Sabtu, 17 Agustus 2013

PIKIRAN CAK NUR DI ZAMAN SERBA INSTAN



PIKIRAN CAK NUR DI ZAMAN SERBA INSTAN
Oleh Ngainun Naim

Apa yang kira-kira Anda bayangkan jika Cak Nur—sapaan akrab Prof. Dr. Nurcholish Madjid—masih hidup sampai sekarang ini? Tentu bayangan Anda bermacam-macam. Tetapi satu hal yang saya kira tidak bisa beliau hindari adalah beliau harus berhadapan dengan berbagai  jejaring sosial yang begitu beraneka ragam. Saat beliau wafat pada 29 Agustus 2005, berbagai jejaring sosial belum banyak berkembang sebagaimana sekarang ini.
Saat jejaring sosial telah sedemikian menggurita, Cak Nur telah wafat. Tetapi yang perlu dipahami, Cak Nur memiliki akar pengagum dan pendukung yang cukup luas. Berbeda dengan para intelektual pembaru lainnya, Cak Nur memiliki beberapa nilai lebih. Salah satunya adalah Cak Nur merupakan penulis yang sangat produktif. Sangat jarang intelektual Indonesia yang konsisten dan terus mentradisikan menulis dan menerbitkan karya sebagaimana Cak Nur. Buku-buku Cak Nur rata-rata sangat serius, penuh dengan catatan kaki, dan berat dicerna.  Namun demikian, buku-buku beliau sampai sekarang terus diburu oleh para peminat. Penelitian yang menjadikan karya tulis Cak Nur sebagai objek kajian terus saja dilakukan sampai sekarang ini. Hal ini menunjukkan bahwa Cak Nur dan karya tulisnya merupakan bagian dari objek penelitian yang subur.
Produktivitas menulis yang dimiliki Cak Nur semasa beliau hidup, khususnya setelah beliau menyelesaikan studi doktor di Amerika, merupakan investasi besar. Melalui karya tulis beliau yang berlimpah, pikiran-pikiran beliau sampai sekarang masih hidup. Beliau secara fisik memang telah wafat, tetapi pikiran beliau masih hidup. Selalu saja ada yang membaca, mengkaji, meneliti, menyebarluaskan, dan mengkritisi pemikiran Cak Nur.
Pada titik inilah sesungguhnya kebesaran seorang tokoh diukur. Memang tidak menjadi satu-satunya ukuran, tetapi melalui karya tulis itulah kebesaran dan keabadian seorang tokoh lebih otentik. Sebab, sumbernya bisa dilacak secara orisinal. Berbeda dengan kebesaran seorang tokoh yang hidup dalam balutan mitos dan cerita dari mulut ke mulut. Besar kemungkinan ada banyak penambatan, interpretasi, dan berbagai imajinasi yang turut mewarnai jejak hidupnya.


