Oleh Ngainun Naim
Tulisan ini memang bukan tulisan ilmiah yang dibungkus
teori rumit. Saya sesungguhnya menyukai juga jenis tulisan semacam itu. Profesi
sebagai dosen memang mengharuskan saya membuat tulisan semacam itu untuk
berbagai kepentingan akademis. Tetapi tulisan semacam itu biasanya saya buat
dalam bentuk artikel jurnal, makalah seminar, atau buku. Sementara untuk
catatan yang saya unggah di jejaring sosial (blog atau fb), jenis tulisan
sederhana dan ringan yang saya buat.
Tema tentang sahabat kembali saya tulis karena saya
merasakan betul besarnya manfaat bersahabat. Bersahabat membuat saya selalu
merasa ada orang yang bisa menjadi tempat untuk bertemu, saling cerita, dan
sebagainya. Kehadiran mereka membuat saya merasa menjadi bagian dari
persaudaraan dalam maknanya yang luas.
Kemarin sore seorang sahabat yang dulu satu kamar saat
kuliah di IAIN Surabaya SMS dan juga telepon menanyakan jalan menuju Waduk
Wonorejo Tulungagung. Saya berikan petunjuk sejelas mungkin dan berharap dia
bisa menuju lokasi dengan lancar. Alhamdulillah, semalam dia SMS kalau
perjalanan lancar dan minta maaf tidak sempat mampir ke rumahku. Bisa membantu
sahabat, walaupun hanya tentang sebuah lokasi, membuatku cukup bahagia. Hal ini
bermakna bahwa aku masih ”dihitung” oleh sahabat tersebut.
Saat di Bali, selain bertemu Mas Ahmad Sholeh yang
catatannya telah saya buat, saya juga bertemu sahabat lainnya menjelang pulang,
yaitu Mas Adam Heru Darminto. Dia seorang sarjana hukum dari sebuah universitas
di Kediri. Kami dipertemukan dalam kerja di sebuah program pemberdayaan
masyarakat pada awal tahun 2000. Perjalanan nasib membuat kami berpisah dan
tidak bertemu dalam jangka waktu sekitar 10 tahun. Komunikasi sesungguhnya
masih berjalan lancar, khususnya via FB. Dan saat di Bali kemarin, saya inbox
dia. Alhamdulillah, kami pun bisa bertemu.
Ada banyak hal yang kami perbincangkan dalam pertemuan
tersebut. Tetapi hal penting yang aku ingat adalah bantuannya yang mengantarkan
aku ke tempat oleh-oleh. Seandainya tidak ada Adam, mungkin aku kesulitan untuk
mencari tempat mencari oleh-oleh.
Tentu ada banyak lagi kisah persahabatan yang menarik. Prinsipku
sederhana saja, ”Seribu sahabat itu kurang, sementara satu musuh sudah terlalu
banyak”. Prinsip ini aku pinjam dari seorang penulis di Kompasiana.com, namanya
Pak De Sakimun. Salam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.