Oleh
Ngainun
Naim
Jujur itu mudah diucapkan
tetapi berat itu dilaksanakan. Jujur
itu lebih berkaitan dengan komitmen dan integritas personal. Jika seseorang
memang kuat komitmen dan integritas pribadinya, dalam kondisi apapun ia akan
tetap jujur. Tetapi jika memang komitmen dan integritas pribadinya lemah, ia
akan melakukan banyak hal yang merugikan demi meraup keuntungan. Koruptor yang
banyak bergentayangan di seantero negeri ini merupakan bukti nyata betapa
kejujuran itu kian mahal harganya.
Seorang penjual bensin di Kediri pernah melakukan ujicoba yang ”nyeleneh”.
Ia menjual bensin eceran secara swalayan. Pembeli dipersilahkan mengambil
sendiri dan memasukkan uang pembeliannya di kotak uang. Kalaupun uangnya lebih,
kembaliannya silahkan mengambil sendiri. Sebuah eksperimen berani dan
menggetarkan. Dan sebagaimana ditebak, bukan untung yang ia peroleh. Dalam
kurun sekitar tiga bulan, kerugian yang dideritanya hampir 500 ribu.
Kejujuran juga kian mahal di dunia pendidikan. Lihat saja bagaimana kantin
kejujuran yang dibuka di berbagai sekolah banyak yang bangkrut dan gulung
tikar. Para siswa ternyata sulit untuk berperilaku jujur. ”Jika masih sekolah
saja tidak jujur maka nanti setelah menjadi
orang, ia akan lebih ganas”, begitu inti pendapat seorang pakar.
Betapa pun beratnya kejujuran untuk dilaksanakan, ia tetap harus
diperjuangkan. Kejujuran harus menjadi komitmen, integritas, karakter, dan
bagian dari tradisi yang melekat kuat dalam kehidupan individu dan sosial
masyarakat kita. Jika tidak, kehidupan ini akan semakin kacau karena
ketidakjujuran menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Seorang teman pernah mengatakan bahwa modal penting yang harus dimiliki seorang
politisi adalah ketidakjujuran. Saya
tidak sepenuhnya setuju dengan pendapat tersebut walaupun fakta menunjukkan
sangat banyak politisi yang berbohong. Demi meraih kekuasaan, mereka berbohong.
Demi mempertahankan karier di legislatif, mereka berbohong. Demi kekuasaan,
mereka menipu.
Tetapi saya juga menyadari bahwa ketidakjujuran itu ada di mana saja. Tidak
hanya pada para politisi. Di antara para politisi yang kerap dinilai negatif,
saya yakin sepenuhnya banyak juga yang masih memegang teguh nilai kejujuran.
Mereka teguh memegang prinsip di antara godaan material yang kian dahsyat.
Hal sama saya kira juga terjadi di bidang kehidupan yang lainnya. Kejujuran
dan ketidakjujuran itu selalu ada. Jangan dikira semua agamawan itu jujur.
Selalu saja ada yang tidak jujur. Mereka ’menggadaikan’ ajaran agamanya demi
kepentingan individual.
Hal penting yang justru harus kita tumbuhkembangkan dan sebarluaskan adalah
bagaimana kejujuran itu harus ditegakkan. Kejujuran harus dilakukan sedini
mungkin. Tidak perlu memulai dari hal yang besar. Kejujuran bisa dimulai dari
hal-hal kecil dan sederhana. Koruptor yang menilap uang rakyat triliunan rupiah
itu pasti awalnya memulai dari ketidakjujuran pada hal-hal yang kecil. Karena
terbiasa maka yang besar pun menjadi tidak sulit untuk dilakukan.
Inspirasi kejujuran juga harus terus-menerus disuarakan. Saya mendapatkan
inspirasi kejujuran kemarin sore dari seorang perempuan muda di sebuah
supermarket. Ia datang membawa print out daftar belanjanya. Ia katakan bahwa
ada satu barang yang belum tercatat. Kalau tidak salah dengar, ia menyebut madu
yang seharga Rp. 20.000. Jadi maksud kedatangannya adalah mau membayar barang
yang telah ia bawa pulang namun belum terdaftar dalam catatan belanjanya.
Saya perhatikan perempuan muda itu. Ia kelihatan sangat tenang.
Kejujurannya membuat saya seperti tertampar. Kalau yang mengalami saya, belum
tentu saya mengembalikannya. Tentu ada banyak alasan yang dapat saya buat
dengan menyalahkan pihak pegawai supermarket dan membenarkan diri saya sendiri.
Tetapi perempuan muda itu tidak melakukannya. Ia menghindari memakan makanan
yang tidak jelas nilai kehalalannya.
Mungkin yang dilakukan perempuan muda tersebut bukan hal istimewa dari sisi
nilai. Hanya Rp. 20.000. Tetapi yang perlu diingat, jika terhadap hal kecil
saja ia begitu hati-hati, hal yang sama akan ia lakukan terhadap hal yang
besar. Logika sebaliknya, jika terhadap hal kecil saja seseorang tidak
hati-hati, apalagi terhadap yang besar.
Trenggalek, 6 Agustus 2013
Ngainun Naim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.