Senin, 07 Oktober 2013

Menggali Keunikan Anak



Oleh Ngainun Naim
 
Buku Character Building karyaku
Saya sedang mempersiapkan sebuah tulisan pendek untuk blog dan FB ketika sebuah pesan email masuk di HP saya. Saya cek ada seseorang menandai saya di FB. Mas Musytarif Muhammad rupanya membuat catatan yang menandai saya. Saya buka catatan Mas Musytarif. Saya tertegun tetapi kemudian merasakan kegembiraan.
Rupanya catatan yang saya buat kemarin pagi setelah subuh dan kemudian saya unggah di FB, blog, dan kompasiana telah dibaca oleh banyak orang. Sampai sore ini, di Kompasiana catatan tersebut telah dibaca oleh 84 orang, di blog dibaca 19 orang, dan di FB dilike oleh 19 orang serta mendapatkan 6 komentar.
Tulisan Mas Musytarif sesungguhnya makin memperkaya tulisan saya. Ia menguraikan dalam perspektif yang lebih luas. Catatannya saya rasakan sebagai sebuah ikhtiar ilmiah yang harus terus disemai agar menjadi lebih luas dan bermanfaat.
Saya tidak akan mengomentari balik tulisan Mas Musytarif. Saya hanya akan menambah perspektif saja yang saya ambilkan dari buku saya, Character Building. Pada salah satu bagian buku tersebut saya menulis tentang Keunikan Manusia. Salah satu aspek penting yang perlu dipahami adalah dunia anak itu berbeda dengan dunia orang tua. Keunikan anak seharusnya disemai dan diberdayakan sedini mungkin.
Menurut Kak Seto, ada beberapa hal mendasar yang penting untuk diperhatikan dalam memahami anak-anak. Pertama, anak bukan orang dewasa mini. Anak adalah tetap anak-anak, bukan orang dewasa ukuran mini. Mereka memiliki keterbatasan-keterbatasan bila harus dibandingkan dengan orang dewasa. Selain itu, mereka juga memiliki dunia tersendiri yang khas dan harus dilihat dengan kacamata anak-anak. Untuk itu, menghadapi mereka dibutuhkan adanya kesabaran, pengertian serta toleransi yang mendalam. Mengharapkan mereka bisa mengerti sesuatu dengan cepat dengan membayangkan bahwa mereka adalah orang-orang dewasa seperti kita, tentu bukan merupakan sikap yang bijaksana.
Kedua, dunia bermain. Dunia mereka adalah dunia bermain, yaitu dunia yang penuh dengan spontanitas dan menyenangkan. Sesuatu akan dilakukan oleh anak dengan penuh semangat apabila terkait dengan suasana yang menyenangkan. Namun sebaliknya akan dibenci dan dijauhi oleh anak apabila suasananya tidak menyenangkan. Seorang anak akan rajin belajar, mendengarkan keterangan guru atau melakukan pekerjaan rumahnya apabila suasana belajar adalah suasana yang menyenangkan dan menumbuhkan tantangan.
Ketiga, berkembang. Selain tumbuh secara fisik, anak juga berkembang secara psikologis. Ada fase-fase perkembangan yang dilaluinya. Perilaku yang ditampilkan anak akan sesuai dengan ciri masing-masing fase perkembangan tersebut. Dengan memahami bahwa anak berkembang, kita akan tetap tenang dan bersikap bijaksana dalam menghadapi berbagai gejala yang mungkin muncul pada setiap tahap tertentu perkembangannya tersebut.
Keempat, senang meniru. Anak-anak pada dasarnya senang meniru karena salah satu proses pembentukan tingkah laku mereka diperoleh dengan cara meniru. Anak-anak yang gemar membaca umumnya adalah anak-anak yang mempunyai lingkungan di mana orang-orang lain di sekitarnya mempunyai kebiasaan membaca yang baik tersebut.
Para tokoh besar yang memiliki tradisi membaca yang kuat umumnya juga mendapatkan benih-benih kegemaran membaca dari keluarganya. Ketersediaan bahan bacaan dan teladan membaca yang diberikan oleh anggota keluarga menjadikan anak-anak memiliki keinginan untuk menirunya. Begitulah, tradisi membaca dalam keluarga biasanya akan berlanjut dari generasi ke generasi. Anak-anak akan meniru dan melakukannya dengan penuh rasa senang terhadap aktivitas membaca karena anggota keluarga yang lainnya juga melakukan hal yang sama.
Oleh karena itu, dalam mendidik anak diusahakan agar orang tua dan lingkungan memberikan teladan yang baik. Sebab apa pun yang dilakukan oleh orang-orang di lingkungan anak—ucapan, sikap atau perilaku—akan ditiru, baik itu positif maupun negatif. Teladan baik akan mendorong anak memiliki pribadi yang baik. Sebaliknya, teladan buruk juga akan mendorong anak memiliki kepribadian buruk.
Anak-anak yang perilakunya buruk biasanya juga meniru dari lingkungannya sebab tidak ada manusia yang lahir dengan karakter buruk. Semuanya memiliki potensi dan nilai-nilai kebaikan. Jika kemudian mereka memiliki perilaku buruk, hampir dapat dipastikan karena adanya pengaruh faktor eksternal. Para perokok misalnya, umumnya jarang yang melakukan karena dorongan dari diri pribadi. Pergaulan dan ajakan teman yang biasanya menjadikan seseorang memiliki kebiasaan merokok.
Media massa pernah memberitakan tentang seorang anak usia 4 tahun di Malang Jawa Timur yang memiliki kebiasaan merokok. Anak tersebut merokok sehari lebih dari sebungkus. Kebiasaan ini tampaknya tidak mendapat perhatian secara memadai dari orang tuanya. Kebiasaan ini lahir ternyata karena si anak setiap hari melihat ayahnya yang merokok.
