Oleh Ngainun
Naim
Kompasiana betul-betul menjadi ajang pertarungan
ide yang luar biasa. Sejak tergabung dalam komunitas ini, saya mengamati
bagaimana sebuah ide bisa didiskusikan dengan penuh semangat. Ada yang
diskusinya santun, penuh empati, dan membuat pembaca yang menyimak merasa
respek. Tetapi ada juga yang—menurut saya—”kebablasan”. Debat sengit dan saling
memojokkan terlihat dari tulisan dan komentar.
Tema yang cukup ramai dan menyedot perhatian banyak pembaca adalah tentang
duo pemimpin fenomenal Jakarta, Jokowi-Ahok. Apapun yang dilakukan oleh kedua
pemimpin tersebut rasanya selalu saja menjadi topik yang menarik untuk
didiskusikan. Entahlah, hal-hal biasa saja dari kedua pemimpin itu, ketika
diulas Kompasianer, kok menjadi heboh. Saya hanya menyimak saja dan tidak ikut
terlibat dalam perdebatan para Kompasianer karena saya tahu diri. Saya orang
udik, bukan orang kota. Ke Jakarta pun tidak terlalu sering. Bahkan belum tentu
setahun sekali. Jadi saya tidak memiliki pengetahuan memadai tentang Jakarta.
Perjuangan
Sebagaimana pernah saya tulis, saya memiliki dua tahap saat bergabung di
Kompasiana. Harus jujur saya akui, saya gagap teknologi sehingga hanya untuk
bergabung ke Kompasiana saja, membutuhkan perjuangan yang cukup panjang.
Ceritanya, saat mencari data via Mbah Google, saya menemukan artikel di
Kompasiana. Itu terjadi beberapa tahun lalu. Saat membaca Kompas cetak, saya
juga sering membaca artikel para Kompasianer. Tetapi saat itu belum ada greget sama sekali untuk bergabung.
Entahlah, mungkin karena belum ada momentum, atau memang Tuhan belum memberikan
petunjuk kepada saya untuk menjadi bagian dari komunitas ini he he he....
Kira-kira bulan Mei kemarin, muncul keinginan dalam diri saya untuk
bergabung ke Kompasiana. Tetapi sulit sekali mengaksesnya. Di kantor tempat
saya bekerja, Kompasiana bersama dengan Facebook tidak bisa diakses lewat
jaringan internet. Saya tidak tahu alasan pihak pengelola internet memblokir
jaringan ini. Jaringan hanya membuka aalamat-alamat umum. Itupun hanya pada
jam-jam istirahat. Pada jam kerja, akses yang paling mudah adalah email.
Saya sepenuhnya memahami kebijakan ini. Kebijakan membatasi akses pada
jam-jam kerja dibuat berdasarkan diskusi panjang para pengelola lembaga.
Awalnya semua akses dibuka luas. Sebagai sebuah lembaga pendidikan, komputer
menjadi bagian tidak terpisah dari aktivitas sehari-hari. Tetapi ketika semua
akses dibuka lebar, banyak terjadi penggunaan yang kurang tepat. Tidak sedikit
mahasiswa yang sedang kuliah, kelihatannya memperhatikan komputer, padahal yang
dia akses adalah facebook. Berbagai kritik pun bermunculan. Dan sejak itu,
akses FB ditutup pada jam kerja.
Ketika muncul keinginan bergabung ke Kompasiana, saya mengalami kesulitan.
Saya coba dan coba, tetapi selalu gagal. Di facebook, saya mengutarakan apa
yang saya alami. Beberapa teman memberikan saran, tetapi saran tersebut
ternyata juga tidak mempan. Kembali saya gagal masuk sebagai anggota
Kompasiana. Di tengah kondisi semacam ini, teman satu ruang memberikan
solusinya. Memang tidak mujarab, tetapi solusi yang ia berikan menjadi pembuka
bagi masuknya saya sebagai anggota Kompasiana.
Sebagai anggota baru, saya mencoba menulis, walaupun belum disiplin. Karena satu dan lain hal, akun Kompasiana
saya selama beberapa hari tidak saya kunjungi. Akses di kantor tidak mudah,
maka pilihannya mengakses dengan modem. Persoalannya, modem itu sinyalnya sulit
minta ampun kalau di rumah. Harap maklum karena tempat saya tinggal, yaitu
Trenggalek, merupakan sebuah kota yang sulit akses. Dan itu yang harus saya
rasakan sampai sekarang. Jadi, menulis untuk Kompasiana itu memang perjuangan,
termasuk dari sisi biaya pulsa modem. Nah, persoalan baru muncul. Akun saya
gagal saya buka. Berkali-kali saya coba, terus gagal. Padahal, saya ingin
menayangkan sebuah tulisan.
