan pendapat itu sendiri. Dalam konteks ini, kita layak
belajar dari apa yang pernah dilakukan oleh Prof. Dr. H. M. Rasjidi. Jika
seorang intelektual menulis sebuah topik atau ide yang kurang atau tidak beliau
setujui, maka beliau membuat buku untuk membantah dan menunjukkan beberapa
kelemahan argumen yang digunakan. Cara semacam ini terbukti lebih arif,
terhormat, dan menimbulkan penghormatan dari berbagai pihak, termasuk dari
pihak yang dikritik.
Pada 3 Januari 1970, Nurcholish Madjid menyajikan makalah yang berjudul
”Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”. Makalah ini
disampaikan di Gedung Pertemuan Islamic
Research Centre, Menteng Raya, Jakarta, dalam acara malam silaturahmi
organisasi pemuda, pelajar, mahasiswa, dan sarjana Muslim yang tergabung dalam
HMI, GPI (Gerakan Pemuda Islam), PII (Pelajar Islam Indonesia), dan Persami
(Persatuan Sarjana Muslim Indonesia). Pada makalah ini, Cak Nur—sapaan akrab
Nurcholish Madjid—menekankan mengenai pentingnya sekularisasi. Sekularisasi,
menurut Cak Nur, bukanlah penerapan sekularisme dan tidak bermaksud mengubah
kaum Muslim menjadi sekularis. Sekularisasi yang dimaksudkan Cak Nur adalah
”menduniawikan” nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi dan
melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk ”mengukhrawikan”-nya. Kaum
Muslim seharusnya memiliki kesediaan mental untuk selalu menguji dan menguji
kembali kebenaran suatu nilai di hadapan kenyataan-kenyataan material, moral,
ataupun historis. Sekularisasi, dengan demikian, dimaksudkan untuk memantapkan
tugas duniawi manusia sebagai ”khalifah Allah di bumi”.[1]
Makalah ini mendatangkan reaksi yang keras dari berbagai kalangan. Salah
seorang yang memberikan kritik paling keras adalah M. Rasjidi. Beliau menulis
sebuah buku secara khusus, yaitu Koreksi
Terhadap Drs. Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi.[2]
Menurut M. Rasjidi, belum ada dalam sejarah bahwa istilah sekularisme atau
sekularisasi tidak mengandung prinsip pemisahan antara persoalan dunia dan
agama. Berbasis pada pemahaman ini, Rasjidi berpendapat bahwa sekularisme atau
sekularisasi membawa pengaruh yang justru merugikan bagi Islam dan umatnya.
Oleh karena itu M. Rasjidi berpendapat bahwa sekularisme dan sekularisasi harus
dihilangkan. Memang ada dampak positifnya, yaitu membebaskan umat Islam harus
keluar dari kebodohan. Namun penggunaan istilah itu sendiri tidak berlaku dalam
Islam, dan hanya tumbuh dan berlaku dalam kehidupan Barat dan Kristen.[3]
Kritik M. Rasjidi ternyata cukup memiliki pengaruh terhadap Nurcholish
Madjid. Dalam perkembangannya kemudian, beliau ”mencabut” istilah sekularisasi
agar tidak lagi digunakan karena efeknya justru kurang produktif. Cak Nur
sendiri menerima secara apresiatif kritik M. Rasjidi. Sekularisasi memang
diakuinya tidak mungkin lepas dari sekularisme filosofis hasil masa Enlightenment Eropa. Secara jujur Cak
Nur menyadari bahwa istilah ”sekuler”, ”sekularisasi”, dan ”sekularisme” telah
memancing kontroversi yang sangat besar. Karena itu beliau mengatakan untuk
tidak menggunakan istilah-istilah tersebut dan menggantikannya dengan
istilah-istilah teknis lain yang lebih tepat dan netral.[4]
Meskipun mendapatkan kritikan yang sangat tajam, secara personal Cak Nur
juga tetap hormat terhadap M. Rasjidi. Cak Nur menghargai beliau sebagai
seorang ilmuwan yang berjasa besar dalam meletakkan dasar-dasar keilmuan di
kalangan intelektual Islam Indonesia. Menurut Cak Nur,
Prof. Rasjidi adalah intelektual Islam Indonesia yang
paling banyak memperoleh tidak hanya perkenalan tapi malah penyerapan
ramuan-ramuan intelektual dari gudang orientalisme. Secara gurau, jika beberapa
waktu lalu dikatakan bahwa Departemen Agama (Depag) didominasi oleh “Mafia McGill”
maka supaya diketahui saja bahwa “Godfather” Mafia itu ialah Prof. H.M.
