Jumat, 13 Desember 2013

SAAT SANTRI MENERABAS TRADISI



Judul Buku: Berguru ke Kiai Bule, Serba-serbi Kehidupan Santri di Barat
Penulis: Sumanto Al Qurtuby, dkk.
Penerbit: Noura Books, Jakarta
Edisi: Januari 2013
Tebal: xliv+275 halaman
Peresensi: Ngainun Naim
 
Buku Berguru ke Kiai Bule
Jika disebut kata “santri”, umumnya orang membayangkan sebagai pelajar yang tinggal di pesantren dengan segala kesederhanaannya. Santri dan pesantren umumnya diidentikkan dengan tradisionalitas. Implikasinya, dunia pesantren adalah dunia unik yang kerap ketinggalan zaman. Kesan semacam ini sebenarnya tidak salah. Realitas sosial dunia pesantren memang menjadi salah satu faktor lahirnya penilaian semacam itu. Dunia pesantren sendiri juga tidak banyak mempermasalahkannya.
Tetapi kesan semacam ini tidak lagi sepenuhnya benar. Dunia pesantren dan kaum santri sudah berkembang teramat pesat. Kini jangan lagi Anda bayangkan santri hanya di dunia pesantren saja. Santri sekarang ini tidak hanya ada di pesantren saja, tetapi telah melebarkan sayapnya ke dunia yang jauh lebih luas. Mereka menembus ruang-ruang kuliah seantero dunia. Bidang ilmu yang dikaji pun tidak hanya hal-ikhwal ilmu agama, tetapi juga ilmu-ilmu lain dalam disiplin yang sangat luas.
Santri zaman sekarang telah mengalami transformasi. Akses untuk mengenyam pendidikan ke luar negeri pasca tumbangnya rezim Orde Baru membuat kalangan santri masuk menerabas iklim kompetisi yang ketat. Dan terbukti, tidak sedikit kalangan santri yang masuk menerobos berbagai universitas di dunia.
Jika selama ini santri lekat dengan stigma negatif, seperti eksklusif, ketinggalan zaman, doktriner, dan berbagai stigma negatif lainnya, kini stigma itu sedikit atau banyak terkoreksi oleh fakta. Buku ini merupakan bukti tentang perubahan stigma santri tersebut. Bahkan bisa dikatakan jika buku ini mementahkan berbagai stigma negatif yang kerap dialamatkan kepada kaum sarungan tersebut.
Tidak hanya itu. Mereka juga tidak berguru dan mengaji kepada kiai saja, tetapi seiring dengan meluasnya batas pesantren, mereka kini mengaji pada para kiai bule. Namun demikian, perspektif kepesantrenan tetap mereka jaga dan bahkan kelola untuk ditumbuhkembangkan. Mereka tetap rajin merawat tradisi, mengaji, dan mengangkat spirit transformasi Islam ala pesantren. Secara menarik editor buku ini, Sumanto Al Qurtuby menulis di bagian pengantar bahwa meskipun para santri yang menulis di buku ini mempelajari berbagai macam disiplin ilmu dan dididik oleh (sebagian besar) para orientalis non-Muslim mereka tetap saja seorang santri yang lucu (penuh humor) dan ”lugu”. Mereka—kaum ”santri baru” ini—meskipun tinggal di kota-kota modern dan metropolitan Barat juga bukan lantas larut dalam arus kebudayaan baru di mana mereka tinggal. Sebagai santri mereka mampu memilah dan memilih mana tradisi dan kebudayaan yang dianggap baik dan sebaliknya. Mereka juga tidak dengan serta-merta mencampakkan tradisi pesantren dan NU tempat mereka dibesarkan (h. xxi).

