Jumat, 10 Januari 2014

Adaptasi Waktu



Oleh Ngainun Naim
 
Buku Gerhard Bowering
Sekarang sudah tahun 2014. Saya sendiri tahu dan menyadarinya. Tetapi sesungguhnya saya belum bisa adaptasi dengan kesadaran penuh bahwa sekarang ini sudah ganti tahun. Bahkan soal bulan pun yang juga sudah ganti ternyata juga belum saya sadari sepenuhnya.
Rasanya kok aneh. Tetapi itulah manusia. Saya menjadi sadar bahwa saya memiliki banyak kekhilafan. Ingatan saya tidak kuat. Juga, kesadaran saya belum mampu sepenuhnya adaptasi dengan perubahan. Mungkin butuh waktu untuk adaptasi sepenuhnya.
Kenapa kok saya tiba-tiba menulis tentang persoalan ini? Sederhana. Sejak 1 Januari 2014 hingga sekarang saya sudah membuat sembilan buah catatan harian, dan catatan ini adalah yang kesepuluh. Catatan-catatan tersebut kemudian saya tampilkan di jejaring sosial, yaitu facebook, blog, dan twitter. Dari tulisan-tulisan yang telah selesai, setelah saya cermati ternyata ada beberapa kesalahan tentang identitas waktu.
Tulisan-tulisan yang saya buat di bagian akhir biasanya saya beri penanda waktu pembuatannya. Ternyata, dari sembilan tulisan yang saya buat, beberapa mengalami kesalahan waktu. Ada yang salah tahun, di mana seharusnya 2014 ternyata tertulis 2013. Kesalahan ada yang di bulan yang seharusnya Januari ternyata tertulis Desember.
Begitulah, ternyata saya mengalami kesulitan dalam adaptasi waktu. Adanya kesalahan penanda waktu menunjukkan bahwa waktu sesungguhnya bukan persoalan sederhana, setidaknya buat saya.
Saya kemudian teringat bahwa dalam kajian filsafat dan tasawuf, waktu menjadi bidang bahasan yang cukup rumit dan mendalam. Salah seorang ilmuwan yang membahas tentang konsep waktu ini adalah Gerhard Bowering. Melalui bukunya, Bowering mengkaji secara cukup luas tentang perdebatan waktu.
Tulisan ini tidak akan membahas pemikiran Bowering yang ilmiah dan rumit. Saya hanya akan mengambil satu bagian kecil saja dari tulisan Bowering, Seri Pengantar Tasawuf: Sufisme Persia dan Gagasan tentang Waktu, terj. Gafna Raizha Wahyudi (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003), yang menarik untuk dikutip. Ia menulis:
”Waktu menggelincirkan dan mengikis kesadaran kita terus-menerus. Waktu memaksa kita merasa bahwa masa kini adalah nyata, sedangkan masa lalu dan masa depan tidaklah nyata. Masa silam telah tidak ada dan masa depan belumlah datang. Maka sekali lagi, di sini dan sekarang ini, kita mengamati sesuatu di balik yang lain dan mengalami sebuah peristiwa demi peristiwa. Kita harus menerima pergolakan waktu dari masa silam ke masa depan yang mengalir melalui ’masa sekarang’ yang elusif. Meskipun mampu mempengaruhi masa depan, kita tidak dapat mengubah masa silam. Kita tidak pernah memiliki kekuatan untuk menangkap keberhadirannya dalam sekejap ataupun memiliki keahlian untuk memerangkap durasinya dengan merengkuh keabadian”.

Bagi saya, kalimat yang ada di halaman 4 dan 5 dari buku Bowering tersebut mewakili perspektif tentang waktu yang selama ini dialami manusia. Waktu, jika dipikir secara cermat, bersifat abadi. Hanya karena kreativitas manusia saja maka waktu diubah menjadi tanda berdasar detik, menit, jam, hari, bulan, tahun, dan seterusnya. Pergantian inilah yang kadang tidak mudah untuk diadaptasi. Jadi, inti tulisan saya ini adalah saya salah menulis bulan dan tahun. Itu saja. Tetapi biar agak ilmiah, saya buatkah berbagai alasan he he he.
Trenggalek, 9-10 Januari 2014
Ngainun Naim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.