Rabu, 11 September 2013

Penulis Kok Pensiun Menulis



Penulis Kok Pensiun Menulis
Oleh Ngainun Naim
Ketika sedang di puncak produktivitas, nyaris tidak ada hari tanpa artikel yang dibuat. Kadang satu artikel selesai sehari, kadang butuh dua hari untuk menyelesaikannya. Tetapi ia tidak berhenti. Selalu saja ada ide yang datang menyapa. Saat jenuh menulis artikel, ia berpindah menulis resensi buku. Begitu jenuh, ia menulis cerpen. Artikel, resensi buku, dan cerpen adalah tiga jenis tulisan yang terus ia produksi seolah tanpa kenal lelah.
Produktivitasnya membuat banyak orang kagum. Jarang ada penulis yang memiliki stamina menulis semacam itu. Selain produktif, karyanya juga menembus (hampir) seluruh media cetak kala itu. Tidak main-main, media sekelas Kompas, Jawa Pos, Media Indonesia, dan media-media besar lainnya telah ia singgahi. Belum lagi media-media kecil yang nyaris tanpa sensor memuat karyanya.
Bertahun-tahun ia merajai media cetak. Namanya menjadi jaminan pemuatan. ”Sebenarnya tidak pasti selalu dimuat”, katanya suatu ketika saat saya menanyainya, ”tetapi memiliki peluang yang lebih besar dibandingkan penulis lainnya. Itu buah kerja keras. Saya menulis jauh lebih banyak dibandingkan teman-teman. Sebelum banyak dimuat seperti sekarang, yang ditolak jauh lebih banyak”.
Ya, tampaknya kunci penting menulis di media cetak telah ia kuasai. Disiplin, terus berkarya, membaca isu aktual, dan berbagai kunci penting lainnya telah menjadi kelebihan baginya. Dan itu yang membuatnya menjadi penulis tak kelas atas untuk zaman itu.
Zaman Berubah
Itu dulu. Tahun 1990-an. kini namanya tidak terdengar lagi. Sesekali saya pernah mencari di mesin pencari dan menemukan namanya masih menulis di sebuah media lokal. Tetapi sangat sedikit dibandingkan karyanya saat berjaya.
Mempertahankan stamina menulis ternyata tidak mudah. Banyak penulis prolifik yang merajai dunia penulisan (koran, majalah, dan buku) pada suatu masa, tetapi beberapa tahun kemudian namanya lenyap tak terdengar lagi. Sangat jarang ada penulis yang memiliki stamina tinggi yang terus konsisten berkarya dalam jangka panjang, bahkan sepanjang hidup.
Saat belajar menulis di akhir tahun 1990-an, saya rajin mencermati beberapa media massa, khususnya rubrik artikel, resensi buku, dan cerpen. Waktu itu, ada beberapa nama yang seolah tiap minggu namanya nongol di beberapa media massa. Rasanya iri betul melihat mereka begitu berjaya. Ingin betul menirunya.
Saya berusaha keras untuk meniru mereka. Hasilnya memang tidak terlalu istimewa, tetapi paling tidak saya telah berusaha keras belajar menulis. Beberapa tulisan saya telah sempat nangkring di beberapa media besar, walaupun tentu tidak banyak. Sebagian besar justru dimuat di media menengah ke bawah. Honor? Ada yang banyak, bahkan menurut saya sangat banyak. Tetapi tidak sedikit juga yang dimuat pun saya tidak tahu bentuk edisi cetaknya.
Sekarang ini, setelah lebih dari 15 tahun, nama-nama yang dulu merajai media massa itu banyak yang tidak terdengar lagi. Kini bermunculan penulis-penulis generasi baru. Para penulis generasi baru ini sekarang menjadi raja baru. Pertanyaannya, sampai kapan mereka bertahan?
Tetap Menulis atau Pensiun
Saya tidak tahu pasti ke mana saja para penulis prolifik itu sekarang ini. Berdasarkan info-info sekilas yang saya peroleh, ada beberapa kemungkinan mengapa banyak nama yang dulu merajai dunia media massa tetapi kini tenggelam. Pertama, sibuk dengan jabatan. Penulis yang dulu produktif rata-rata belum memiliki jabatan penting. Mereka umumnya penulis lepas atau penulis yang bekerja dengan jabatan yang belum terlalu strategis. Seiring perjalanan waktu, banyak yang kemudian menjadi pejabat. Kesibukan kerja sehari-hari yang menguras energi menjadikan kesempatan menulis semakin terpinggirkan. Pada awalnya idealisme menulis masih mampu dipertahankan. Walaupun sangat sibuk, menulis masih mampu diusahakan. Tetapi seiring kesibukan yang terus meningkat, menulis betul-betul berat untuk dilakukan. Sesekali masih disempatkan menulis, tetapi karena tulisannya tidak lagi memiliki aktualitas dan ketajaman analisis sehingga semakin jarang dimuat, perlahan tetapi pasti dunia menulis pun ditinggalkan.
Kedua, mapan secara ekonomi. Banyak penulis yang menulis karena untuk kepentingan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Menulis menjadi sandaran untuk biaya kuliah sekaligus biaya hidup. Banyak sekali penulis dalam kategori ini. Ketika lulus kuliah dan mendapatkan penghasilan yang berlimpah, menulis tidak lagi dianggap sebagai hal penting. Dunia menulis pun ditinggalkan.
Ketiga, kehabisan stamina. Menulis itu membutuhkan energi besar. Mungkin saja seseorang mampu mempertahankan staminanya menulis secara konsisten dalam jangka waktu tertentu, tetapi lebih banyak lagi yang berguguran. Para penulis yang sempar merajai dunia menulis di media massa itu banyak juga yang kehabisan stamina sehingga memilih pensiun.
Tentu ada banyak sebab lain yang membuat penulis pensiun dari dunia menulis. Dan itu saya kira sah-sah saja. Tetapi bagi penulis yang penuh komitmen, menulis seharusnya menjadi bagian tidak terpisah dari kehidupan. Sepanjang bisa, ya menulis. Penulis yang berkomitmen tentu tidak mengenal kata pensiun.
Salam persahabatan!
Ngainun Naim
Trenggalek, 10 September 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.