Sabtu, 23 Agustus 2014

Islam dan Pluralisme Agama: Pengantar Penulis



 
Buku terbaruku: Islam dan Pluralisme Agama
Menulis buku dengan tema yang menjadi bahan perdebatan di masyarakat, sebagaimana tema buku ini, sesungguhnya merupakan pekerjaan yang tidak ringan. Ada kekawatiran jangan-jangan tulisan ini bukannya berkontribusi bagi pencerahan kehidupan sosial kemasyarakatan, tetapi justru menjadi bahan perdebatan baru. Saya kira hal semacam itu wajar mengingat sebuah teks saat menjadi milik publik, ia akan dimaknai secara bebas oleh pembacanya. Penulis teks sendiri sudah tidak memiliki otoritas untuk memaksa pembaca mengikuti penafsiran penulisnya. Semuanya bebas memproduksi makna dan pemahaman sesuai dengan konteks masing-masing pembaca.
Persoalannya bukan pada keragaman pemaknaan itu sendiri. Keragaman pemaknaan memang menjadi realitas sekaligus konsekuensi logis yang harus diterima. Masalahnya adalah sikap setelah membaca teks. Di sini dibutuhkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran, dan kedewasaan berpikir. Jika hal semacam ini sudah terwujud, teks model apapun tidak akan menjadi masalah. Ia justru menjadi bidang diskusi dan perdebatan yang kreatif dan produktif. Jika ada pembaca yang tidak setuju, ia akan paham bahwa langkah terbaik yang harus dilakukan secara proporsional adalah membuat teks sejenis untuk memberikan sanggahan atau klarifikasi. Masalah timbul ketika pembaca belum memiliki kedewasaan sikap dan intelektual. Ketidaksetujuan terhadap buku, misalnya, tidak di-­counter dengan buku, tetapi dengan demonstrasi atau fatwa. Ini bukan merupakan bentuk respon kreatif dan konstruktif.
Sejarah intelektual Islam Indonesia memiliki contoh yang sangat bagus dalam tradisi perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat selalu terjadi dalam perjalanan sejarah manusia. Aspek yang berbeda antara satu dengan yang lainnya adalah sikap terhadap perbedaan pendapat itu sendiri. Dalam konteks ini, kita layak belajar dari apa yang pernah dilakukan oleh Prof. Dr. H. M. Rasjidi. Jika seorang intelektual menulis sebuah topik atau ide yang kurang atau tidak beliau setujui, maka beliau membuat buku untuk membantah dan menunjukkan beberapa kelemahan argumen yang digunakan. Cara semacam ini terbukti lebih arif, terhormat, dan menimbulkan penghormatan dari berbagai pihak, termasuk dari pihak yang dikritik.
Pada 3 Januari 1970, Nurcholish Madjid menyajikan makalah yang berjudul ”Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”. Makalah ini disampaikan  di Gedung Pertemuan Islamic Research Centre, Menteng Raya, Jakarta, dalam acara malam silaturahmi organisasi pemuda, pelajar, mahasiswa, dan sarjana Muslim yang tergabung dalam HMI, GPI (Gerakan Pemuda Islam), PII (Pelajar Islam Indonesia), dan Persami (Persatuan Sarjana Muslim Indonesia). Pada makalah ini, Cak Nur—sapaan akrab Nurcholish Madjid—menekankan mengenai pentingnya sekularisasi. Sekularisasi, menurut Cak Nur, bukanlah penerapan sekularisme dan tidak bermaksud mengubah kaum Muslim menjadi sekularis. Sekularisasi yang dimaksudkan Cak Nur adalah ”menduniawikan” nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk ”mengukhrawikan”-nya. Kaum Muslim seharusnya memiliki kesediaan mental untuk selalu menguji dan menguji kembali kebenaran suatu nilai di hadapan kenyataan-kenyataan material, moral, ataupun historis. Sekularisasi, dengan demikian, dimaksudkan untuk memantapkan tugas duniawi manusia sebagai ”khalifah Allah di bumi”.[1]
Makalah ini mendatangkan reaksi yang keras dari berbagai kalangan. Salah seorang yang memberikan kritik paling keras adalah M. Rasjidi. Beliau menulis sebuah buku secara khusus, yaitu Koreksi Terhadap Drs. Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi.[2] Menurut M. Rasjidi, belum ada dalam sejarah bahwa istilah sekularisme atau sekularisasi tidak mengandung prinsip pemisahan antara persoalan dunia dan agama. Berbasis pada pemahaman ini, Rasjidi berpendapat bahwa sekularisme atau sekularisasi membawa pengaruh yang justru merugikan bagi Islam dan umatnya. Oleh karena itu M. Rasjidi berpendapat bahwa sekularisme dan sekularisasi harus dihilangkan. Memang ada dampak positifnya, yaitu membebaskan umat Islam harus keluar dari kebodohan. Namun penggunaan istilah itu sendiri tidak berlaku dalam Islam, dan hanya tumbuh dan berlaku dalam kehidupan Barat dan Kristen.[3]
Kritik M. Rasjidi ternyata cukup memiliki pengaruh terhadap Nurcholish Madjid. Dalam perkembangannya kemudian, beliau ”mencabut” istilah sekularisasi agar tidak lagi digunakan karena efeknya justru kurang produktif. Cak Nur sendiri menerima secara apresiatif kritik M. Rasjidi. Sekularisasi memang diakuinya tidak mungkin lepas dari sekularisme filosofis hasil masa Enlightenment Eropa. Secara jujur Cak Nur menyadari bahwa istilah ”sekuler”, ”sekularisasi”, dan ”sekularisme” telah memancing kontroversi yang sangat besar. Karena itu beliau mengatakan untuk tidak menggunakan istilah-istilah tersebut dan menggantikannya dengan istilah-istilah teknis lain yang lebih tepat dan netral.[4]
