Rabu, 14 Agustus 2013

KEMATIAN ITU MUDIK KE KAMPUNG ILAHI



Oleh Ngainun Naim

Hari raya lebaran kok menulis tentang kematian? Mungkin itu pertanyaan awal yang muncul saat Anda membaca judul tulisan ini. Tidak apa-apa. Siapa saja sah untuk mempertanyakannya. Dan pertanyaan semacam itu memang penting.
Pagi hari tadi saya shalat idul fitri bersama keluarga di mushala samping rumah. Ada keharuan luar biasa yang saya rasakan setiap menyambut hari raya lebaran. Entahlah, saya selalu merasa diri ini sebagai makhluk yang harus terus berbenah. Terlalu banyak dosa yang saya lakukan. Juga terlalu banyak nikmat yang tidak saya syukuri.
Salah satu kebahagiaan saya tahun ini adalah bisa mengajari anak saya puasa sebulan (hampir) penuh. Saya kira semua orang tua punya pengalaman unik bagaimana mengajarkan puasa kepada anak-anaknya. Pengalaman kita sendiri dulu saat puasa juga unik. Karena itu, pagi hari ketika si kecil saya bangunkan untuk shalat subuh, mandi, dan berangkat shalat idul fitri di mushala, pertanyaan awal yang dia ucapkan adalah, ”Hari ini kita sudah tidak puasa ya, Yah?”. Saya mengangguk, segera mengajaknya ke kamar mandi, lalu bersiap bersama keluarga untuk shalat.
Ketika usai shalat dan khutbah, kami semua duduk bersila untuk berdoa, sementara di hadapan kami nasi berkat telah terhidang. Pada saat itulah, kami mendapatkan informasi dari Pak Imam Mushola yang sangat mengejutkan bahwa Pak Jamari, warga kampung kami, tadi malam meninggal dunia.

Antara yang Diprediksi dan yang Mengejutkan
Ada beberapa hal misterius yang tidak dapat diketahui secara pasti oleh manusia, yaitu jodoh, rejeki, dan kematian. Orang-orang pesantren sering menambahkan satu hal lagi, yaitu Gus Dur. Beliau menjadi misteri karena ucapan, sepak terjangnya, dan pemikirannya tidak bisa ditebak secara pasti. Tetapi penambahan nama Gus Dur saya kira humor yang sengaja dilakukan untuk menambah legitimasi bagi misteri sosok mantan presiden tersebut.
Kembali ke soal kematian. Ada banyak sebab orang meninggal dunia. Apa yang terjadi di kampung kami merupakan sebuah hal yang mengejutkan. Orang-orang langsung bercerita ihwal Pak Jamari. Saya sendiri tidak akrab dengan beliau mengingat jarak rumah yang cukup jauh. Juga karena memang jarang di rumah. Saya kenal baik dengan salah seorang menantunya yang rumahnya tidak terlalu jauh dari rumah tempat tinggal saya.
Berdasarkan cerita yang saya tangkap, beliau tidak menunjukkan tanda-tanda sakit. Selama ramadhan, beliau aktif berpuasa. Juga aktif shalat tarawih, tadarus, dan kegiatan sosial kemasyarakatan lainnya. Tadi malam, karena malam pengumpulan dan pembagian zakat fitrah, beliau juga menjadi panitianya. Setelah tugas usai, beliau mampir ke rumah salah seorang familinya yang kebetulan belum tidur. Dalam perbincangan, sang famili tidak melihat ada hal-hal yang mencurigakan. ”Saya doakan Sampean terus sehat dan panjang umur Kang”, kata famili tersebut.
Pulang sampai rumah sudah hampir jam sebelas malam. Istrinya masih sibuk di dapur untuk persiapan lebaran. Beliau menyapa istrinya dan meminta dibuatkan kopi susu. Sesaat kemudian beliau masuk ke kamar. Kopi susu buatan istrinya diletakkan di meja ruang tamu. Karena sudah lebih dari sepuluh menit Pak Jamari belum juga keluar, istrinya memanggil. Karena tidak ada suara dikiranya tertidur. Tetapi begitu dibangunkan, beliau ternyata sudah meninggal dunia. Sontak, keluarga dan para tetangga gempar mengetahui beliau meninggal dengan begitu mendadak.
Apa yang dialami oleh Pak Jamari merupakan bentuk kematian yang mengejutkan. Sebelumnya tidak ada tanda-tanda bahwa beliau sakit. Usia beliau memang sudah cukup tua, sekitar 65 tahun. Tapi selama ini tidak ada tanda-tanda bahwa beliau sakit. Selain itu, beliau juga aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. Tentu ada banyak analisis yang dapat diberikan, khususnya analisis kesehatan.
Bentuk kematian lain yang sering kita temui adalah kematian yang memang sudah bisa diprediksi karena memang ada banyak pertanda yang mendukungnya. Maksud saya diprediksi dari tanda-tandanya, bukan diprediksi kepastiannya. Sebab, kepastian meninggal itu menjadi kuasa mutlak Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat. Misalnya karena sakit parah, atau karena sebab-sebab lain yang mendukung.

Pembelajaran
Kematian itu memang misterius. Tidak ada yang tahu kapan kita mati. Semuanya tentu saja berharap sehat, panjang usia, sejahtera, dan dijauhkan dari berbagai hal yang mengganggu perjalanan hidup. Tugas kita adalah berdoa dan berusaha keras mewujudkan apa yang kita harapkan tersebut. Persoalan hasil akhirnya itu menjadi kewenangan Tuhan sepenuhnya.
Peristiwa kematian sebagaimana yang dialami warga kampung saya tersebut membuat saya teringat sebuah buku laris karya Prof. Dr. Komaruddin Hidayat. Beberapa hari sebelum lebaran saya membenahi dan membersihkan buku-buku di lemari sehingga saya ingat persis letak buku yang berjudul Psikologi Kematian tersebut. Saya cari, begitu ketemu saya baca secara cepat bagian-bagian yang menurut saya memiliki relevansi dengan tulisan ini.
Pada halaman 151 buku yang tercetak lebih dari 60.000 eksemplar tersebut, saya menemukan penjelasan yang sangat menyentuh. Pertama, dikatakan bahwa ketika ruh keluar dari jasad dan dinyatakan meninggal, yang paling menggembirakan adalah ketika keluarganya, terutama anak-anak kandungnya, bersikap ikhlas dan melepaskan dengan doa. Ibarat mengendarai balon yang hendak terbang ke atas, perjalanan ruh menjadi enteng kalau keluarganya mengantarkan dengan doa, memaafkan dan ikhlas, karena sesungguhnya mati tak ubahnya pulang mudik ke kampung Ilahi.
Kedua, kekayaan duniawi itu terlihat jelas hanya sebatas sarana untuk tujuan yang lebih mulia. Ibarat tubuh, dunia ini tidak memiliki kehidupan pada dirinya tanpa adanya ruh. Agar benda mati jadi hidup, harus ada yang menghidupkan dari luar yang derajatnya lebih tinggi. Yaitu niat dan amal kebajikan untuk menolong sesama hamba Tuhan dengan anugerah umur, tenaga, pikiran, dan kekayaan yang ada.
Penjelasan Prof. Komaruddin Hidayat ini memberikan makna penting dalam memahami kematian. Kematian itu misteri, kemestian, dan harus dipersiapkan sebaik mungkin. Peristiwa meninggalnya Pak Jamari memberikan pelajaran bahwa saya harus menjalani kehidupan ini sebaik mungkin sebagai bekal ketika kelak mudik ke kampung Ilahi.

Salam
Trenggalek, 8 Agustus 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.