Senin, 28 Oktober 2013

Pesona Buku Lama



Oleh Ngainun Naim
Buku itu sepanjang diposisikan sebagai sumber pengetahuan, akan selalu aktual. Selalu saja ada nilai-nilai dan manfaat yang dapat kita petik, asalkan kita membangun sikap positif dan membuka kesadaran kita untuk menyerap setiap kandungan pengetahuan dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Karena itu, ada buku yang selalu saja dibaca, dikaji, diteliti, dan digali maknanya tanpa mengenal zaman. 
Buku karya Sarumpaet

Lihat saja bagaimana komunitas pesantren dengan penuh ketulusan mengkaji kitab klasik. Kitab klasik mengandung banyak nilai yang berpengaruh besar terhadap para pembacanya. Persoalan aktualisasi, tergantung kepada para pengkajinya untuk merekonstruksi agar sesuai dengan kebutuhan zaman.
Tidak hanya kitab klasik, buku berbahasa Indonesia edisi klasik juga memiliki pesona bagi pengkajinya. Zaman boleh berubah, tetapi kandungan isinya tetap saja bisa diaktualisasikan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan.
Beberapa waktu lalu, tanpa sengaja saya menemukan buku karya R.I. Sarumpaet. Buku dengan judul ”Hidup Tenteram dan Sukses” ini diterbitkan oleh Indonesia Publishing House pada tahun 1974. Jadi sudah 39 tahun dari masa terbitnya.
Saya buka buku klasik yang nyaris rusak itu secara hati-hati. Saya tidak ingat persis kapan dan di mana membelinya. Perkiraan saya, saya membelinya di kios Pak Kabul yang terletak di selatan perempatan rumah sakit Tulungagung. Dulu saya memang pelanggan Pak Kabul. Tetapi sejak beberapa tahun terakhir saya jarang lagi mengunjungi kios tersebut. Entahlah, kenapa saya tidak lagi memiliki kesempatan bertandang ke sana.
Buku yang saya ulas ini memang buku lama, tetapi secara personal saya menemukan ada banyak ilmu di dalamnya. Saya ambil contoh adalah bab 4 yang berjudul ”Lihat, Pikir, dan Bicarakanlah yang Baik Saja”. Bab ini, menurut saya, penting untuk dibaca dan diterapkan dalam kehidupan sekarang ini, setidaknya kehidupan saya pribadi.
Kehidupan sekarang ini dipenuhi dengan berbagai imaginasi negatif. Berita di koran, internet, radio, televisi, dan berbagai media lainnya sarat dengan hal-hal negatif. Akumulasi berbagai informasi negatif ini pada akhirnya membentuk perspektif negatif pula. Nah, saran R.I. Sarumpaet untuk selalu melihat, berpikir, dan berbicara tentang yang baik-baik terasa tepat dan menemukan relevansinya.
Menurut Sarumpaet, sebagaimana termuat di halaman 28-29, ada beberapa kerugian yang harus kita terima jika banyak hal negatif mampir dan mempengaruhi kita. Pertama, sel otak kita akan lebih banyak berisi kesan-kesan yang tidak baik. Otak kita akan meninggalkan kesan berdasarkan kesan yang masuk. Jika yang dominan masuk yang negatif, ya kesan inilah yang mendominasi dan menguasai kesadaran kita.
Kedua, kesehatan fisik bisa berpengaruh. Biar bagaimanapun keburukan-keburukan yang kita perhatikan setiap hari, akan mendongkolkan hati. Tidak mustahil yang buruk itu mempengaruhi alat pencernaan. Tidak tertutup kemungkinan juga menganggu tidur. Dengan demikian, hal semacam itu pada akhirnya mempengaruhi kesehatan tubuh.
Ketiga, kegembiraan kita berkurang. Seorang yang tidak memiliki kedongkolan dalam hatinya, akan cerah wajahnya. Akan jernih mukanya bersalaman dan bercakap-cakap dengan sesamanya. Tetapi orang yang dongkol, biasanya tidak cerah dan tidak jernih. Orang bijaksana tidak menambah beban hidupnya dengan kebodohan dan kesalahan orang lain.
Keempat, orang lain kena getahnya. Oleh sebab kita dipengaruhi segala sesuatu yang buruk, kita kurang gembira. Kita gampang tersinggung.
Kelima, waktu banyak terbuang.
Saat menulis catatan ini, saya menemukan tulisan A.S. Laksana di Harian Jawa Pos edisi Minggu, 17 Maret 2013. Tulisan A.S. Laksana ini menemukan spirit sama dengan tulisan yang saya ulas ini. Atau justru kebalikannya, tulisan saya ini yang memiliki spirit sama dengan tulisan A.S. Laksana. Spirit yang saya maksud adalah spirit perspektif positif.