Meskipun mendapatkan kritikan yang sangat tajam, secara personal Cak Nur juga tetap hormat terhadap M. Rasjidi. Cak Nur menghargai beliau sebagai seorang ilmuwan yang berjasa besar dalam meletakkan dasar-dasar keilmuan di kalangan intelektual Islam Indonesia. Menurut Cak Nur,
Prof. Rasjidi adalah intelektual Islam Indonesia yang paling banyak memperoleh tidak hanya perkenalan tapi malah penyerapan ramuan-ramuan intelektual dari gudang orientalisme. Secara gurau, jika beberapa waktu lalu dikatakan bahwa Departemen Agama (Depag) didominasi oleh “Mafia McGill” maka supaya diketahui saja bahwa “Godfather” Mafia itu ialah Prof. H.M. Rasjidi. Dialah yang paling berpengaruh dalam usaha-usaha mengirimkan para lulusan IAIN atau sarjana lainnya ke Montreal, yang untuk itu banyak orang kini benar-benar harus berterima kasih kepadanya.[5]
Kutipan di atas menunjukkan bahwa Cak Nur tetap menaruh hormat dan menghargai jasa Prof. H.M. Rasjidi dalam meletakkan landasan intelektualisme Islam Indonesia dengan mengirimkan para mahasiswa Islam Indonesia untuk melakukan studi di berbagai perguruan tinggi Barat, khususnya McGill Kanada. Namun demikian, sesungguhnya secara halus Cak Nur juga melakukan kritik balik terhadap Prof. Rasjidi. Berbagai penilaian dan tuduhan yang intrinsik dialamatkan kepada pemikiran Cak Nur yang dinilai terkena pengaruh orientalisme dipandang Cak Nur memiliki akar genealogis intelektual pada diri Prof. Rasjidi.  Saling kritik, koreksi, dan kelapangan menerima kelemahan yang ada seperti yang dilakukan Cak Nur menunjukkan bahwa beliau memang menjadikan pluralisme tidak sebatas sebagai teori, tetapi juga diwujudkan dalam sikap hidup keseharian.
M. Rasjidi juga tidak setuju terhadap pemikiran intelektual lain, yaitu Harun Nasution.[6] Beliau menulis sebuah buku dengan judul Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya.[7] Buku ini berisi koreksi bagian per bagian dari buku Dr. Harun Nasution. Terlihat dari buku dengan ketebalan 148 halaman ini bahwa M. Rasjidi sangat teliti, cermat, dan kritis terhadap setiap pokok pikiran Harun Nasution dalam buku Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya.
Apa yang dilakukan oleh Prof. Dr. H. M. Rasjidi merupakan contoh yang baik tentang bagaimana menyikapi ketidaksetujuan sebuah pendapat. Sebuah buku idealnya harus direspon dengan buku. Sebuah artikel harus direspon dengan artikel. Demikian juga dengan berbagai bentuk artikulasi pemikiran yang lainnya. Cara-cara yang semacam itu merupakan cara yang intelektual, cerdas, dan mencerahkan dan penting untuk ditumbuhkembangkan dalam konteks kehidupan masyarakat Indonesia. Kesadaran dan pemahaman untuk menghargai mereka yang berbeda pendapat membutuhkan proses panjang dan konsistensi. Harus dilakukan usaha secara terus-menerus agar terjadi peningkatan kesadaran toleransi di masyarakat.
Kita patut prihatin menyimak banyaknya fenomena intoleransi. Hal itu menunjukkan belum tumbuhnya kedewasaan dan kesadaran untuk saling berbagi dan saling menghargai. Ketidaksetujuan terhadap sebuah pendapat pada dasarnya merupakan sesuatu yang wajar. Tidak mungkin ada kesamaan pendapat di antara semua orang. Justru dari keragaman pendapat itulah tersimpan potensi yang besar untuk memperkaya kehidupan. Aspek yang jauh lebih penting adalah bagaimana ketidaksetujuan direspon secara seimbang.
Buku ini lahir dari spirit untuk membangun pengetahuan, pemahaman, dan kesadaran akan pentingnya mengapresiasi pluralisme agama secara optimis-positif-konstruktif. Pluralisme agama harus diperlakukan sebagai bagian dari realitas kehidupan yang akan selalu ada, hadir, dan membutuhkan sikap yang tepat dalam menghadapinya. Melalui buku ini, diharapkan budaya toleransi, khususnya terhadap pluralisme agama, semakin tumbuh dan berkembang sebagaimana yang diharapkan. Tulisan dalam buku ini diharapkan dapat mewujudkan idealitas tersebut. Sejak awal menulis buku ini, satu niat yang saya bangun adalah bagaimana kata demi kata yang saya susun menjadi energi baru bagi perbaikan kehidupan sosial keagamaan di Indonesia.
Selesainya buku ini merupakan sebuah anugerah yang luar biasa dari Allah Swt. Selain itu, ada banyak pihak yang harus saya sampaikan banyak terima kasih atas jasanya selama ini. Saya tidak mungkin menyebut mereka semua satu per satu. Kepada mereka semua, saya hanya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Secara khusus, saya ingin menyebut istri saya, Elly Ariawati dan putra tersayang, Qubba Najwa Ilman Naim. Mereka berdua adalah energi hidup yang luar biasa. Kepada keduanya, buku ini saya persembahkan.