Rasjidi. Dialah yang paling berpengaruh dalam usaha-usaha mengirimkan para
lulusan IAIN atau sarjana lainnya ke Montreal, yang untuk itu banyak orang kini
benar-benar harus berterima kasih kepadanya.[5]
Kutipan di atas menunjukkan bahwa Cak Nur tetap menaruh hormat dan
menghargai jasa Prof. H.M. Rasjidi dalam meletakkan landasan intelektualisme
Islam Indonesia dengan mengirimkan para mahasiswa Islam Indonesia untuk
melakukan studi di berbagai perguruan tinggi Barat, khususnya McGill Kanada.
Namun demikian, sesungguhnya secara halus Cak Nur juga melakukan kritik balik
terhadap Prof. Rasjidi. Berbagai penilaian dan tuduhan yang intrinsik
dialamatkan kepada pemikiran Cak Nur yang dinilai terkena pengaruh orientalisme
dipandang Cak Nur memiliki akar genealogis intelektual pada diri Prof.
Rasjidi. Saling kritik, koreksi, dan
kelapangan menerima kelemahan yang ada seperti yang dilakukan Cak Nur
menunjukkan bahwa beliau memang menjadikan pluralisme tidak sebatas sebagai
teori, tetapi juga diwujudkan dalam sikap hidup keseharian.
M. Rasjidi juga tidak setuju terhadap pemikiran intelektual lain, yaitu
Harun Nasution.[6]
Beliau menulis sebuah buku dengan judul Koreksi
terhadap Dr. Harun Nasution tentang Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya.[7]
Buku ini berisi koreksi bagian per bagian dari buku Dr. Harun Nasution.
Terlihat dari buku dengan ketebalan 148 halaman ini bahwa M. Rasjidi sangat
teliti, cermat, dan kritis terhadap setiap pokok pikiran Harun Nasution dalam
buku Islam Ditinjau Dari Berbagai
Aspeknya.
Apa yang dilakukan oleh Prof. Dr. H. M. Rasjidi merupakan contoh yang baik
tentang bagaimana menyikapi ketidaksetujuan sebuah pendapat. Sebuah buku
idealnya harus direspon dengan buku. Sebuah artikel harus direspon dengan
artikel. Demikian juga dengan berbagai bentuk artikulasi pemikiran yang
lainnya. Cara-cara yang semacam itu merupakan cara yang intelektual, cerdas,
dan mencerahkan dan penting untuk ditumbuhkembangkan dalam konteks kehidupan
masyarakat Indonesia. Kesadaran dan pemahaman untuk menghargai mereka yang
berbeda pendapat membutuhkan proses panjang dan konsistensi. Harus dilakukan
usaha secara terus-menerus agar terjadi peningkatan kesadaran toleransi di
masyarakat.
Kita patut prihatin menyimak banyaknya fenomena intoleransi. Hal itu
menunjukkan belum tumbuhnya kedewasaan dan kesadaran untuk saling berbagi dan
saling menghargai. Ketidaksetujuan terhadap sebuah pendapat pada dasarnya
merupakan sesuatu yang wajar. Tidak mungkin ada kesamaan pendapat di antara
semua orang. Justru dari keragaman pendapat itulah tersimpan potensi yang besar
untuk memperkaya kehidupan. Aspek yang jauh lebih penting adalah bagaimana
ketidaksetujuan direspon secara seimbang.
