Minggu, 18 Agustus 2013

TERNYATA MAAF ITU TIDAK SEDERHANA



TERNYATA MAAF ITU TIDAK SEDERHANA
Oleh Ngainun Naim

Lebaran adalah maaf. Mungkin itu kesimpulan yang menyederhanakan masalah berkaitan dengan hari lebaran. Tetapi jika kita perhatikan, hal yang substansial sekaligus menjadi aktivitas utama dalam merayakan lebaran memang meminta maaf dan memaafkan.
Pemandangan umum yang bisa kita amati, orang silaturrahim dari rumah ke rumah, datang dengan tujuan utama untuk meminta maaf. Tuan rumah pun dengan antusias menyambut dan memberikan manfaat. Perbincangan berlanjut, tetapi biasanya tidak sampai tuntas karena ada banyak yang harus dikunjungi. Begitu seterusnya.
Acara meminta maaf semacam ini sangat penting artinya. Pertemuan secara fisik sekarang ini sudah sangat mahal. Bahkan saat dua orang atau lebih duduk berhadapan pun  secara hati dan emosi belum tentu juga bertemu. Masing-masing justru asyik dengan dunia imajinasinya sendiri-sendiri yang tersalur lewat alat-alat elektronik. Karena itu, silaturrahim yang penuh perjuangan agar bisa bertemu dengan sanak keluarga secara fisik saat lebaran memiliki makna yang sangat penting. Mudik untuk lebaran dengan segenap perjuangan dan kerepotannya sesungguhnya dilakukan dalam kerangka memenuhi kebutuhan mendasar manusia, yaitu kebutuhan perennial. Kebutuhan berupa maaf.
Tetapi maaf itu seharusnya tidak hanya sekadar basa-basi. Idealnya, maaf itu keluar dari hati. Maaf semacam ini akan menimbulkan efek psikologis yang luar biasa. begitu kata maaf terucap, beban-beban yang menghimpit seolah keluar. Ada kelegaan dan keringanan dalam jiwa. Pada kondisi semacam inilah, manusia menjadikan dirinya sosok yang merdeka.

Supaya Lebih Sopan
Kata maaf merupakan kata yang cukup akrab dalam kehidupan sehari-hari. Rasanya mudah sekali kata ini diucapkan. Saat menyapa seseorang yang belum dikenal, misalnya, akan terasa lebih sopan jika diawali dengan kata maaf. ”Maaf, Anda dari mana?”, atau ”Maaf, kantor belum buka”, akan terasa lebih elok dibandingkan dengan tanpa kata maaf.
Maaf dalam konteks semacam ini berfungsi untuk membangun etika dalam komunikasi. Melalui kata maaf, ada nuansa kebersahajaan, penghargaan, dan memposisikan orang lain secara lebih terhormat. Orang juga merasa lebih dihargai. Karena itu, kata maaf semakin mengukuhkan kelekatan dan penghargaan terhadap orang lain.
Maaf juga menjadi penanda terjalinnya kembali hubungan yang sempat retak. Manusia itu unik. Karena unik itu tidak ada manusia yang sama persis satu sama lain. Dua orang anak kembar yang seolah sama persis sekalipun sesungguhnya juga tetap memiliki banyak perbedaan. Kelihatannya saja dari sisi fisik sulit dibedakan, tetapi dari sisi sifat atau karakternya akan mudah diidentifikasi perbedaan antara keduanya. Saat perbedaan bertemu dengan perbedaan, di titik inilah potensi persoalan akan muncul. Jika masing-masing memiliki kesadaran, pemahaman, dan pengetahuan tentang pentingnya toleransi, pertemuan dua perbedaan tersebut tidak akan menjadi masalah.  Tetapi jika masing-masing ngotot untuk mempertahankan pendapatnya, hal itu berarti persoalan baru telah muncul. Perbedaan yang bertemu dengan perbedaan adalah persoalan.
Pada level yang rendah, perbedaan pendapat itu akan membawa sikap tidak enak satu sama lain. Ada rasa emosi, marah, dan ketidaksukaan. Pada level yang lebih tinggi, perbedaan itu akan memantik pada hal-hal yang menyakitkan hati. Bisa dalam bentuk ucapan, sikap, atau tindakan. Dan pada level yang paling tragis, perbedaan itu bisa berujung pada sikap saling menyakiti satu sama lain.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, maaf berarti (1) pembebasan seseorang dari hukuman (tuntutan, denda, dan sebagainya) karena suatu kesalahan; ampun; (2) (permintaan ampun) maafkanlah; ampunilah; jangan marah; (3) (permohonan untuk melakukan sesuatu).
Pengertian dari kamus ini memberikan konteks makna yang jelas, yaitu memberikan maaf dan meminta maaf. Memberikan maaf berarti membuka pintu hati kepada orang yang telah melakukan kesalahan, sementara meminta maaf berarti membuka kesadaran paling mendasar untuk mengakui kesalahan dan memohon perkenan orang yang kita sakiti untuk mengampuninya.

