Selasa, 13 Agustus 2013

TUHAN TELAH PERGI DARI MASJID



Oleh Ngainun Naim

Besok merupakan puasa ramadhan terakhir. Perjuangan selama sebulan utuh akhirnya tertunai sudah. Ada kelegaan luar biasa dalam diri karena kita mampu menjalani puasa tahun ini dengan segenap dinamikanya. Rasanya tidak mudah untuk dijelaskan secara lisan bagaimana kita menjalani puasa tahun ini.
Setiap orang memiliki pengalaman spiritual yang khas. Kita sama-sama menjalankan ibadah selama sebulan, tetapi pemahaman, pengalaman, dan penghayatannya tidak akan sama. Masing-masing orang memiliki nilai spiritual khas yang tidak mampu diungkapkan secara utuh dalam kata-kata. Pengalaman itu sering disebut sebagai pengalaman eksistensial.
Ada rasa sedih yang kita rasakan karena sebentar lagi ramadhan akan meninggalkan kita. Kesedihan ini disebabkan karena bulan ramadhan merupakan bulan yang istimewa. Ajaran Islam menyebutkan bahwa inilah bulan yang di dalamnya sarat keistimewaan. Tulisan para Kompasianer sudah banyak mengulas tentang keistimewaan bulan ini. Jadi, saya tidak akan mengulasnya lagi. Selain bulan ramadhan juga sudah hampir usai, saya tidak memiliki pengetahuan memadai dalam bidang ini.
Saya ingin melihat bulan ramadhan ini sebagai bulan yang membuat kita (maksud saya umat Islam) terdesain menjadi manusia yang religius. Mengapa demikian? Ya karena kondisi sosial yang membuat kita menjadi manusia yang religius. Coba bayangkan, selama ramadhan, hampir semua orang berpuasa. Karena sebagian besar orang berpuasa, orang yang tidak berpuasa pun menjadi malu atau tahu diri. Mereka tidak akan makan di hadapan teman-temannya yang menjalankan puasa. Toleransi ini, dalam batas-batas tertentu, telah cukup bagus. Karena itu harus dipertahankan agar tercipta hubungan sosial yang harmonis.
Suasana religius ramadhan juga terlihat di tempat-tempat kerja. Kerja yang biasanya berlangsung sekitar 7-8 jam dikurangi jumlah jamnya. Para karyawan bisa berangkat kerja lebih siang dan pulang lebih awal. Kantor yang biasanya mekanis karena berisi rutinitas kerja biasanya juga mendesain kegiatan agama seperti pengajian, kultum, buka bersama, atau taraweh.
Kampung tempat kita tinggal juga sarat dengan berbagai kegiatan bernuansa agama. Jamaah shalat menjadi penuh gairah. Masjid dan mushala penuh sesak oleh jamaah shalat tarawih. Seusai taraweh, ada kegiatan membaca al-Qur’an. Di kampung saya, orang tadarus al-Qur’an bahkan berlangsung hingga jauh malam.
Karena kondisi yang semacam inilah maka suasana bulan ramadhan selalu menimbulkan kangen luar biasa. Wajar jika bulan ini terasa berat untuk kita tinggalkan. Karena itu, hanya doa tulus dan penuh penghayatan yang dapat kita panjatkan agar kita bisa menemui lagi bulan penuh hikmah ini. Kita berharap agar menjadi manusia yang diberi kesempatan menikmati bulan yang penuh keistimewaan ini.
Tuhan seolah hadir sepenuhnya dalam hari-hari ini. Kita menjadi begitu religius. Kita menjadi agamis. Kita berusaha menjadi manusia yang mampu menahan diri dari segala godaan.

Kini, Yang Justru Ramai adalah Tempat Belanja
Suasana religius di bulan ramadhan biasanya semakin berkurang seiring semakin dekatnya hari raya idul fitri. Seorang teman yang beberapa hari lalu mengisi siraman rohani menjelang buka puasa menyatakan, ”Ramadhan itu semakin hari bukannya semakin mendekatkan kita kepada Tuhan. Di awal-awal ramadhan memang kita menjadi orang yang agamis. Setiap hari kita ke masjid untuk shalat taraweh. Jalan-jalan menjelang isyak dipenuhi oleh orang yang berduyun-duyun berangkat ke masjid. Ini tentu fenomena yang menggembirakan dan harus kita apresiasi. Tetapi seiring dengan perjalanan waktu, terjadi kemajuan. Maksudnya, jamaah semakin maju karena jumlahnya yang semakin berkurang. Pada sepuluh hari terakhir yang seharusnya kita semakin giat beribadah, justru Tuhan sudah tidak ada di masjid. Tuhan seolah telah pergi dari masjid. Kini, yang justru ramai bukan lagi masjid, tetapi tempat-tempat belanja. Lihatlah pertokoan dan pusat perbelanjaan. Manusia berjubel membeli barang-barang kebutuhan untuk menyambut idul fitri. Semua berlomba dan tidak mau ketinggalan. Berapapun uang yang kita punya, akan tetap habis untuk menyongsong lebaran”. Begitu inti dari ceramah teman saya.
Saya menyimak dengan cermat ceramah tersebut. saya renungkan apa yang beliau katakan. Memang betul begitu kondisinya secara umum. Kita tidak bisa memungkiri adanya orang-orang yang tetap teguh menjalankan ibadah secara konsisten dan tidak tergoda dengan arus kegairahan berbelanja. Tetapi jumlah mereka tampaknya kalah dengan arus besar yang memenuhi tempat-tempat berbelanja.
Kita memahami kegairahan ini. Lebaran memang momentum yang memiliki nilai budaya dan religius. Tetapi satu hal yang penting untuk kita jadikan bahan renungan bersama: APA YANG KITA PEROLEH DENGAN LEBARAN KALI INI? Jangan sampai lebaran justru menghilangkan nilai ibadah puasa kita selama sebulan.

Kembali Menata Niat
Jika lebaran sebagai sarana pamer, tentu terlepas dari konteks tujuannya yang mendasar. Lebaran itu harus dikaitkan dengan puasa. Artinya, lebaran itu merupakan hasil dari puasa. Jangan sampai lebaran itu dimaknai sebagai kemenangan. Karena jika dimaknai sebagai kemenangan, kita akan menjadi orang yang melampiaskan rasa senang secara berlebihan. Lebaran atau idul fitri seyogyanya dimaknai sebagai kembali suci. Dengan demikian, kita tidak menjadi orang yang berlebihan dan melupakan substansi puasa itu sendiri.
Sekarang ini, di ujung ramadhan, marilah kita refleksikan perjalanan puasa kita. Apakah kita memaknainya sebagai kemenangan atau kembali suci? Kita semua memiliki pemaknaan sendiri-sendiri. Tetapi jika melihat fenomena ramainya pusat-pusat belanja dan sepinya masjid, tempaknya Tuhan telah pergi dari masjid. Dan itu berarti, tidak sedikit yang memaknai lebaran sebagai kemenangan. Salam.

Trenggalek, 6 Agustus 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.