Senin, 04 November 2013

Menulis, Guru, dan Jeda




Oleh Ngainun Naim

Menulis sesungguhnya telah menjadi bagian yang erat dalam hidup saya. Saya bermimpi untuk menjadi penulis saat duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah. Pemicunya adalah seorang guru bahasa Inggris. Namanya Pak Muhammad Amrullah.
Saat itu, beliau mengajar bahasa Inggris. Di luar itu, beliau merupakan seorang penulis. Artikelnya beberapa kali saya baca di Majalah Mimbar Pembangunan Agama (MPA) yang diterbitkan Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Timur, Majalah AULA yang diterbitkan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur, Majalah Jaya Baya, dan Panjebar Semangat. Saat melihat artikel beliau dimuat, ingin sekali saya menirunya. Saya membayangkan betapa indahnya saat nama saya terpampang di sebuah media massa.
Butuh waktu beberapa tahun untuk menuai hasil. Mimpi semenjak MTs baru terbayar saat saya duduk di bangku akhir kuliah S-1. Semenjak tulisan saya dimuat, perlahan tetapi pasti, saya terus berusaha menulis.
Kini, beberapa tahun setelah pemuatan artikel awal saya, hari-hari saya selalu saya usahakan untuk menulis. Melalui menulis, saya merasakan bahwa hidup saya lebih bermakna. Menuangkan gagasan dalan tulisan untuk kemudian dibagi melalui jejaring sosial yang saya ikuti terasa nikmat sekali. Rasanya lega sekali saat sebuah tulisan selesai ditulis, lalu disebarluaskan.
Beberapa orang pernah bertanya mengenai untung-ruginya menulis di media sosial, khususnya blog dan facebook. Saya biasanya menjawab bahwa menulis bagi saya seperti sedekah. Saya hanya berharap agar tulisan saya memberikan pencerahan buat pembaca. Melalui cara semacam ini, saya berharap mendapatkan keberkahan hidup.
Ruginya? Tentu saja ada. Misalnya tulisan diplagiat, dikritik karena menulis tidak bermutu, dan sebagainya. Saya membiarkan semua itu. Bagi saya, menulis adalah menulis. Menulis adalah hidup saya.
Sejak jumat lalu, saya merasa berhutang kepada diri sendiri. Saya sama sekali tidak bisa menulis. Menulis rutin yang biasanya saya mulai pagi hari tidak bisa saya kerjakan. Penyebabnya—ini alasan personal untuk membenarkan diri sendiri—karena saya kelelahan.
Hari selasa sampai kamis, saya ikut workshop. Kamis sore mengajar dua kelas. Sampai di rumah tubuh sudah lelah. Saya tidak bisa menulis saat fisik capek. Saya berjanji pada diri sendiri untuk menulis di pagi hari. Tetapi janji itu gagal. Hal yang sama kembali terulang pada hari sabtu dan minggu ini.
Rasanya memang ada yang kurang. Karena itu, saat minggu sore saya memiliki kesempatan menulis, maka tema inilah yang saya angkat. Saya bisa menulis karena—salah satunya—inspirasi guru saya. Kepada beliau ucapan terima kasih tentu tidaklah cukup.
Salam Persahabatan!
Trenggalek, 2 November 2013
Ngainun Naim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.