Oleh
Ngainun Naim
Besok merupakan puasa ramadhan terakhir. Perjuangan selama sebulan utuh
akhirnya tertunai sudah. Ada kelegaan luar biasa dalam diri karena kita mampu
menjalani puasa tahun ini dengan segenap dinamikanya. Rasanya tidak mudah untuk
dijelaskan secara lisan bagaimana kita menjalani puasa tahun ini.
Setiap orang memiliki pengalaman spiritual yang khas. Kita sama-sama
menjalankan ibadah selama sebulan, tetapi pemahaman, pengalaman, dan
penghayatannya tidak akan sama. Masing-masing orang memiliki nilai spiritual
khas yang tidak mampu diungkapkan secara utuh dalam kata-kata. Pengalaman itu
sering disebut sebagai pengalaman
eksistensial.
Ada rasa sedih yang kita rasakan karena sebentar lagi ramadhan akan
meninggalkan kita. Kesedihan ini disebabkan karena bulan ramadhan merupakan
bulan yang istimewa. Ajaran Islam menyebutkan bahwa inilah bulan yang di
dalamnya sarat keistimewaan. Tulisan para Kompasianer sudah banyak mengulas
tentang keistimewaan bulan ini. Jadi, saya tidak akan mengulasnya lagi. Selain
bulan ramadhan juga sudah hampir usai, saya tidak memiliki pengetahuan memadai
dalam bidang ini.
Saya ingin melihat bulan ramadhan ini sebagai bulan yang membuat kita
(maksud saya umat Islam) terdesain menjadi manusia yang religius. Mengapa
demikian? Ya karena kondisi sosial yang membuat kita menjadi manusia yang
religius. Coba bayangkan, selama ramadhan, hampir semua orang berpuasa. Karena
sebagian besar orang berpuasa, orang yang tidak berpuasa pun menjadi malu atau
tahu diri. Mereka tidak akan makan di hadapan teman-temannya yang menjalankan
puasa. Toleransi ini, dalam batas-batas tertentu, telah cukup bagus. Karena itu
harus dipertahankan agar tercipta hubungan sosial yang harmonis.
Suasana religius ramadhan juga terlihat di tempat-tempat kerja. Kerja yang
biasanya berlangsung sekitar 7-8 jam dikurangi jumlah jamnya. Para karyawan
bisa berangkat kerja lebih siang dan pulang lebih awal. Kantor yang biasanya
mekanis karena berisi rutinitas kerja biasanya juga mendesain kegiatan agama
seperti pengajian, kultum, buka bersama, atau taraweh.
Kampung tempat kita tinggal juga sarat dengan berbagai kegiatan bernuansa
agama. Jamaah shalat menjadi penuh gairah. Masjid dan mushala penuh sesak oleh
jamaah shalat tarawih. Seusai taraweh, ada kegiatan membaca al-Qur’an. Di
kampung saya, orang tadarus al-Qur’an bahkan berlangsung hingga jauh malam.
Karena kondisi yang semacam inilah maka suasana bulan ramadhan selalu
menimbulkan kangen luar biasa. Wajar jika bulan ini terasa berat untuk kita
tinggalkan. Karena itu, hanya doa tulus dan penuh penghayatan yang dapat kita
panjatkan agar kita bisa menemui lagi bulan penuh hikmah ini. Kita berharap
agar menjadi manusia yang diberi kesempatan menikmati bulan yang penuh
keistimewaan ini.
Tuhan seolah hadir sepenuhnya dalam hari-hari ini. Kita menjadi begitu
religius. Kita menjadi agamis. Kita berusaha menjadi manusia yang mampu menahan
diri dari segala godaan.
Kini, Yang Justru Ramai adalah Tempat Belanja
Suasana religius di bulan ramadhan biasanya semakin berkurang seiring
semakin dekatnya hari raya idul fitri. Seorang teman yang beberapa hari lalu
mengisi siraman rohani menjelang buka puasa menyatakan, ”Ramadhan itu semakin
hari bukannya semakin mendekatkan kita kepada Tuhan. Di awal-awal ramadhan memang
kita menjadi orang yang agamis. Setiap hari kita ke masjid untuk shalat
taraweh. Jalan-jalan menjelang isyak dipenuhi oleh orang yang berduyun-duyun
berangkat ke masjid. Ini tentu fenomena yang menggembirakan dan harus kita
apresiasi. Tetapi seiring dengan perjalanan waktu, terjadi kemajuan. Maksudnya, jamaah semakin maju karena
jumlahnya yang semakin berkurang. Pada sepuluh hari terakhir yang
seharusnya kita semakin giat beribadah, justru Tuhan sudah tidak ada di masjid.
Tuhan seolah telah pergi dari masjid. Kini, yang justru ramai bukan lagi
masjid, tetapi tempat-tempat belanja. Lihatlah pertokoan dan pusat
perbelanjaan. Manusia berjubel membeli barang-barang kebutuhan untuk menyambut
idul fitri. Semua berlomba dan tidak mau ketinggalan. Berapapun uang yang kita
punya, akan tetap habis untuk menyongsong lebaran”. Begitu inti dari ceramah
teman saya.
Saya menyimak dengan cermat ceramah tersebut. saya renungkan apa yang
beliau katakan. Memang betul begitu kondisinya secara umum. Kita tidak bisa
memungkiri adanya orang-orang yang tetap teguh menjalankan ibadah secara
konsisten dan tidak tergoda dengan arus kegairahan berbelanja. Tetapi jumlah
mereka tampaknya kalah dengan arus besar yang memenuhi tempat-tempat
berbelanja.
Kita memahami kegairahan ini. Lebaran memang momentum yang memiliki nilai
budaya dan religius. Tetapi satu hal yang penting untuk kita jadikan bahan
renungan bersama: APA YANG KITA PEROLEH DENGAN LEBARAN KALI INI? Jangan sampai
lebaran justru menghilangkan nilai ibadah puasa kita selama sebulan.
Kembali Menata Niat
Jika lebaran sebagai sarana pamer, tentu terlepas dari konteks tujuannya
yang mendasar. Lebaran itu harus dikaitkan dengan puasa. Artinya, lebaran itu
merupakan hasil dari puasa. Jangan sampai lebaran itu dimaknai sebagai
kemenangan. Karena jika dimaknai sebagai kemenangan, kita akan menjadi orang
yang melampiaskan rasa senang secara berlebihan. Lebaran atau idul fitri
seyogyanya dimaknai sebagai kembali suci. Dengan demikian, kita tidak menjadi
orang yang berlebihan dan melupakan substansi puasa itu sendiri.
Sekarang ini, di ujung ramadhan, marilah kita refleksikan perjalanan puasa
kita. Apakah kita memaknainya sebagai kemenangan atau kembali suci? Kita semua
memiliki pemaknaan sendiri-sendiri. Tetapi jika melihat fenomena ramainya
pusat-pusat belanja dan sepinya masjid, tempaknya Tuhan telah pergi dari masjid. Dan itu berarti, tidak sedikit yang
memaknai lebaran sebagai kemenangan. Salam.
Trenggalek, 6 Agustus 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.