Trenggalek, 20 Desember 2013


Ngainun Naim


[1]Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 2008), h. 229-230.
[2]M. Rasjidi,  Koreksi Terhadap Drs. Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi (Jakarta: Bulan Bintang, 1977).
[3]Ibid., h. 13-14. Penelitian tentang M. Rasjidi dapat dibaca dalam Muh. Syamsuddin, Prof. Dr. H. M. Rasjidi, Pemikiran & Perjuangannya (Yogyakarta: Aziziah, 2004). Untuk informasi lebih jauh tentang sekularisasi, baca buku karya Pardoyo, Sekularisasi dalam Polemik (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2003), khususnya halaman 90-100.
[4]Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, h. 302.
[5]Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, Cet. II (Jakarta: Paramadina & Dian Rakyat, 2009), hlm. 59. Dibandingkan para penentang dan pengkritik lainnya, Rasjidi termasuk yang paling keras dan telak. Tentang riwayat hidup Rasjidi dan kiprah intelektualnya, lihat Muh. Syamsuddin, Prof. Dr. H.M. Rasjidi, Pemikiran & Perjuangannya (Yogyakarta: Aziziah, 2004).
[6]Penelitian serius tentang Harun Nasution dapat dibaca dalam Nurisman, Pemikiran Filsafat Islam Harun Nasution, Pengembangan Pemikiran Islam di Indonesia (Yogyakarta: Teras, 2012).
[7]Lihat karya M. Rasjidi,  Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: Bulan Bintang, 1977).

4 komentar:

  1. Akhir Agustus ini saya rencananya bakal mengikuti agenda ICIC di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Mudah-mudahan ada kesempatan buat mampir di Gramedia Malang dan membeli buku terbarunya Mas Ngainun Naim yang amat penting ini.

    BalasHapus
  2. Terima kasih atas apresiasi Mas Andik. Semoga buku sederhana ini bermanfaat.

    BalasHapus
  3. Mhn info di mana sya bisa beli buku ini? CP. 0815 21515513 (Taufik)

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.