Rabu, 20 November 2013

Mari Mencintai Sesama



Oleh Ngainun Naim


Abu Bein Azem adalah seorang sufi besar yang tinggal di Australia. Ia banyak memberikan pengajaran dan bimbingan agama Islam kepada kaum Muslim yang tinggal di negeri Kanguru tersebut. Caranya mengajar yang mengedepankan penghargaan dan penghormatan kepada sesama manusia menjadi magnet yang menarik banyak simpatisan. Dari waktu ke waktu, jumlah kaum muslimin yang belajar dan mengikuti bimbingannya terus meningkat.
Sufi besar ini memiliki pengalaman spiritual yang menarik untuk menjadi bahan renungan bersama. Dikisahkan bahwa Abu Bein Azem terbangun di suatu tengah malam. Kamarnya bermandikan cahaya gemerlapan. Di tengah-tengah cahaya, dia melihat sesosok malaikat sedang memegang buku.
“Wahai hamba Allah, apa yang sedang Anda kerjakan?” tanya Abu Bein Azem.
“Aku sedang mencatat daftar semua pecinta Tuhan,” jawab malaikat itu datar, seakan tanpa ekspresi. Dia kelihatan asyik menulis daftar nama-nama para pecinta Tuhan.
Abu Bein Azem ingin sekali namanya tercantum dalam daftar yang sedang ditulis. Dengan harap-harap cemas, dia mencoba melirik daftar itu. “Adakah namaku dalam daftar yang ditulis malaikat itu?” tanyanya dalam hati.
Akan tetapi, betapa menyesalnya Abu Bein Azem, ternyata namanya tak tercantum dalam daftar itu. Hatinya diliputi kekecewaan. Hatinya gundah.
“Mengapa namaku tidak tercantum dalam daftar itu?” tanya hatinya.
“Mungkin aku terlalu kotor untuk bisa menjadi pecinta Tuhan. Tapi aku berjanji, sejak malam ini aku akan mencintai sesama,” Abu Bein Azem berkata kepada dirinya sendiri. Dan dia bertekad untuk mencintai sesama dengan penuh ketulusan, di samping tentu saja tetap mencintai Tuhan dengan penuh keyakinan.
Alkisah, esok malamnya lagi, Abu Bein Azem terbangun kembali. Kamarnya diliputi cahaya gemerlapan, terang benderang, sebagaimana malam sebelumnya. Malaikat itu pun telah hadir di kamar itu. Dia masih mencatat daftar nama pecinta Tuhan. Abu Bein Azem bergetar hatinya. Mungkinkah daftarnya telah berubah?
Dan Abu Bein Azem terkejut bukan main, ketika dia mengamati daftar yang ditulis oleh malaikat itu. Betapa tidak? Kini namanya ada dalam daftar itu, dan namanya ada dalam rangking pertama, urutan paling atas.
“Wahai hamba Allah, aku bukan pecinta Tuhan, aku hanya pecinta manusia, pecinta sesama,” Abu Bein Azem berkata kepada malaikat itu, seakan protes.
“Wahai Abu Bein Azem, baru saja Tuhan berkata kepadaku. Engkau tidak akan pernah bisa mencintai Tuhan sebelum Engkau mencintai sesama,” jawab malaikat itu.
Dan kamar pun kemudian menjadi gelap. Ternyata malaikat telah pergi. Subhanallah, Mahasuci Allah.
Dunia sufi adalah dunia yang penuh misteri. Banyak fenomena dalam dunia sufi yang tidak mampu dijelaskan oleh nalar manusia. Bukan berarti fenomena tersebut tidak bisa dinalar, tetapi seharusnya disadari bahwa nalar manusia memang tidak mampu menjangkau hal-hal yang metafisik sebagaimana pengalaman sufistik. Nalar manusia hanya mampu memahami dan menjelaskan fenomena empiris dan rasional.
Apa yang dialami oleh Abu Bein Azem di atas, menurut penulis, bukanlah fenomena yang harus diposisikan dalam kerangka logika positivistik. Pertanyaan-pertanyaan kritis tentang orisinalitas, rasionalitas, dan kemungkinan terjadinya bukan hal yang penting untuk diperdebatkan. Sebab, dalam tinjauan keilmuan Islam, fenomena semacam ini hanya bisa dipahami dengan kerangka epistemologi ‘irfânî.
Sumber terpokok epistemologi ‘irfânî adalah pengalaman (experince), bukan eksperimen atau pengujian dengan kaidah-kaidah ilmiah. Pengalaman hidup sehari-hari yang otentik, sebagaimana pengalaman Abu Bein Azem, merupakan pelajaran yang tidak ternilai harganya. Ketika manusia menghadapi alam semesta yang cukup mengagumkan, dalam lubuk hatinya yang terdalam telah dapat mengetahui adanya Dzat Yang Maha Suci dan Maha segalanya. Untuk mengetahui Dzat Yang Maha tersebut, manusia tidak perlu menunggu turunnya teks. Dalam bahasa Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis (2003), untuk menjadi seorang monoteis bisa saja seseorang memperolehnya tidak harus melalui teks-teks Kitab Suci, melainkan bisa juga melalui penalaran, pengalaman, dan perenungan hidup. Yaitu berupaya sekuat tenaga untuk menjelaskan Kekuatan Gaib atau Misteri yang menguasai alam semesta ini. Bahkan juga misteri yang ada dalam diri setiap individu.
