PIKIRAN CAK NUR DI ZAMAN SERBA INSTAN
Oleh Ngainun Naim
Apa
yang kira-kira Anda bayangkan jika Cak Nur—sapaan akrab Prof. Dr. Nurcholish
Madjid—masih hidup sampai sekarang ini? Tentu bayangan Anda bermacam-macam.
Tetapi satu hal yang saya kira tidak bisa beliau hindari adalah beliau harus
berhadapan dengan berbagai jejaring
sosial yang begitu beraneka ragam. Saat beliau wafat pada 29 Agustus 2005,
berbagai jejaring sosial belum banyak berkembang sebagaimana sekarang ini.
Saat
jejaring sosial telah sedemikian menggurita, Cak Nur telah wafat. Tetapi yang
perlu dipahami, Cak Nur memiliki akar pengagum dan pendukung yang cukup luas.
Berbeda dengan para intelektual pembaru lainnya, Cak Nur memiliki beberapa
nilai lebih. Salah satunya adalah Cak
Nur merupakan penulis yang sangat produktif. Sangat jarang intelektual
Indonesia yang konsisten dan terus mentradisikan menulis dan menerbitkan karya
sebagaimana Cak Nur. Buku-buku Cak Nur rata-rata sangat serius, penuh dengan
catatan kaki, dan berat dicerna. Namun
demikian, buku-buku beliau sampai sekarang terus diburu oleh para peminat.
Penelitian yang menjadikan karya tulis Cak Nur sebagai objek kajian terus saja
dilakukan sampai sekarang ini. Hal ini menunjukkan bahwa Cak Nur dan karya
tulisnya merupakan bagian dari objek penelitian yang subur.
Produktivitas
menulis yang dimiliki Cak Nur semasa beliau hidup, khususnya setelah beliau
menyelesaikan studi doktor di Amerika, merupakan investasi besar. Melalui karya
tulis beliau yang berlimpah, pikiran-pikiran
beliau sampai sekarang masih hidup. Beliau secara fisik memang telah wafat,
tetapi pikiran beliau masih hidup. Selalu saja ada yang membaca, mengkaji,
meneliti, menyebarluaskan, dan mengkritisi pemikiran Cak Nur.
Pada
titik inilah sesungguhnya kebesaran seorang tokoh diukur. Memang tidak menjadi
satu-satunya ukuran, tetapi melalui karya tulis itulah kebesaran dan keabadian
seorang tokoh lebih otentik. Sebab, sumbernya bisa dilacak secara orisinal.
Berbeda dengan kebesaran seorang tokoh yang hidup dalam balutan mitos dan
cerita dari mulut ke mulut. Besar kemungkinan ada banyak penambatan,
interpretasi, dan berbagai imajinasi yang turut mewarnai jejak hidupnya.
Twitter—Ensiklopedik
Twitter
merupakan salah satu jejaring sosial yang memiliki jutaan pengikut. Jumlah
karakternya sangat terbatas. Hanya melalui beberapa kalimat saja, seseorang
bisa menuangkan pokok-pokok pikirannya. Dan sesaat itu juga, twit-nya akan
dibaca oleh jutaan orang.
Twitter
tidak hanya menjadi media berbagai pemikiran, tetapi juga media yang sarat
kepentingan. Meminjam terminologi dr. Posma Siahaan, Sp. Pd—seorang kolomnis
Kompasiana yang sangat produktif dan juga penulis buku-buku kesehatan—Twitter—juga
Kompasiana---itu ibarat Gelora Bung Karno. Pintunya terbuka, tiket
gratis dan ada 100 ribu penonton di sana yang sekaligus bergantian jadi pemain
bolanya. Skill gak terlalu penting asal norak dan gaul, hehehehe (Lihat komentar Pak Dokter di tulisan saya, http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2013/08/07/tugas-penulis-itu-menulis-kalaupun-hl-anggap-sebagai-efek-samping-582284.html).
Sekarang
ini, ada upaya yang dilakukan oleh para pengagum Cak Nur—yang menyebut dirinya
sebagai Cak Nurian sejati—untuk memformulasikan kembali pikiran-pikiran
tertulis Cak Nur sesuai dengan format twitter. Tentu saja, modal karya tulis
beliau yang berlimpah menjadi sumber twit yang tidak pernah kering. Setiap hari
para penggemar setia Cak Nur dapat menikmati SARI PATI PEMIKIRAN CAK NUR dalam kalimat pendek dan ringkas. Anda
tidak perlu mengernyitkan dahi, sibuk membuka referensi, pusing dengan kalimat
kelas tinggi, dan hal-hal yang berbau ilmiah lainnya. Sebab, berdasarkan
gurauan, salah satu ciri ilmiah itu adalah sulit dipahami. Jika seorang penulis
berhasil membuat pembacanya pusing, itu berarti karya tulisnya masuk kategori
ilmiah. Atau barangkali yang pusing termasuk penulisnya juga he... he... he...