Buku ini lahir dari spirit untuk membangun pengetahuan, pemahaman, dan
kesadaran akan pentingnya mengapresiasi pluralisme agama secara
optimis-positif-konstruktif. Pluralisme agama harus diperlakukan sebagai bagian
dari realitas kehidupan yang akan selalu ada, hadir, dan membutuhkan sikap yang
tepat dalam menghadapinya. Melalui buku ini, diharapkan budaya toleransi,
khususnya terhadap pluralisme agama, semakin tumbuh dan berkembang sebagaimana
yang diharapkan. Tulisan dalam buku ini diharapkan dapat mewujudkan idealitas
tersebut. Sejak awal menulis buku ini, satu niat yang saya bangun adalah
bagaimana kata demi kata yang saya susun menjadi energi baru bagi perbaikan
kehidupan sosial keagamaan di Indonesia.
Selesainya buku ini merupakan sebuah anugerah yang luar biasa dari Allah
Swt. Selain itu, ada banyak pihak yang harus saya sampaikan banyak terima kasih
atas jasanya selama ini. Saya tidak mungkin menyebut mereka semua satu per
satu. Kepada mereka semua, saya hanya mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya. Secara khusus, saya ingin menyebut istri saya, Elly Ariawati
dan putra tersayang, Qubba Najwa Ilman Naim. Mereka berdua adalah energi hidup
yang luar biasa. Kepada keduanya, buku ini saya persembahkan.
Trenggalek,
20 Desember 2013
Ngainun Naim
[1]Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung:
Mizan, 2008), h. 229-230.
[2]M.
Rasjidi, Koreksi Terhadap Drs. Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi (Jakarta:
Bulan Bintang, 1977).
[3]Ibid., h. 13-14. Penelitian tentang M. Rasjidi dapat dibaca
dalam Muh. Syamsuddin, Prof. Dr. H. M.
Rasjidi, Pemikiran & Perjuangannya (Yogyakarta: Aziziah, 2004). Untuk
informasi lebih jauh tentang sekularisasi, baca buku karya Pardoyo, Sekularisasi dalam Polemik (Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti, 2003), khususnya
halaman 90-100.
[4]Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, h.
302.
[5]Nurcholish
Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, Cet. II (Jakarta: Paramadina &
Dian Rakyat, 2009), hlm. 59. Dibandingkan para penentang dan pengkritik
lainnya, Rasjidi termasuk yang paling keras dan telak. Tentang riwayat hidup
Rasjidi dan kiprah intelektualnya, lihat Muh. Syamsuddin, Prof. Dr. H.M.
Rasjidi, Pemikiran & Perjuangannya (Yogyakarta: Aziziah, 2004).
[6]Penelitian
serius tentang Harun Nasution dapat dibaca dalam Nurisman, Pemikiran Filsafat Islam Harun Nasution, Pengembangan Pemikiran Islam
di Indonesia (Yogyakarta: Teras, 2012).
[7]Lihat
karya M. Rasjidi, Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang Islam Ditinjau Dari
Berbagai Aspeknya (Jakarta: Bulan Bintang, 1977).
Akhir Agustus ini saya rencananya bakal mengikuti agenda ICIC di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Mudah-mudahan ada kesempatan buat mampir di Gramedia Malang dan membeli buku terbarunya Mas Ngainun Naim yang amat penting ini.
BalasHapusTerima kasih atas apresiasi Mas Andik. Semoga buku sederhana ini bermanfaat.
BalasHapusMhn info di mana sya bisa beli buku ini? CP. 0815 21515513 (Taufik)
BalasHapusBisa langsung ke saya jika di toko habis.
Hapus