Ahli filsafat perennial Huston Smith (2003) melukiskan hal ini secara menarik. Menurut Smith, ada sesuatu yang tetap merupakan misteri bagi kita. Atau kita menemukan bahwa kita mengetahui apa yang harus kita lakukan dalam situasi tertentu tanpa dapat memahami bagaimana kita dapat mengetahui hal itu. Pengetahuan seperti itu tampaknya berjalan tanpa sadar, tetapi mampu melakukan tugas-tugas yang sangat kompleks, dari membaca dan menulis sampai berkebun dan mengarang musik. Keahlian kini makin dipahami sebagai sesuatu yang lebih bersifat intuitif ketimbang yang dibayangkan para psikolog kognitif. Mereka makin menyadari bahwa ketika berhadapan dengan persoalan-persoalan yang subtil, orang yang dapat “merasa” akan mampu mengatasinya secara lebih kreatif ketimbang mereka yang secara sadar mau memikirkannya.
Ditinjau dari sisi metode, ‘irfâni yang dikembangkan—terutama—oleh kalangan sufi ini menggunakan metode pengetahuan illuminasi (kasyf). Kasyf adalah uraian tentang apa yang tertutup bagi pemahaman yang tersingkap bagi seseorang, seakan ia melihat dengan mata telanjang. Selain itu, kasyf juga diartikan sebagai penyingkapan atau wahyu. Ia merupakan jenis pengalaman langsung yang lewat pengalaman tersebut, pengetahuan tentang hakikat diungkapkan pada hati sang hamba dan pecinta. Dalam rakhmat-Nya yang tak terbatas, Allah memberikan kepada hamba dan pecinta-Nya pengungkapan diri Ilahi yang tidak hanya menambah pengetahuannya tentang Allah, melainkan juga menambah kerinduannya yang menggelora dan cintanya kepada Allah. Oleh karena itu, kaum sufi agung disebut kaum “penyingkap dan penemu” (ahl al-kasyf wa al-wujud). Dalam penyingkapan, mereka menemukan Allah.
Dengan demikian, apa yang dialami Abu Bein Azem di atas selayaknya dijadikan sebagai bahan penting untuk renungan sekaligus refleksi kehidupan keberagamaan kita. Mengasihi sesama seyogyanya menjadi spirit penting yang menjadi dasar dalam kehidupan keagamaan kita. Islam adalah agama yang mengajarkan dua hubungan penting, yaitu hubungan dengan Allah, atau hablun minallah dan hubungan dengan sesama manusia, atau hablun minannas. Kedua hubungan ini sangat penting artinya dalam kehidupan.
Seorang muslim belum sempurna imannya jika hanya memerhatikan aspek hubungan dengan Allah semata. Muslim yang hanya meneguhkan terhadap hubungannya dengan Allah baru menghasilkan kesalehan ritual. Kesempurnaan iman harus dilengkapi dengan membangun hubungan yang baik terhadap sesama manusia. Terhadap yang tua menghormati, terhadap yang muda yang menyayangi, dan terhadap mereka yang berbeda—agama, etnis, suku, golongan, aliran politik dan sebagainya—toleran dan saling menghormati. Inilah yang disebut kesalehan sosial. Perpaduan antara kesalehan ritual dan kesalehan sosial menghasilkan “kesalehan kaffah”.
“Kesalehan kaffah” penting untuk disuarakan kembali mengingat sekarang ini banyak perilaku kelompok tertentu yang—atas nama agama—melakukan tindakan yang tidak manusiawi. Mereka merusak, mengintimidasi, dan bahkan melukai manusia yang berbeda agama. Islam adalah agama yang mengajarkan sikap ramah terhadap sesama. Menyayangi dan mencintai sesama, sebagaimana pengalaman Abu Bein Azem, adalah jalan mencintai Allah. Manusia yang mencintai sesama manusia—tanpa membedakan kedudukan, ras, agama, suku, dan status sosial—akan dapat mencintai Allah. Sebaliknya, walaupun mengatasnamakan Allah, atau ajaran agama, tetapi jika tidak mengasihi dan ramah dengan sesama manusia, sesungguhnya dia tidak akan menjadi seorang pecinta Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.