Gagal dengan berbagai upaya, saya membuat langkah baru, yaitu membuka akun
baru. Ini yang saya sebut sebagai langkah kedua. Akun ini resmi saya mulai
tanggal 4 Juli 2013 dan melalui akun inilah saya mencoba berdisiplin menulis.
Rata-rata saya menulis sehari satu artikel. Kalau sampai lebih satu, saya
anggap sebagai bagian dari perjuangan untuk menuntaskan sebuah karya.
Menulis
Tugas penulis itu ya menulis. Itu pendapat yang saya pegangi. Karena itu, aspek penting
yang harus dilakukan sebagai bagian dari identitas sebagai penulis adalah terus
memproduksi karya. Seorang penulis tidak akan disebut sebagai penulis jika
hanya berbicara saja. Bukti bahwa seseorang itu sebagai penulis adalah karya
yang ia buat.
Menjadi penulis itu memang tidak mudah. Kompasiana berkali-kali menampilkan
perdebatan mengenai menulis: mudah atau sulit. Semua tulisan itu ujungnya sama,
yaitu menulis itu kalau tidak sulit ya mudah. Tergantung siapa orangnya. Tidak
bisa dibuat generalisasi bahwa menulis itu sulit, atau menulis itu mudah. Jadi,
lihat kondisi dan siapa yang membahasnya.
Terlepas dari persoalan sulit atau tidak, menulis sebagai bagian dari tugas
penulis, menurut saya, harus dijadikan sebagai titik orientasi. Perdebatan
tentang bagaimana agar tulisan masuk HL, TA, atau kategori mentereng lainnya
sebenarnya sah-sah saja. Semua orang tentu senang jika tulisannya dikerubuti
banyak pembaca. Rasa bangga tentu akan menyembul dalam diri manakala tulisannya
berkali-kali menjadi sorotan para pembaca. Tetapi saya memahami bahwa itu bukan
tujuan yang utama. Tujuan yang utama justru tulisan itu selesai dan kemudian
ditayangkan di Kompasiana. Persoalan kemudian menjadi HL atau tidak, saya kira
itu sudah bukan berada pada wilayah otoritas seorang penulis. Itu urusannya
admin Kompasiana.
Jika HL menjadi tujuan utama, saya kira akan banyak penulis yang semakin
minder. Saya membaca bagaimana beberapa penulis akhirnya mundur teratur karena
artikelnya tidak pernah masuk HL, dibaca sedikit orang, dan tidak ada yang
mengomentari. Minder dan mundur dari Kompasiana sesungguhnya hal wajar dan
harus dihargai juga. Tetapi sebagai penulis yang baik, saya kira hal semacam
itu tidak perlu terjadi. Setelah menulis dan mempublikasikan, biarlah pembaca
dan admin yang menentukan nasib sebuah tulisan. Langkah penting yang seharusnya
ditempuh adalah belajar dan terus belajar agar tulisan semakin baik. Saya kira
itu saja hal penting yang harus dilakukan seorang penulis. Mohon maaf, ini
sesungguhnya saran untuk saya pribadi. Jika ada yang setuju ya silahkan. Jika
tidak juga tidak apa-apa. Saya mohon maaf mumpung menjelang lebaran.
Membangun Disiplin
Hal penting yang saya rasakan semenjak bergabung dengan Kompasiana adalah
dorongan untuk disiplin menulis. Menulis setiap hari tanpa jeda dalam sebulan
terakhir untuk Kompasiana betul-betul menantang. Ini pengalaman luar biasa.
Saya merasakan betul bagaimana berjuang mencari ide, berjuang menuliskannya di
tengah-tengah jadwal kerja yang kadang sangat padat, juga berjuang bagaimana
mengirimkannya di tengah akses internet yang betul-betul menguji kesabaran.
Kedisiplinan semacam ini telah menorehkan pelajaran yang sangat berharga.
Banyak orang pinter, pengetahuannya luas, bisa menulis, tetapi jarang menulis.
Tentu akan luar biasa jika mereka itu mau dan mampu berdisiplin menulis. Saya
mendapatkan banyak inspirasi dan pelajaran berharga tentang bagaimana membangun
disiplin menulis dari Kompasiana. Ya, Kompasiana telah mengajari saya tentang
menulis dengan disiplin. Salam.
Trenggalek, 7 Agustus 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.