* * *
Membaca buku ini seperti mendengarkan orang bertutur karena isinya memang pengalaman para ’santri baru’ yang belajar di berbagai tempat di belahan dunia. Kisah-kisahnya nya sangat unik, menyentuh, inspiratif, dan mencerahkan. Seolah ada energi yang mentransformasikan ke dalam diri saat membaca bagian demi bagian dari buku unik ini.
Tulisan pertama ditulis oleh Sumanto Al Qurtuby dengan judul ”Belajar Islam di Amerika”. Bagian ini menjelaskan tentang bagaimana perjuangan seorang Sumanto yang S-1 ia selesaikan di IAIN Walisongo Semarang dan S-2 di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Sebagaimana umumnya lulusan universitas di Indonesia, ia harus berjuang ekstra keras agar lolos mendapatkan beasiswa studi. Di Amerika, ia studi S-S-2 lagi. Dan impiannya adalah mendapatkan beasiswa S-3 dari Boston University. Penuturan Sumanto tentang perjuangannya memenangkan beasiswa sangat detil dan menyentuh. Tidak hanya itu, ia juga menceritakan secara ringkas tentang Buston University. Dan yang menarik, ia mengulas para guru besar di Boston dengan segenap prestasi akademiknya yang mengagumkan. Rasanya ada jurang yang terlalu jauh antara dunia akademik di Indonesia dengan gambaran dunia akademik yang dipaparkan Sumanto. Karena itu, tulisan Sumanto—setidaknya bagi saya—merupakan media untuk memperbaiki diri agar memberikan dedikasi pada dunia keilmuan. Teladan para guru besar dunia yang menjadi guru Sumanto—seperti   Profesor Augustus Richard Norton, Herbert W Mason, Thomas Barfiled, Merlin Swartz, Charles Lindholm, Sthephen Prothero, Shahla Haeri, Jenny White, Houchanh Chehabi, dan Peter L. Berger—selayaknya menjadi ’kaca benggala’ untuk ditransformasikan dalam dunia akademik di Indonesia.
Kisah yang ditulis Al Makin, ”Melangkah dari Sapen: Angan-Angan  Pencerahan”, tidak kalah heroik. Sapen adalah sebuah kampung di sebelah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang menjadi titik awal petualangan intelektual Al Makin ke berbagai belahan dunia. Di kampung ini banyak pemikir lahir, seperti Ahmad Wahib, Simuh, Mukti Ali, M. Amin Abdullah, Yudian W Asmin—dan Al Makin sendiri tentunya.
Secara menarik Al Makin berkisah bahwa kini memang zaman global. Persentuhan dengan dunia luar menjadi realitas yang tidak mungkin dihindari. Dan belajar ke luar negeri menjadi pilihan yang tidak bisa dihindari. Mengapa harus ke luar negeri? Secara menarik Al Makin menulis:
Jawaban bisa beragam. Tetapi yang pasti: sudah saatnya kita bangun, mengambil air wudhu, berdoa, baca koran, baca jurnal, baca buku, dan mengikuti dunia yang terus berputar. Dunia terus maju. Jika kita tidak mengikuti, kata pujangga Muhammad Iqbal, kita tergilas. Terseret tertatih-tatih oleh putaran roda waktu, kata Ebiet G. Ade. Tergilas oleh zaman itu sendiri (h. 44).