Twitter—Ensiklopedik
Twitter merupakan salah satu jejaring sosial yang memiliki jutaan pengikut. Jumlah karakternya sangat terbatas. Hanya melalui beberapa kalimat saja, seseorang bisa menuangkan pokok-pokok pikirannya. Dan sesaat itu juga, twit-nya akan dibaca oleh jutaan orang.
Twitter tidak hanya menjadi media berbagai pemikiran, tetapi juga media yang sarat kepentingan. Meminjam terminologi dr. Posma Siahaan, Sp. Pd—seorang kolomnis Kompasiana yang sangat produktif dan juga penulis buku-buku kesehatan—Twitter—juga Kompasiana---itu ibarat Gelora Bung Karno. Pintunya terbuka, tiket gratis dan ada 100 ribu penonton di sana yang sekaligus bergantian jadi pemain bolanya. Skill gak terlalu penting asal norak dan gaul, hehehehe (Lihat komentar Pak Dokter di tulisan saya, http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2013/08/07/tugas-penulis-itu-menulis-kalaupun-hl-anggap-sebagai-efek-samping-582284.html).  
Sekarang ini, ada upaya yang dilakukan oleh para pengagum Cak Nur—yang menyebut dirinya sebagai Cak Nurian sejati—untuk memformulasikan kembali pikiran-pikiran tertulis Cak Nur sesuai dengan format twitter. Tentu saja, modal karya tulis beliau yang berlimpah menjadi sumber twit yang tidak pernah kering. Setiap hari para penggemar setia Cak Nur dapat menikmati SARI PATI PEMIKIRAN CAK NUR dalam kalimat pendek dan ringkas. Anda tidak perlu mengernyitkan dahi, sibuk membuka referensi, pusing dengan kalimat kelas tinggi, dan hal-hal yang berbau ilmiah lainnya. Sebab, berdasarkan gurauan, salah satu ciri ilmiah itu adalah sulit dipahami. Jika seorang penulis berhasil membuat pembacanya pusing, itu berarti karya tulisnya masuk kategori ilmiah. Atau barangkali yang pusing termasuk penulisnya juga he... he... he...
Buku yang disunting oleh Budhy Munawar-Rachman dan Elza Peldi Taher ini merupakan ikhtiar untuk mengambil saripati pemikiran Cak Nur yang sesuai dengan karakter twitter. Untuk kepentingan penyebarluasan pemikiran Cak Nur, dibuat sebuah akun twitter, yaitu @fileCaknur.
Namun demikian, buku ini tidak hanya memuat kumpulan twittrer @fileCaknur saja. Para Caknurian sejati melakukan berbagai cara kreatif untuk mengemas pemikiran Cak Nur agar selalu relevan dengan dinamika zaman yang ada. Selain twit, buku ini juga memuat kutipan dari pikiran-pikiran Cak Nur yang dibuat secara ensiklopedik. Pola semacam ini memudahkan untuk mencari entri tertentu sesuai dengan kepentingan.
Entri yang terangkum dalam buku ini lengkap dengan data dari sumbernya. Pembaca bisa merujuk pada buku-buku yang dijadikan sebagai bahan rujukan. Dengan cara demikian, buku ini bisa dikatakan sebagai saripati pemikiran Cak Nur yang tersebar di 21 buku yang beliau tulis.

Tema Beragam
Pikiran-pikiran Cak Nur yang dijadikan entri dalam buku ini sifatnya sangat beragam, mencakup bidang agama, budaya, politik, sosial, pendidikan, pesantren, kebahagiaan, tokoh, dan sebagainya. Temanya memang sangat beragam mengingat buku ini memang tidak dibuat untuk mengungkap satu tema secara khusus. Titik utamanya adalah kata kunci berdasarkan urutan huruf. Namun demikian, spirit dasar yang diusung Cak Nur secara sederhana dapat dipetakan menjadi tiga topik dasar, yaitu keislaman, kemodernan, dan keindonesiaan.
Bagi Cak Nur, Islam yang diusungnya adalah Islam yang inklusif. Islam inklusif adalah Islam yang bersikap optimis-positif terhadap realitas yang dihadapi. Menurut Cak Nur, ”Sebaik-baik agama di sisi Allah, ialah semangat mencari kebenaran yang lapang, toleran, tanpa kefanatikan, dan tidak membelenggu jiwa” (hlm. 9).
Islam dalam pemaknaan Cak Nur yang semacam ini adalah Islam yang selalu selaras dengan dinamika dan perkembangan zaman. Dalam konteks ini, Islam harus mampu memberikan kontribusi positif dalam perkembangan, bukan justru menghadirkan persoalan. Islam dan Indonesia memiliki keterkaitan yang erat. Potret Indonesia hari ini dinilai Cak Nur tidak lepas dari kontribusi Islam. Berkaitan dengan pemikiran ini, Cak Nur mengatakan bahwa, ”Dikatakan Imam Abu Hanifah, ”Pendapat kita benar tetapi masih mengandung kemungkinan salah, dan pendapat orang lain salah tetapi masih mengandung kemungkinan benar.” Itu berarti mutlak diperlukan adanya kesadaran tentang pluralitas. Dalam hal ini para pendiri negara kita telah dengan arif-bijaksana meletakkan paham dasar ”Bhineka Tunggal Ika”, yaitu ”pluralisme”. Demokrasi yang maju tidak akan mungkin tanpa kesadaran kebhinekaan ini” (h. 210-211). 
Perpaduan antara keislaman, kemodernan, dan keindonesiaan menjadi satu rangkaian dari keseluruhan pikiran Cak Nur. Memang kedekatan tematik ketiganya tidak sama, tetapi ikhtiar Cak Nur memang harus diparesiasi dan ditindaklanjuti. Buku ini merupakan bukti bahwa pemikiran Cak Nur masih aktual di ZAMAN SERBA INSTAN INI. Salam.

Trenggalek, 9 Agustus 2013
Ngainun Naim


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.