Buku
yang disunting oleh Budhy Munawar-Rachman dan Elza Peldi Taher ini merupakan
ikhtiar untuk mengambil saripati pemikiran Cak Nur yang sesuai dengan karakter
twitter. Untuk kepentingan penyebarluasan pemikiran Cak Nur, dibuat sebuah akun
twitter, yaitu @fileCaknur.
Namun
demikian, buku ini tidak hanya memuat kumpulan twittrer @fileCaknur saja. Para
Caknurian sejati melakukan berbagai cara kreatif untuk mengemas pemikiran Cak
Nur agar selalu relevan dengan dinamika zaman yang ada. Selain twit, buku ini
juga memuat kutipan dari pikiran-pikiran Cak Nur yang dibuat secara
ensiklopedik. Pola semacam ini memudahkan untuk mencari entri tertentu sesuai
dengan kepentingan.
Entri
yang terangkum dalam buku ini lengkap dengan data dari sumbernya. Pembaca bisa
merujuk pada buku-buku yang dijadikan sebagai bahan rujukan. Dengan cara
demikian, buku ini bisa dikatakan sebagai saripati
pemikiran Cak Nur yang tersebar di 21 buku yang beliau tulis.
Tema Beragam
Pikiran-pikiran
Cak Nur yang dijadikan entri dalam buku ini sifatnya sangat beragam, mencakup
bidang agama, budaya, politik, sosial, pendidikan, pesantren, kebahagiaan,
tokoh, dan sebagainya. Temanya memang sangat beragam mengingat buku ini memang
tidak dibuat untuk mengungkap satu tema secara khusus. Titik utamanya adalah
kata kunci berdasarkan urutan huruf. Namun demikian, spirit dasar yang diusung
Cak Nur secara sederhana dapat dipetakan menjadi tiga topik dasar, yaitu
keislaman, kemodernan, dan keindonesiaan.
Bagi
Cak Nur, Islam yang diusungnya adalah Islam yang inklusif. Islam inklusif
adalah Islam yang bersikap optimis-positif terhadap realitas yang dihadapi.
Menurut Cak Nur, ”Sebaik-baik agama di
sisi Allah, ialah semangat mencari kebenaran yang lapang, toleran, tanpa
kefanatikan, dan tidak membelenggu jiwa” (hlm. 9).
Islam
dalam pemaknaan Cak Nur yang semacam ini adalah Islam yang selalu selaras
dengan dinamika dan perkembangan zaman. Dalam konteks ini, Islam harus mampu
memberikan kontribusi positif dalam perkembangan, bukan justru menghadirkan
persoalan. Islam dan Indonesia memiliki keterkaitan yang erat. Potret Indonesia
hari ini dinilai Cak Nur tidak lepas dari kontribusi Islam. Berkaitan dengan
pemikiran ini, Cak Nur mengatakan bahwa, ”Dikatakan
Imam Abu Hanifah, ”Pendapat kita benar tetapi masih mengandung kemungkinan
salah, dan pendapat orang lain salah tetapi masih mengandung kemungkinan
benar.” Itu berarti mutlak diperlukan adanya kesadaran tentang pluralitas.
Dalam hal ini para pendiri negara kita telah dengan arif-bijaksana meletakkan
paham dasar ”Bhineka Tunggal Ika”, yaitu ”pluralisme”. Demokrasi yang maju
tidak akan mungkin tanpa kesadaran kebhinekaan ini” (h. 210-211).
Perpaduan
antara keislaman, kemodernan, dan keindonesiaan menjadi satu rangkaian dari keseluruhan
pikiran Cak Nur. Memang kedekatan tematik ketiganya tidak sama, tetapi ikhtiar
Cak Nur memang harus diparesiasi dan ditindaklanjuti. Buku ini merupakan bukti
bahwa pemikiran Cak Nur masih aktual di ZAMAN SERBA INSTAN INI. Salam.
Trenggalek,
9 Agustus 2013
Ngainun Naim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.