Al Makin beruntung karena selepas S-1, ia mendapatkan kesempatan S-2 di McGill University Kanada dan S-3 dari Heidelberg, Jerman. Perjuangan dan dinamika intelektual ia ceritakan secara memukau. Tulisan Al Makin terasa khas dan menawan. Di akhir tulisannya ia menulis bahwa setelahn melanglang buana ke berbagai negara, akhirnya ia kembali ke jejak awalnya: Sapen.
Arief Maftuhin yang juga dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta memiliki cerita yang juga unik. Fokus dosen muda yang menempuh S-2 di University of Washington ini tergambar secara jelas dalam tulisannya, “Shalat-Shalat ala Amerika”. Menurut pengakuannya, saat studi di Amerika, ia ”lebih rajin” shalat daripada saat di tanah air. Melalui tulisan ini, ia menceritakan pernik-pernik perjuangan melakukan shalat, tentang kisah unik berjamaah di ”alun-alun” kampus yang mengundang perhatian banyak orang, juga bagaimana ia shalat di lorong-lorong buku di perpustakaan. Di mana saja Maftuhin berjuang untuk shalat karena memang shalat bukan hal mudah untuk dikerjakan di negeri seperti Amerika Serikat. Justru karena menjalankannya yang penuh perjuangan inilah maka shalat di Amerika memiliki makna yang berbeda dengan shalat saat di tanah air.
Muhammad Fahmi Mubarak menulis tentang ”Pernikahan Teman Baikku dengan Gadis Amerika”. Tulisan ini unik karena menceritakan pengalaman multikultural seorang santri dalam dinamika Amerika yang sekuler. Ada banyak pelajaran berharga dan menarik yang diulas dalam bahasa santai. Tulisan Fahmi penting untuk dibaca dalam konteks membangun toleransi, persaudaraan, persahabatan, dan kerukunan hidup.
Pengalaman yang erat dengan dunia pesantren ternyata ditemukan Ismail Fajri Alatas saat menempuh program doktor dalam ilmu sejarah dan antropologi di University of Michigan, Ann Arbor. Awalnya Fajri memilih menarik diri dari interaksi sosial keagamaan karena pengalaman kurang menyenangkan dalam aspek ini saat ia menempuh studi S-1 di Melbourne, Australia dan S-2 di Singapura. Namun justru karena hal ini, ia merasakan ’kemarau spiritualisme’.
Di tengah kondisi yang semacam ini, Fajri menemukan nuansa yang lama tidak ditemukan, yaitu nuansa pesantren. Saat kuliah, ia bertemu Profesor Michael Bonner yang mengajar ala kiai pesantren. Sang profesor duduk di ujung meja dikelilingi murid yang siap dengan teks masing-masing. Saat kelas dimulai, Profesor Bonner akan menunjuk seorang murid untuk mulai membaca teks secara lantang dan disimak oleh murid yang lain. Jika terdapat kesalahan, Profesor akan bertanya mengapa demikian. Barulah jika murid gagal menjawab, Profesor Banner membeberkan kesalahannya dan memberikan koreksinya. Setelah si murid selesai membaca, dia harus menerjemahkannya (h. 80). Pola pembelajaran ini mirip metode sorogan yang banyak diterapkan di berbagai pesantren di Indonesia.
Aspek yang mengesankan Fajri adalah saat dia hadir di komunitas Muslim Amerika yang mengadakan peringatan maulid Nabi. Tentu saja, ini menggembirakan Fajri karena serasa menemukan kembali tradisi Islam di tengah oase Amerika yang sekular. Katanya, ”Negeri ini malah mengingatkanku pada tradisi yang selama ini kukenal di Jawa. Ternyata, Tuhan dengan segala kemurahan-Nya telah menyinari segala penjuru bumi dengan cahaya-Nya” (h. 92).
Tidak kalah menariknya adalah pengalaman pasangan suami istri Lathiful Khuluq dan Nunung Nuraeni. Melalui tulisan yang berjudul ”Berislam di Tengah Gelombang: Pengalaman Keluarga Muslim di Kota Metropolitan Montreal, Kanada”, pasangan yang studi di Kanada ini memaparkan berbagai dinamika kehidupan, studi, mendidik anak, dan berbagai pernik kehidupan lainnya. Uraian keduanya dapat menjadi panduan mengenai bagaimana hidup di tengah belantara modernitas yang keras.

* * *

Secara keseluruhan ada 12 tulisan dalam buku ini. Masing-masing memaparkan berbagai perspektif tentang kehidupan santri yang ’menerabas tradisi’. Membaca keseluruhan buku ini memperlihatkan bahwa kaum santri sekarang ini telah banyak mengalami transformasi kehidupan. Santri sekarang tidak hanya hidup di dunia pesantren saja, tetapi makna pesantren telah berkembang luas.
Jumlah mereka yang menembus tradisi ini memang belum banyak, tetapi peluang ke depan sangat terbuka lebar. Jika akses ini terus dibuka maka ke depan akan kita saksikan semakin banyak santri yang melanglang buana ke seantero dunia. Apa yang mereka lakukan diharapkan akan memberikan pengaruh nyata pada dunia pesantren dan umat Islam secara luas di Indonesia. Semoga.

Tulungagung, 13 Desember 2013
Ngainun Naim
www.ngainun-naim.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.