Rabu, 11 Desember 2013

Mengapa Harus Mengeluh?



Oleh Ngainun Naim

Menjadi orang yang selalu optimis tanpa mengeluh—menurut saya—bukan hal yang mudah. Saya sendiri menyadari bahwa sikap optimis-positif itu sangat penting agar hidup ini menjadi indah. Sebab sikap optimis-positif menjadikan segala sesuatu dalam kerangka yang baik. Tetapi realitas hidup ini memang tidak sederhana. Pada saat tertentu, mengeluh dan pesimis juga datang menyapa.
Tulisan ini bukan nasehat buat orang lain, tetapi nasehat kepada diri saya sendiri. Kalaupun kemudian ada di antara teman-teman pembaca sekalian yang bisa memperoleh manfaat atau inspirasi, itu aspek yang harus saya syukuri. Tetapi saya ingin menjadikan tulisan ini sebagai bahan refleksi diri agar bisa menjadi manusia yang semakin baik dari hari ke hari.
Seorang teman pernah mengeluhkan bagaimana ia sangat capek. Kegiatan demi kegiatan ia jalani seolah tanpa henti. Sementara seorang teman yang lainnya mengeluhkan bagaimana rumitnya mengelola keuangan keluarga. Penghasilannya rasanya selalu kurang. Teman yang tinggal di ibu kota mengeluhkan macet, banjir, dan seterusnya. Tidak ada nuansa positif yang dimunculkan.
Keluhan demi keluhan rasanya ada di sekitar kita. Tidak hanya di pergaulan nyata, di dunia maya pun keluhan dan pesimisme hidup bertaburan. Begitu banyaknya keluhan sampai seorang teman menulis catatan mengenai fenomena mengeluh ini dengan judul ”Republik Pengeluh”.
Saya memiliki pengalaman menarik berkaitan dengan fenomena ini. Lebih dari sepuluh tahun lalu, sepeda motor saya bocor. Untungnya tempat bocor hanya berjarak beberapa meter dari tukang tambal ban. Saat saya datang, tukang tambal ban ini masih menyelesaikan pekerjaaanya yang lain, yaitu menata koran yang ia jual. Setelah selesai, barulah ia menangani sepeda motor saya yang bocor bannya.
Sesungguhnya tidak ada yang istimewa pada orang itu, tetapi ada kata-katanya yang terngiang sampai hari ini. ”Saat kita belum punya pekerjaan, kita mengeluh dalam mencari kerja. Saat pekerjaan datang, kita mengeluh mengerjakannya. Memang ndak ada syukurnya”, katanya. Kata-kata ini menghunjam keras dalam kesadaran saya. Saya, dengan penuh kejujuran harus mengakui, termasuk dalam kategori kalimat tukang parkir tersebut. Saya termasuk orang yang kurang bersyukur. Mengeluh dan mengeluh tampaknya lebih sering saya lakukan daripada bersyukur dan bersyukur. Sikap ini sedikit demi sedikit harus saya rubah. Terlalu banyak karunia Allah yang tidak saya syukuri.
Masalah itu memang menjadi bagian dari dinamika hidup kita. Rasanya kok tidak mungkin ada manusia yang hidupnya tidak memiliki masalah sama sekali. Semua orang pasti memiliki masalah. Tetapi sebuah masalah tidak akan menjadi masalah jika kita merubahnya sebagai tantangan dan bagian dari dinamika hidup.
Seorang mahasiswa pernah bercerita kepada saya mengenai bagaimana sulitnya ia membuat tugas menulis makalah. Ada banyak hal yang saya sampaikan sebagai sumbang saran, tetapi hal penting yang saya tekankan kepada dia agar ia menikmati tugas tersebut. Melalui cara itu, tugas menulis makalah tidak akan menjadi masalah lagi. Justru tugas tersebut menjadi tantangan yang harus ditundukkan atau bahkan menjadi kenikmatan tersendiri.
Jadi, mengapa mengeluh? Ada banyak sebabnya. Saya—sekali lagi—ingin menasehati diri saya sendiri agar tidak atau paling tidak, mengurangi mengeluh dan meningkatkan rasa syukur. Semoga niat baik ini dapat terlaksana. Amin.
Trenggalek—Tulungagung, 11 Desember 2013
Ngainun Naim
www.ngainun-naim.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.