Tulisan A.S. Laksana yang muncul setiap hari minggu di Harian Jawa Pos adalah salah satu tulisan favorit saya. Saya sering menemukan ide, gagasan, dan pencerahan setelah menikmati paparan sastrawan kondang ini. Gaya bahasanya memikat, dan—ini yang menurut saya penting—selalu menawarkan optimisme di tengah kondisi yang karut-marut.
Pada tulisan yang berjudul ”Upaya Memberi Terang dalam Pikiran”, A.S. Laksana kembali mengajarkan—setidaknya kepada diri saya—tentang bagaimana agar pikiran selalu jernih. Saran yang beliau berikan sangat mendasar, yaitu bagaimana membangun perspektif tersebut sampai pada alam bawah sadar.
Saya tersentak menyimak paparan beliau. Apa yang beliau katakan sangat mendasar. Banyak orang yang ingin sukses tetapi justru menuai kegagalan karena secara tidak sadar dalam dirinya terbangun perspektif negatif. Beliau memberi contoh tentang menulis. Dengan lugas beliau menulis, ”Anda berhasrat menjadi penulis dan berulang-ulang mengeluhkan bahwa menulis itu sulit, maka keluhan tersebut hanya akan memperteguh keyakinan Anda sendiri bahwa menulis memang sulit”.
Coba Anda simak pernyataan tersebut. Banyak orang ingin sukses tetapi keyakinannya tidak kuat. Ia mudah patah semangat. Keyakinan yang tidak penuh ini menjadi modal potensial untuk menghancurkan bangunan impian kesuksesan. Karena itu, harus dibangun keyakinan kuat bahwa kesuksesan itu sangat mungkin untuk diraih. Dan A.S. Laksana memberikan saran yang sangat fundamental, yaitu, ”saya selalu menyarankan kepada mereka yang belajar menulis untuk menanamkan kesadaran terbaik yang bisa meningkatkan kecakapan mereka. Minimum, mereka bisa menyampaikan sebelum tidur, ”Bawah sadar, bawah sadar, keluarkan dari gudangmu cerita menarik yang bisa kutulis esok pagi.”
Saran tersebut berlandaskan kepada keyakinan A.S. Laksana bahwa pikiran itu ia ibaratkan ”lahan subur”.  Ia bisa ditanami apa saja. Tetapi watak lahan itu pasif. Jika setelah menama sesuatu dibiarkan saja, tentu tidak akan tumbuh tanaman yang subur dan berkembang biak. Tetapi jika setelah ditanam juga dirawat, dipupuk, disemai, maka akan lahir tanaman yang subur dan memberikan hasil besar.
Oleh karena itu, kata-kata bijak A.S. Laksana yang saya kira sangat penting sebagai bahan refleksi bersama adalah tentang pentingnya menanamkan kesadaran terbaik. Kata Laksana, ”Menanamkan kesadaran terbaik adalah bentuk kebajikan yang bisa Anda lakukan terhadap diri sendiri. Masalahnya, orang yang memiliki niat baik cenderung kurang tekun bila dibandingkan dengan orang yang memiliki niat buruk. Padahal, ketekunan adalah prinsip utama keberhasilan. Orang yang punya niat buruk biasanya sangat tekun menjalankan niatnya dan tidak akan pernah berhenti berupaya sebelum apa yang ia inginkan tercapai. Sebaliknya, orang yang ingin melakukan hal baik, ketika menjumpai sedikit hambatan, biasanya akan cepat patah.”
Jika orang ingin sukses, memang dibutuhkan tekad yang sangat kuat. Nasehat A.S. Laksana di atas mengingatkan kita kepada banyak petuah dalam ajaran agama bahwa untuk melakukan kebaikan, dibutuhkan kesabaran yang tidak kecil. Dorongan dan hasrat berbuat baik memang banyak tantangannya, sementara kejahatan biasanya didukung dengan hasrat yang kokoh. Karena itu, jika ingin sukses dan menebarkan kebaikan, saya kira saran A.S. Laksana penting untuk dipertimbangkan; menjadikannya sebagai tujuan sampai pada level bawah sadar. Terima kasih banyak kepada A.S. Laksana atas nasehatnya yang selalu mengajak untuk ”berpikir terang”. Trenggalek, 29/3/2013.
Salam Literasi!
Ngainun Naim                          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.