Oleh
Ngainun
Naim
Sebuah SMS masuk ke HP
bututku pada juma’at pagi pukul 08.30. Kulihat nama pengirimnya Agus Sofyan,
Pemimpin Redaksi Majalah G@leri yang diterbitkan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa
(BEM) Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Sunan Giri Trenggalek. “Nanti malam bisa jadi mengisi acara G@leri khan Pak?”.
Begitu bunyi SMS tersebut.
Aku terdiam sejenak. Sesaat kemudian jariku segera menyentuh layar HP.
Kuketik secara perlahan. ”Insyaallah Mas”, jawabku.
Beberapa hari sebelumnya Agus Sofyan datang ke rumah. Ia datang membawa
majalah G@leri edisi terbaru yang berhasil diterbitkan. Terbitnya majalah ini
sesungguhnya merupakan prestasi tersendiri karena memang ada begitu banyak
masalah yang harus dihadapi. Perjuangan Agus dan teman-temannya mampu memupus
pesimisme bahwa majalah kampus kecil di Trenggalek ini sulit untuk terbit.
Jumat malam, seperti permintaan Agus Sofyan, aku meluncur menuju rumah
Zein, seorang anggota redaksi. Di Sebuah rumah yang cukup bagus ini, berkumpul
para mahasiswa STIT yang berminat menekuni dunia menulis. Direncanakan juga
hadir para pegiat pers mahasiswa dari kota lain, tetapi saat aku datang, mereka
belum sampai di lokasi.
Topik yang aku bahas adalah hal-ikhwal menulis. Walaupun bukan seorang
penulis yang baik, tetapi aku selalu berusaha membangun semangat menulis dalam
berbagai kesempatan yang ada, terutama pada pelatihan menulis seperti yang
diadakan Majalah G@leri. Uraian kuawali dengan dengan mengajak melakukan
identifikasi potensi seluruh peserta. Masing-masing peserta kuminta untuk
bercerita tentang pengalaman menulis masing-masing. Semuanya peserta ternyata
telah memiliki pengalaman menulis. Ada tulisan esai, opini, puisi, cerpen,
catatan harian, dan renungan.
Melihat potensi semacam ini aku lalu meyakinkan mereka bahwa mereka semua bisa menulis. Kuncinya adalah pada
kemauan yang kuat. ”Kalahkan segala bentuk ketakutan, kemalasan, dan hal-hal
lain yang menghambat terselesaikannya sebuah tulisan”, kataku dengan penuh
semangat, padahal sesungguhnya secara fisik aku sudah sangat capek.
Setelah membahas berbagai pengalaman peserta, aku kemudian mengajak
mendiskusikan berbagai hambatan yang dialami saat menulis. Terungkap ternyata
ada begitu banyak persoalan yang mereka hadapi, mulai persoalan psikologis,
teknis, hingga fisiologis. ”Jika hambatan itu tidak ditundukkan, mustahil sebuah
tulisan akan lahir”, kataku.
Berbagai strategi membuat tulisan menjadi agenda berikutnya yang aku bahas
bersama mereka. Aku lebih banyak memaparkan pengalamanku dalam menulis.
Sesungguhnya aku belum terlalu banyak menulis, tetapi semangat berbagi dan semangat
untuk menyebarkan virus menulis yang
membuat aku tidak terlalu peduli dengan berbagai kritik terkait dunia kepenulis
yang aku tekuni. Aku merasakan kepuasan dan kebahagiaan manakala ada orang
tergerak menulis.
Malam sudah larut saat aku mengakhiri sesi. Terlihat bahwa masing-masing
peserta, berdasarkan diskusi yang hangat, bercerita tentang harapan mereka
dalam dunia menulis. Menulis diharapkan mewarnai kegiatan individu maupun
kuliah mereka. Ya, seluruh peserta yang tergabung ataupun tidak dengan Majalah
G@leri malam itu sedang merenda mimpi
kepenulisan. Semoga mimpi tersebut mampu terealisasi dan tidak berhenti
sebatas mimpi semata.
Trenggalek, 10 Mei 2014
Ngainun Naim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.