Senin, 13 Januari 2014

Jiwa Sosial Seorang Tukang Becak



Oleh Ngainun Naim

Usianya saya yakin sudah di atas 60 tahun. Rambutnya sudah memutih semua. Tetapi terlihat fisiknya masih tegap. Cara jalannya kelihatan kalau dia orang optimis. Senyum senantiasa menghiasi bibirnya.
Saya tidak tahu namanya. Juga tidak tahu di mana rumahnya. Secara personal, saya juga tidak mengenal beliau. Yang saya tahu, dia mangkal di sebuah perempatan dekat kantor tempat saya bekerja.
Sudah tidak terhitung berapa kali saya melihat beliau. Nyaris setiap lewat perempatan itu, beliaunya ada di sana. Kadang sedang duduk di becaknya. Kadang sedang jalan. Kadang juga sedang berbincang dengan beberapa orang yang lainnya. Kalaupun tidak ada, mungkin saja beliau mengantar penumpang atau sedang istirahat.
Tukang becak itu berbeda dengan tukang becak yang lainnya. Saya tidak bermaksud membuat generalisasi terhadap tukang becak. Hanya saja, saya menemukan beberapa hal lain yang membuat saya memiliki perhatian terhadap beliau.
Pertama, sikap beliau yang terlihat optimis. Wajahnya dihiasi senyum, langkahnya tegap, dan terlihat bersih. Pakaian yang beliau kenakan memang sederhana, tetapi terlihat bersih dan cukup rapi.
Kedua, sepanjang yang saya tahu, beliau tidak merokok. Entah berapa puluh atau ratus kali saya melihat beliau, dan saya tidak pernah sekalipun melihat beliau merokok. Saya menduga, beliau memang bukan seorang perokok.
Ketiga, jiwa sosial yang tinggi. Mungkin saya melihatnya dari sudut pandang yang tidak utuh. Tetapi beberapa kali lewat, saya melihat bahwa beliau memang memiliki jiwa sosial yang tinggi kepada sesama. Misalnya, beberapa kali saya lihat beliau membantu orang untuk menyeberang jalan. Juga beberapa kali mengingatkan pengendara sepeda motor untuk menyalakan lampu. Dan beberapa perilaku lain yang menunjukkan jiwa sosial yang tinggi.
Betapa indahnya hidup ini jika semakin banyak orang yang memiliki jiwa sosial semacam itu. Jiwa sosial yang sederhana sekali pun merupakan hal penting yang selayaknya ditumbuhkembangkan. Saya mendapatkan pelajaran hidup yang sangat berarti dari tukang becak tersebut. Saya ingin menirunya, tentu sesuai dengan konteks hidup saya sendiri. Minimal ya melalui tulisan semacam ini.
Tulungagung, 9 Januari 2014
Ngainun Naim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.