Rabu, 18 Desember 2013

Heart, Head, dan Hand



Oleh Ngainun Naim


Menulis memang merupakan dunia unik yang—bagi saya—selalu menarik untuk ditulis. Namanya juga dunia menulis maka wajar saja kalau menarik untuk ditulis. Walaupun sebenarnya, diperbincangkan dan didiskusikan juga tidak kalah menariknya.
Saya sendiri merasakan seperti mendapatkan energi baru untuk menulis kalau membaca buku tentang menulis, berdiskusi dengan sesama penulis, berguru ilmu kepada penulis hebat, atau mengisi acara menulis. Setelah memperbincangkan dunia menulis, saya biasanya menjadi lebih bersemangat lagi untuk menulis. Walaupun harus jujur saya akui, semangat itu juga fluktuatif. Kadang naik, kadang turun. Bagi saya, ini wajar. Namanya juga manusia. Tetapi yang jauh lebih penting adalah komitmen. Ya, komitmen untuk terus menjaga dan merawat tradisi menulis ini.
Menulis telah saya jadikan semacam identitas diri. Memang belum banyak karya tulis yang saya buat, tetapi karena menulis—walaupun masih sedikit—itulah, orang tidak jarang yang mengidentikkan saya dengan menulis. Bagi saya, ini anugerah besar yang harus saya rawat.
Ada banyak anugerah lain yang saya peroleh dengan menulis. Jaringan, kepercayaan, relasi, dan berbagai manfaat lain telah saya rasakan dari dunia menulis.
* * *
Saya ingin menjadi penulis yang baik. Salah satu kriterianya—menurut saya—adalah selalu belajar dan terus berusaha memperbaiki tulisan. Sejauh yang saya rasakan, memang tidak banyak perubahan dalam struktur, karakter, dan model tulisan saya. Tetapi harus saya tulis dengan jujur bahwa saya selalu berusaha memperbaiki tulisan saya. Persoalan kemudian menurut pembaca tidak ada yang meningkat, saya kira itu menjadi catatan untuk saya kembali belajar dan belajar.
Salah satu cara belajar memperbaiki tulisan adalah dengan belajar dan menyerap ilmu dari penulis lain. Melalui cara semacam ini, saya mendapatkan perspektif baru, proses baru, dan semangat baru untuk teruss menulis.
Cara semacam inilah yang hari selasa, 17 Desember 2013 kemarin saya lakukan. Ceritanya, kampus tempat saya bekerja ada kegiatan bedah buku. Buku yang dibedah merupakan sebuah buku yang luar biasa karena ketebalannya saja lebih dari 2000 halaman. Ya, buku itu terbagi dalam dua jilid besar. Penulisnya adalah seorang doktor muda lulusan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dr. Waryani Fajar Riyanto, M.Ag.
Buku ini sesungguhnya merupakan biografi intelektual Rektor UIN Sunan Kalijaga selama dua periode, yaitu Prof. Dr. H.M. Amin Abdullah. Ada tiga aspek yang dibahas dalam buku supertebal ini, yaitu person, knowledge, dan institution. Melihat ketebalannya, bisa dibayangkan bagaimana penulisnya melakukan riset dan kerja serius. Hebatnya lagi, buku supertebal ini dikerjakan ”hanya” selama 10 bulan.
* * *
Catatan ini tidak akan mengulas isi buku tersebut. Semoga ada kesempatan lainnya untuk mengulas. Saya akan berbagi pengalaman dengan para pembaca sekalian berkaitan dengan proses kepenulisan Mas Fajar, penulis buku tersebut.
Kebetulan, saya yang diminta panitia menghubunginya. Kebetulan juga, saya yang menjadi moderator bedah bukunya sehingga beruntung saya punya kesempatan untuk banyak berbincang dengan Mas Fajar, termasuk tentang bagaimana proses kreatifnya menulis, bagaimana menjaga energi menulis, dan bagaimana menulis karya yang sedemikian banyak dan tebal. Selain dua buku tebal yang saya ceritakan di awal tulisan ini, Mas Fajar sepanjang karier akademiknya telah menulis sekitar 100 judul buku. Ini tentu prestasi yang sangat luar biasa.
Saat saya tanya bagaimana ia bisa sedemikian produktif? Ia menjawab dengan rumus sebagaimana judul tulisan ini, yaitu heart, head, dan hand. Heart maksudnya hati. Tentu bukan hati secara fisik, tetapi bagaimana mengelola hati dan menata hati dalam menulis. Menulis harus dilakukan dengan niat yang baik. Orientasi material yang sering mengiringi sedapat mungkin dipinggirkan. Hal inilah yang memberikan energi besar kepadanya untuk terus menulis dan menulis. Ia menyebutnya sebagai ”Kerja Ikhlas”. Saya kira itu wajar karena dia sendiri menggeluti dunia tasawuf. Ia sendiri seorang mursyid sebuah tarekat yang berpusat di Mesir.
Head maksudnya adalah bekerja cerdas. Menulis membutuhkan strategi dan metode yang tepat sehingga bisa menghasilkan karya berbobot. Rumus ini saya kira tidak jauh berbeda dengan uraian teman-teman yang sering menulis tentang topik ini.
Yang ketiga adalah hand, tangan. Maksudnya adalah kerja keras. Untuk menghasilkan karya yang besar dan produktif, tidak ada rumus lain selain bekerja keras. Menulis, menulis, dan menulis menjadi kunci penting yang harus ditanamkan jika ingin menghasilkan karya tulis yang banyak dan berbobot. Para penulis sukses umumnya para pekerja keras.
Jujur, saya mendapatkan banyak ilmu baru dalam dunia menulis dari doktor yang umurnya masih 34 tahun tersebut. Perpaduan secara seimbang antara kerja ikhlas, kerja cerdas, dan kerja keras atau heart, heand, dan hand telah memberikan perspektif baru bagi saya dalam menekuni dunia menulis.
Trenggalek, 18 Desember 2013

Ngainun Naim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.