Meminta Maaf
Meminta maaf itu memiliki energi besar. Mungkin kedengarannya aneh, tetapi ada banyak bukti mengenai hal ini. Saya ingin berbagi kisah dari seorang sahabat yang dengan sepenuh keberanian mau meminta maaf.
Ceritanya, sahabat baik saya itu sedang berangkat kerja di pagi hari. Karena dia harus mengajar pada jam pertama, ia harus naik sepeda motor dengan kecepatan tinggi. Suatu saat, berdasarkan analisis singkatnya, ia memiliki peluang untuk mendahului mobil yang berada di depannya. Secara cepat, ia putar gas sepeda motornya dan segera mengambil posisi tepat di samping mobil untuk mendahului. Tetapi perkiraannya salah. Sebuah sepeda motor dan mobil meluncur juga dengan kecepatan tinggi dari arah yang berlawanan. Mundur kembali ke posisi awal sudah tidak memungkinkan karena posisi tersebut sudah diisi sebuah mobil. Maju mendahului mobil juga sudah tidak memungkinkan karena jelas waktunya tidak cukup. Sementara tetap pada posisi sama artinya dengan bunuh diri karena akan ditabrak oleh kendaraan dari arah depan.
Pada kondisi semacam ini, ia reflek mengambil langkah berani: membanting stirnya ke arah kanan turun dari jalan raya. Sebuah pilihan berani dan tidak terduga. Pilihan tersebut paling aman di antara berbagai pilihan lainnya, tetapi bukan berarti tanpa resiko. Sepeda motor yang berada di arah berlawanan kedodoran dan nyaris terjatuh. Jalannya terseok-seok dan juga turun dari jalan raya. Tentu saja, si pengendara marah. Setelah berhenti, ia segera kembali dengan emosi tinggi.
Teman saya sadar akan posisi. Ia memang salah. Tidak ada pilihan baginya selain menerima amuk emosi dari pengendara tersebut. Egonya mengatakan bahwa ia akan membela diri. Tetapi secepat kilat ia menyadari posisinya. Bagaimana pun, ia salah. Karena itu, ia memutuskan untuk mendahului meminta maaf sebelum pengendara tersebut meluapkan emosinya.
Begitu si pengendara datang, ia langsung mengulurkan tangan, meminta maaf, dan menjelaskan posisinya. Si pengendara marah-marah dan teman saya diam mendengarkan apa yang diomelkan. Dengan kerendahan hati, ia pun terus mengucapkan minta maaf. Si pengendara tetap menolak uluran tangan teman saya. Ia segera pergi meninggalkan tempat itu dengan emosi yang kelihatannya masih membuncah.
Saya memahami kemarahan si pengendara yang hampir celaka karena belok mendadak yang dilakukan oleh teman saya. Tetapi kebesaran hati teman saya yang menyadari kesalahannya dan langsung meminta maaf jelas sebuah tindakan yang luar biasa. Coba Anda bayangkan apa jadinya jika teman saya mengedepankan egonya dan merasa apa yang dilakukannya sebagai tindakan yang benar? Sangat mungkin akan terjadi debat sengit antara keduanya. Bahkan mungkin juga akan berlanjut pada konflik fisik.

Mari Saling Memaafkan
Memaafkan itu merupakan obat terbaik untuk menyembuhkan sakit hati. Sakit hati hampir pasti pernah kita alami. Sakit hati yang dipelihara secara terus-menerus akan membuat sakitnya semakin parah. Obat paling mujarabnya bukan obat dari dokter atau apotik. Obat itu telah ada dalam diri kita sendiri, yaitu tidak membalas sakit hati tersebut, menahan diri untuk kemudian memaafkan.
Bagaimana cara kita memaafkan? Ada beberapa kiat praktis yang barangkali penting untuk dijadikan sebagai bahan renungan. Pertama, kita menyadari bahwa yang mereka lakukan kepada kita adalah sebuah kesalahan. Dan jika mereka menyakiti kita maka barangkali kita pun pernah menyakiti orang lain. Apa yang akan terjadi jika kehidupan dunia penuh dengan aksi balas dendam?
Kedua, melepaskan hak untuk membalas, menahan diri. Kita hanya diperbolehkan—dan itu hak—membalas perlakuan yang serupa. Namun, ini sangat sulit, apalagi jika hati dan perasaan kita ikut sakit. Sebab, barangkali sudah menjadi kecenderungan bahwa kita akan sangat puas jika sudah melakukan pembalasan dengan hal yang lebih buruk. Dan, itu sesungguhnya tak menghapus sakit hati. Jika demikian, kita akan terjerumus pada kesalahan yang sama atau bahkan lebih buruk dari kesalahan yang menyakitkan hati kita. Maka, agar tidak terjerumus pada kesalahan itu, lebih baik menahan diri, tak membalas, untuk kemudian memaafkan.
Ketiga, setelah memahami dan melepaskan hak membalas, dan ini yang paling berat, adalah mencintai orang yang menyakiti hati kita.
Memang tidak mudah untuk memaafkan. Hatinya terluka, apalagi lukanya sangat dalam, memang tidak mudah untuk disembuhkan. Tetapi jika ada kemauan untuk memaafkan, justru luka itu akan sembuh dan menghasilkan rasa bahagia. Memaafkan itu, kata Kang Jalal, kebaikannya akan kembali kepada kita. Kebaikannya berupa mengobati rasa sakit hati. Orang yang mudah memaafkan adalah orang yang hidupnya bahagia. Sebab, memaafkan tidak lahir kecuali dari hati yang bahagia.
Salam
Trenggalek, 11 Agustus 2013
Ngainun Naim
www.ngainun-naim.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.