Selasa, 29 Oktober 2013

Sabar Itu Mudah Diucapkan, Tetapi Berat Dipraktikkan



Oleh Ngainun Naim

Kata sabar memang begitu mudah untuk diucapkan, tetapi berat sekali di tataran praktiknya. Pengalaman dan pengamatan saya menunjukkan bahwa kesabaran adalah bagian dari identitas pribadi. Menjadi orang sabar itu membutuhkan latihan panjang dan kemampuan mengelola emosi secara matang.
Hasil penelusuran saya menemukan bahwa kata sabar itu berasal dari bahasa Arab. Bentuk aslinya adalah shabar dari akar kata shabara-yashbiru-shabran, yang memiliki beberapa arti. Salah satu artinya adalah: tahan menderita sesuatu (tidak lekas marah, tidak lekas patah hati, tidak lekas putus asa, dan sebagainya), tenang, tidak tergesa-gesa, tidak terburu nafsu. Arti lainnya adalah: akraha, alzama=memaksa, mewajibkan; amsaka: menahan, mencegah.
Mahmud Sujuthi (1995: 66-67) menjelaskan bahwa di dalam al-Qur’an terdapat tiga buah kisah tentang ”peristiwa sabar” dalam versi yang berbeda sekaligus menggambarkan tiga wajah makna sabar.
Kisah pertama adalah tentang Nabi Ibrahim, sebagaimana termuat dalam ayat 100 sampai ayat 111 Surat Ash-Shaffat. Ayat ini memuat kisah pengorbanan yang tiada tara sepanjang sejarah hidup manusia. Seorang yang telah ”tega” menyembelih seorang anak yang sangat dicintai dan disayanginya. Semua itu dilakukan oleh Ibrahim karena satu alasan: perintah Allah. Berkaitan dengan perintah ini, Sujuthi menulis bahwa sebagai manusia biasa, bukan tidak mungkin hati Ibrahim bergejolak saat menerima perintah tersebut. Namun sebagai manusia pilihan, dengan ikhlas dan tawakkal, Ibrahim ”siap” melaksanakan perintah Ilahi. Apa yang dilakukan Ibrahim merupakan bentuk sabar dalam menaati perintah Allah.
Kisah kedua adalah tentang Nabi Yusuf, waktu digoda oleh Zulaikha, istri tuannya sendiri (ayat 23 sampai 35 Surat Yusuf). Sebagai laki-laki normal, sebenarnya Yusuf juga tertarik oleh kecantikan Zulaikha. Secara menarik Sujuthi menyebut Zulaikha sebagai wanita yang sangat ”marak” dan ”menyala”. Hampir-hampir saja Yusuf terjerumus ke lembah nista, seandainya dia tidak melihat ”burhan”, yaitu petunjuk yang nyata dari Allah, sehingga nafsu yang sudah bergolak dan berkobar itu padam seketika. Kisah Nabi Yusuf memberikan indikasi tentang sabar jenis kedua, yaitu sabar menjauhi maksiat.
Kisah ketiga adalah tentang Nabi Ayub, yang mendapat ujian dan cobaan yang sangat berat (Surat Shad ayat 41 s/d 44; Surat Al-Anbiya’ ayat 83). Harta benda habis ludes, sang istri yang semula setia merawatnya akhirnya tidak tahan lagi dan meninggalkannya. Duka nestapa dialami Nabi Ayub seorang diri. Namun demikian, Ayub tidak pernah mengeluh, tidak pernah mengaduh, apalagi menunjukkan sikap ”jengkel” terhadap Allah yang telah menimpakan ujian dan cobaan demikian hebatnya. Dikala derita sampai pada puncaknya dan rasa sakit yang luar biasa pedihnya, dengan bibir gemetar dan suara yang nyaris tidak terdengar, Ayub munajat ke hariaan Ilahi: Ya Rabbi, sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkaulah Yang Paling Penyayang. Alangkah halus dan lembutnya doa permohonan Ayub. Dia ”hanya melaporkan” bahwa penyakit yang dideritanya sudah sangat berat dan membahayakan jiwanya. Ayub tidak terus-terang memohon diberi kesembuhan oleh Allah. Dia hanya memuji dan ”melaporkan” saja. Soal sembuh atau tidak itu urusan Allah.
Berkat kesabaran Ayub yang luar biasa, akhirnya Ayub diberi kesembuhan, diganti lagi anak-anak dan harta yang telah lenyap dengan yang lebih baik dan lebih banyak, termasuk kembalinya sang istri yang sangat dicintainya.
Dengan demikian, Sujuthi (1995: 68) menyimpulkan ada beberapa jenis sabar. Pertama, sabar melaksanakan perintah atau taat. Kedua, sabar menjauhi maksiat. Ketiga, sabar menghadapi musibah. Kajian pustaka yang dilakukan Sujuthi menemukan adanya sabar keempat, yaitu sabar menerima nikmat. Nikmat tidak hanya harus disyukuri, tetapi juga harus disabari. Sabar menerima nikmat berarti mengendalikan diri dalam menggunakan nikmat agar tidak terjerumus dalam sikap berlebihan dan melampaui batas.
Salam Literasi
Trenggalek, 20/4/2013
Ngainun Naim



Referensi:
Mahmud Sujuthi, Catatan Kecil Seorang Dai: Dari Nasehat Sampai Syafaat (Surabaya: Al Ihsan, 1995).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.