Rabu, 23 Oktober 2013

Beratnya Mengakui Kesalahan



Oleh Ngainun Naim

Mengakui kekurangan—apalagi kesalahan—ternyata bukan hal mudah. Tidak setiap orang mampu melakukannya. Bahkan ada kecenderungan umum di mana setiap orang cenderung berkilah untuk menutupi kesalahan yang telah dilakukannya. Berbagai hal akan dilakukan agar orang lain tidak menyalahkannya.
Saya tidak perlu mencari contoh terlalu jauh. Diri saya pun mengalami hal semacam ini. Beberapa kali saya tahu telah melakukan kesalahan, tetapi rasanya berat sekali untuk mengakuinya. Harga diri ini terasa tercabik-cabik. Apalagi jika orang yang kita beritahu kalau kita salah itu posisinya di bawah kita.
Sudah jelas-jelas melakukan kesalahan pun masih sering juga menutup-nutupi. Mencari kambing hitam menjadi salah satu strategi aman untuk melindungi diri. Misalnya saya terlambat masuk kantor dan ditegur oleh atasan, maka saya biasanya tidak akan meminta maaf dan berjanji untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut, melainkan mencari berbagai alasan untuk membenarkan perbuatan tersebut.
Itulah potret manusia pada umumnya. Padahal, mengakui kesalahan merupakan perbuatan yang mulia sebagai sarana untuk tidak mengulangi lagi. Manusia yang baik adalah manusia yang selalu berusaha memperbaiki diri secara terus-menerus. Perbaikan diri dapat dilakukan jika memang memiliki kesadaran untuk melakukannya. Jika tidak, perbaikan diri tentu tidak mudah dilakukan
Coba kita simak fakta yang sekarang ini terjadi. Tidak sedikit orang-orang pandai yang terkena masalah tetapi mereka selalu ngotot bahwa yang dilakukannya benar. Berkaitan dengan hal ini, menarik menyimak pendapat Yusuf Burhanudin dalam bukunya, Saat Tuhan Menyapa Hatimu (Bandung: Mizania, 2007). Pada halaman 61 buku tersebut dijelaskan bahwa menurut Anas Ibn Malik, hakikat ilmu tidak hanya dilihat dari pesatnya ilmu pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga harus dilihat dari ruh ilmu yang mewariskan rasa takut kepada Allah pada pelakunya. Hilangnya rasa takut kepada Allah menjadikan ilmu tanpa cahaya, ada perangkatnya namun hilang ruh kebaikannya. Ilmu hanya digunakan sebagai kegunaan teknis dan mengabaikan spirit kebaikan di dalamnya. Akibatnya, kedigdayaan ilmu hanya digunakan untuk menebar kejahatan dan kesesatan.
Karena itulah, ilmu yang disinari ruh kebaikan akan menjadikan pelakunya selalu berusaha menjalankan kebaikan. Bukan berarti mereka tidak pernah melakukan kesalahan. Tidak ada manusia yang tidak pernah melakukan kesalahan. Manusia yang baik adalah manusia yang setelah melakukan kesalahan segera bertobat dan memperbaiki diri.
Tulungagung, 21 Oktober 2013
Ngainun Naim
www.ngainun-naim.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.