Oleh Ngainun
Naim
Antrian panjang dokter gigi membuat saya dan istri sampai di rumah sudah
hampir jam sepuluh malam. Anak yang di rumah bersama kakeknya belum juga tidur
karena menanti kami. Begitu sampai di rumah, si kecil sudah mengajak untuk
tidur karena sudah kelihatan mengantuk.
Saya pun sesungguhnya sangat lelah. Ingin segera istirahat karena besok
pagi harus kembali mengawali aktivitas rutin. Tetapi entahlah, tiba-tiba tangan
saya ingin mengarah pada remote televisi. Sesungguhnya saya jarang melihat
televisi. Tetapi malam ini seolah ada yang menggerakkan untuk melihat ”kotak
ajaib” ini.
Setelah mencari-cari, saya memutuskan untuk melihat di TVRI. Acaranya bagi
orang lain mungkin tidak menarik. Isinya hanya dialog sederhana tanpa emosi dan
caci maki. Semuanya datar-datar saja. Tetapi justru di sini sisi menariknya.
Acara tersebut dipandung peneliti senior, Soegeng Sarjadi.
Malam itu kebetulan yang dihadirkan adalah intelektual ternama yang masih
serius memberikan kontribusi pemikiran dan aksi bagi kemajuan Indonesia. Mereka
adalah Prof. Dr. Daoed Joesoef, Dr. Harry Tjan Silalahi, dan Dr. Soelastomo.
Saya menyimak secara cermat perbincangan mereka. Terlihat secara jelas
betapa mereka bertiga, di usinya yang sudah sepuh,
masih memiliki kejernihan pemikiran, ketegasan sikap, dan karakter
individual yang kuat. Dr. Harry Tjan Silalahi misalnya, ketika ditanya mengenai
kondisi bangsa yang sedemikian carut marut, beliau menegaskan mengenai
pentingnya pembangunan karakter (character
building). ”Ini yang harus dikembangkan secara serius. Masyarakat sekarang
ini sakit karena tidak memiliki karakter yang kuat”, tegas pendiri CSIS
tersebut.
Senada dengan Harry, Daoed Joeseof melihat bahwa persoalan mendasar bangsa
ini adalah ketidakjelasan konsep pendidikan yang dijalankan oleh pemerintah.
Dana ada tetapi pengelolaannya tidak jelas. ”Sekolah yang memproduksi PNS
banyak yang menggunakan kekerasan merupakan indikasi masyarakat sakit”, tegas
Mendikbud era Soeharto tersebut.
Sementara Dr. Soelastomo menjelaskan bahwa ada aspek mendasar yang tidak
dikembangkan oleh dunia pendidikan Indonesia, yaitu budaya membaca. Padahal,
budaya inilah yang mendasari pengembangan pengetahuan, sikap, dan juga
keterampilan. ”Apa artinya menjadi seorang sarjana jika tidak memiliki budaya
membaca? Membaca adalah basis bagi pengembangan diri yang lebih berkualitas”,
paparnya.
Acara TVRI tadi malam memberikan banyak pelajaran berharga buat saya.
Kontribusi para tokoh senior tersebut sangat penting artinya bagi perjalanan
bangsa ini ke depan. Semoga ke depannya menjadi lebih baik.
Tulungagung, 6 Mei 2014
Ngainun Naim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.