Kelima, kreatif. Anak-anak pada dasarnya adalah kreatif. Mereka memiliki ciri-ciri yang oleh para ahli sering digolongkan sebagai ciri-ciri individu yang kreatif, misalnya rasa ingin tahu yang besar, senang bertanya, imajinasi yang tinggi, minat yang luas, tidak takut salah, berani menghadapi resiko, bebas dalam berpikir, senang akan hal-hal yang baru, dan sebagainya. Namun sering dikatakan bahwa begitu anak masuk sekolah, kreativitas anak pun semakin menurun. Hal ini sering disebabkan karena pengajaran yang diberikan terlalu menekankan pada cara berpikir secara konvergen, sementara cara berpikir secara divergen kurang dirangsang.
Dalam hal ini guru perlu memahami kreativitas yang ada pada diri anak-anak dengan bersikap luwes dan kreatif pula. Bahan-bahan pelajaran di sekolah hendaknya tidak sekadar menuntut anak untuk memberikan satu-satunya jawaban yang benar menurut guru saja. Kepada mereka tetaplah perlu diberi kesempatan untuk mengembangkan imajinasinya secara ‘liar’ dengan menerima dan menghargai adanya alternatif jawaban yang kreatif.
Kesempatan dan penghargaan yang diberikan oleh guru sangat penting artinya bagi eksistensi diri anak. Guru seharusnya menyadari bahwa anak itu unik. Antara satu dengan lainnya memiliki karakter yang berbeda. Perbedaan ini menjadi kunci penting dalam menentukan sikap, perilaku, dan perlakuan saat mengajar. Tidak bisa semua anak diperlakukan secara sama.
Implementasi lebih jauh dari filosofi bahwa setiap anak itu unik adalah memberi kesempatan kepada setiap keunikan yang dimiliki oleh anak untuk dieksplorasi dan dikembangkan. Penyeragaman merupakan cara yang kurang bijak. Upaya penyeragaman sangat mungkin justru mengeliminir, atau bahkan—pada tingkat yang ekstrim—mematikan, terhadap segenap potensi yang dimiliki oleh anak. Guru harus melatih setiap anak untuk mengembangkan apa yang dimilikinya. Pemberian alternatif jawaban merupakan salah satu sarana dalam kerangka tersebut.
Memang bukan hal mudah untuk mengimplementasikan konsep ini. Dalam berbagai diskusi dengan teman-teman guru, salah satu persoalan yang muncul adalah bagaimana mengkompromikan antara tuntutan kurikulum dengan idealitas dalam mengeksplorasi dan mengembangkan potensi anak tersebut. Sebab, bukan hal mudah untuk menjalankan keduanya. Jika mengacu kepada acuan kurikulum sepenuhnya, banyak hal yang kurang mampu digali dari diri anak-anak yang beraneka ragam. Tetapi jika hanya asik dengan penggalian keanekaragaman anak didik, maka apa yang menjadi target dari pemerintah tidak akan tercapai. Konsekuensi dari hal ini tidak ringan. Misalnya, nilai anak-anak akan kurang sesuai harapan, atau bahkan tidak lulus UAN. Lebih jauh, konsekuensi berikutnya sangat panjang, mulai nasib karier guru, nasib kepala sekolah, dan seterusnya.
Diskusi terhadap persoalan semacam ini berlangsung sangat serius dan membutuhkan waktu yang tidak pendek. Beberapa alternatif pemikiran yang pernah muncul adalah; kompromi, yakni bagaimana menjadikan antara tuntutan kurikulum dengan penggalian keunikan siswa secara seimbang. Jawaban ini memang bisa jadi pilihan yang cukup rasional. Tetapi bagaimana membangun keseimbangan tersebut? Lagi-lagi muncul dilema dan kerumitan. Muatan kurikulum yang sedemikian padat rasanya terlalu berat jika dikurangi untuk tujuan lain. Sementara penggalian keunikan siswa secara total juga kurang mungkin dengan alokasi waktu yang tersedia.
Persoalan demi persoalan memang selalu muncul dan menimbulkan kerumitan tersendiri. Formula yang ditawarkan pada dasarnya tidak ada yang permanen sebab antara satu sekolah dengan sekolah lain memiliki tradisi, kebijakan, dan karakteristik yang berbeda. Oleh karena itu, pada level ini, yang dituntut adalah kreativitas dan kemampuan guru membaca realitas yang ada. Guru dituntut untuk mampu menyelaraskan antara tuntutan kurikulum dengan penggalian keunikan siswa dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang ada. Namun demikian, seyogyanya dibangun mekanisme yang mendukung di antara semua komponen sekolah agar upaya yang dilakukan mampu memberikan hasil yang memuaskan. Jangan sampai upaya semacam ini hanya menjadi eksperimen guru secara individual. Cara semacam ini terlalu riskan dan berat dalam mencapai hasil optimal. Berbagai hambatan dan tantangan akan menggagalkan tujuan yang telah dirancang secara matang. Dukungan secara penuh berbagai pihak terkait menjadi modal penting untuk mencapai hasil optimal pembelajaran.
Tulungagung, 7 Oktober 2013
Ngainun Naim

Rujukan:
Ngainun Naim, Character Building (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012).
Kak Seto,”Peran Pendidikan dalam Membangun Karakter Anak”, dalam Arismantoro (Peny.) Character Building, Bagaimana Mendidik Anak Berkarakter (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.