Kamis, 26 Desember 2013

Penulis Itu 'Makhluk Langka'



Oleh Ngainun Naim

Mohon maaf jika ada yang kurang berkenan dengan judul tulisan ini. Saya tidak ada maksud jelek untuk mendeskriditkan penulis. Sama sekali tidak. Karena jika tujuannya jelek semacam itu, saya juga terkena dampaknya. Walaupun tulisan saya biasa-biasa saja dan belum banyak, tapi saya kan sudah menulis. Jadi—semoga ini bukan bentuk takabbur—saya pun boleh menyebut diri saya sebagai seorang penulis.
Tulisan ini justru saya tujukan untuk maksud baik, yaitu agar mereka yang belum menekuni dunia menulis menjadi tertarik. Tidak hanya tertarik, tetapi juga mencoba menulis, menghasilkan karya, dan terus berkarya.
Bidang ilmu yang saya ajarkan di kampus saya mengajar tidak secara langsung berkaitan dengan menulis. Tetapi saya selalu berusaha memasukkan spirit literasi—membaca menulis—dalam berbagai kesempatan kuliah. Saya berharap, ada di antara mahasiswa saya yang mau menekuni dunia menulis. Memang ada yang telah menekuninya, tetapi jumlahnya terlalu sedikit dibandingkan dengan total jumlah mahasiswa yang ada.
Karena minimnya mereka yang menekuni dunia menulis itu, dalam berbagai kesempatan mengisi acara mahasiswa, khususnya yang berkaitan dengan menulis, selalu saya katakan bahwa penulis itu ’makhluk langka’. Saya katakan demikian karena mereka yang mau menekuni dan mengembangkan keterampilan menulis jumlahnya sangat sedikit. Tentu, menulis yang saya maksudkan adalah menulis karya—apa pun bentuknya—yang dilakukan tidak hanya pada saat tertentu saja, tetapi dilakukan secara terus-menerus.
Saya biasanya mengajak para mahasiswa untuk melakukan analisis mengenai penulis itu makhluk langka. Jika saja ada sepuluh orang saja yang menjadi penulis dari setiap program studi, itu sudah suatu jumlah yang banyak. Apalagi jika mereka mau menularkan keterampilan yang mereka miliki kepada orang lain.
Demikian juga yang terjadi di kalangan dosen. Salah satu syarat bagi kenaikan pangkat dosen adalah karya tulis. Seandainya para dosen memiliki keterampilan menulis secara baik, saya kira tidak akan ada kesulitan untuk memenuhi persyaratan tersebut.
Biasanya saya mengajak mahasiswa untuk mencintai dunia menulis. Tidak hanya itu. Langkah yang justru tidak kalah pentingnya adalah mewujudkan rasa cinta terhadap dunia menulis itu dengan menghasilkan karya. Apa artinya bilang cinta dunia menulis tetapi tidak memiliki karya?
Jika seorang mahasiswa memiliki keterampilan menulis secara baik, hal ini akan berimplikasi bagi kelancarannya menempuh bangku kuliah. Mengapa? Ya karena kuliah itu sebagian besar diisi dengan tugas menulis makalah. Mahasiswa yang terampil menulis tentu tidak akan kesulitan membuat makalah. Justru setiap tugas makalah akan dijadikan sebagai sarana mempertajam keterampilannya. Tidak ada keluh kesah. Keterampilan itu akan sangat berguna saat hendak menyelesaikan studi, yaitu kewajiban membuat skripsi. Skripsi tidak akan selesai jika mahasiswa tidak bisa menulis secara baik.
Jadi, keterampilan menulis itu sesungguhnya sangat penting. Sayangnya, sampai sejauh ini hanya sebagian kecil saja yang mau menekuninya. Karena itulah saya kira tidak terlalu berlebihan kalau saya menyebut penulis itu makhluk langka.
Di Kompasiana, saya sering membaca dan mengomentari tulisan makhluk ini. Justru karena keistimewaan merekalah, transformasi pengetahuan dan kesadaran itu tersebar luas. Menulis harus ditradisikan secara luas. Dan jangan lupa, yang juga penting adalah sebagai makhluk langka, penulis itu harus diawetkan. Salah satu caranya ya dengan menulis. Bukankah tulisan itu jauh lebih awet dibandingkan ucapan? Salam!
Trenggalek, 24 Desember 2013
Ngainun Naim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.