Senin, 12 Agustus 2013

INSPIRASI KEJUJURAN SEORANG PEREMPUAN MUDA



Oleh Ngainun Naim

Jujur itu mudah diucapkan tetapi berat itu dilaksanakan. Jujur itu lebih berkaitan dengan komitmen dan integritas personal. Jika seseorang memang kuat komitmen dan integritas pribadinya, dalam kondisi apapun ia akan tetap jujur. Tetapi jika memang komitmen dan integritas pribadinya lemah, ia akan melakukan banyak hal yang merugikan demi meraup keuntungan. Koruptor yang banyak bergentayangan di seantero negeri ini merupakan bukti nyata betapa kejujuran itu kian mahal harganya.
Seorang penjual bensin di Kediri pernah melakukan ujicoba yang ”nyeleneh”. Ia menjual bensin eceran secara swalayan. Pembeli dipersilahkan mengambil sendiri dan memasukkan uang pembeliannya di kotak uang. Kalaupun uangnya lebih, kembaliannya silahkan mengambil sendiri. Sebuah eksperimen berani dan menggetarkan. Dan sebagaimana ditebak, bukan untung yang ia peroleh. Dalam kurun sekitar tiga bulan, kerugian yang dideritanya hampir 500 ribu.
Kejujuran juga kian mahal di dunia pendidikan. Lihat saja bagaimana kantin kejujuran yang dibuka di berbagai sekolah banyak yang bangkrut dan gulung tikar. Para siswa ternyata sulit untuk berperilaku jujur. ”Jika masih sekolah saja tidak jujur maka nanti setelah menjadi orang, ia akan lebih ganas”, begitu inti pendapat seorang pakar.
Betapa pun beratnya kejujuran untuk dilaksanakan, ia tetap harus diperjuangkan. Kejujuran harus menjadi komitmen, integritas, karakter, dan bagian dari tradisi yang melekat kuat dalam kehidupan individu dan sosial masyarakat kita. Jika tidak, kehidupan ini akan semakin kacau karena ketidakjujuran menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Seorang teman pernah mengatakan bahwa modal penting yang harus dimiliki seorang politisi adalah ketidakjujuran. Saya tidak sepenuhnya setuju dengan pendapat tersebut walaupun fakta menunjukkan sangat banyak politisi yang berbohong. Demi meraih kekuasaan, mereka berbohong. Demi mempertahankan karier di legislatif, mereka berbohong. Demi kekuasaan, mereka menipu.
Tetapi saya juga menyadari bahwa ketidakjujuran itu ada di mana saja. Tidak hanya pada para politisi. Di antara para politisi yang kerap dinilai negatif, saya yakin sepenuhnya banyak juga yang masih memegang teguh nilai kejujuran. Mereka teguh memegang prinsip di antara godaan material yang kian dahsyat.
Hal sama saya kira juga terjadi di bidang kehidupan yang lainnya. Kejujuran dan ketidakjujuran itu selalu ada. Jangan dikira semua agamawan itu jujur. Selalu saja ada yang tidak jujur. Mereka ’menggadaikan’ ajaran agamanya demi kepentingan individual. 
Hal penting yang justru harus kita tumbuhkembangkan dan sebarluaskan adalah bagaimana kejujuran itu harus ditegakkan. Kejujuran harus dilakukan sedini mungkin. Tidak perlu memulai dari hal yang besar. Kejujuran bisa dimulai dari hal-hal kecil dan sederhana. Koruptor yang menilap uang rakyat triliunan rupiah itu pasti awalnya memulai dari ketidakjujuran pada hal-hal yang kecil. Karena terbiasa maka yang besar pun menjadi tidak sulit untuk dilakukan.
Inspirasi kejujuran juga harus terus-menerus disuarakan. Saya mendapatkan inspirasi kejujuran kemarin sore dari seorang perempuan muda di sebuah supermarket. Ia datang membawa print out daftar belanjanya. Ia katakan bahwa ada satu barang yang belum tercatat. Kalau tidak salah dengar, ia menyebut madu yang seharga Rp. 20.000. Jadi maksud kedatangannya adalah mau membayar barang yang telah ia bawa pulang namun belum terdaftar dalam catatan belanjanya.
Saya perhatikan perempuan muda itu. Ia kelihatan sangat tenang. Kejujurannya membuat saya seperti tertampar. Kalau yang mengalami saya, belum tentu saya mengembalikannya. Tentu ada banyak alasan yang dapat saya buat dengan menyalahkan pihak pegawai supermarket dan membenarkan diri saya sendiri. Tetapi perempuan muda itu tidak melakukannya. Ia menghindari memakan makanan yang tidak jelas nilai kehalalannya.
Mungkin yang dilakukan perempuan muda tersebut bukan hal istimewa dari sisi nilai. Hanya Rp. 20.000. Tetapi yang perlu diingat, jika terhadap hal kecil saja ia begitu hati-hati, hal yang sama akan ia lakukan terhadap hal yang besar. Logika sebaliknya, jika terhadap hal kecil saja seseorang tidak hati-hati, apalagi terhadap yang besar.

Trenggalek, 6 Agustus 2013
Ngainun Naim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.