Jumat, 02 Agustus 2013

PUASA, LEBARAN, DAN MENGURAI BENANG RAJUTAN



PUASA, LEBARAN, DAN MENGURAI BENANG RAJUTAN
Oleh Ngainun Naim

Puasa ramadhan tinggal beberapa hari lagi. Rasanya puasa kali ini berjalan begitu cepat. Beberapa teman di kantor juga merasakan hal yang sama. Kalau mungkin Anda merasakan sangat lama juga tidak apa-apa, karena soal rasa itu tidak bisa dibuat sama. Satu jam menikmati alunan musik indah tentu terasa cepat, sementara satu jam menunggu tentu dirasakan sangat lama.
Saya tidak menyamakan ibadah puasa ramadhan dengan alunan musik. Juga tidak menyatakan bahwa saya mampu menikmati sepenuhnya puasa sebulan penuh ini. Saya manusia biasa yang merasakan juga bahwa puasa itu penuh perjuangan yang tidak ringan. Kalau kemudian perjuangan selama sebulan penuh ini kok rasanya berjalan begitu cepat, salah satu faktornya saya kira karena setiap hari saya tetap bekerja dari pagi dan pulang sampai rumah menjelang magrib. Jadinya puasanya nggak terlalu banyak membebani.
Pada beberapa hari terakhir di bulan ramadhan ini, suasana kehidupan seolah berdenyut jauh lebih kencang. Jalanan di kota penuh sesak. Berbagai pusat perbelanjaan penuh sesak. Tempat parkir tidak muat. Hiruk-pikuk manusia bertransaksi terjadi nyaris di semua tempat.
Fenomena semacam ini rutin terjadi setiap tahun. Bahkan semakin tahun semakin meningkat intensitasnya. Dan saya kira wajar kalau orang melakukannya. Momentum perayaan Idul Fitri setahun sekali ini betul-betul menjadi perayaan nasional. Berbagai cara dilakukan untuk menjadikan Idul Fitri bermakna. Bahkan perjuangan tidak ringan pun harus dilakukan. Tidak sedikit yang harus kehilangan harta benda, kecelakaan, dan hal-hal mengenaskan lainnya karena mudik.
Berkaitan dengan fenomena ini, saya kira penting untuk merenungkan pendapat pakar tafsir Indonesia, Prof. Dr. M. Quraish Shihab. Di acara 360 Metro TV tadi malam, saya mendengarkan penjelasan yang sangat menyentuh dari Pak Quraish. Beliau menyatakan bahwa idul Fitri itu maknanya bukan kemenangan. ”Kemenangan dari apa?” tanya beliau. Jika Idul Fitri dimaknai sebagai kemenangan maka sesungguhnya Idul Fitri justru menjadi media manusia untuk melakukan berbagai tindakan yang berlebihan: makan berlebihan, belanja berlebihan, mengeluarkan uang tanpa perhitungan, dan berbagai tindakan berlebihan lainnya. Jika ini yang terjadi maka makna kemenangan tentu kurang tepat.
Menurut beliau, makna Idul Fitri yang pas itu adalah kembali suci. Makna ini menunjukkan bahwa Idul Fitri merupakan bagian penting dari proses manusia yang telah menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh. Puasa sebulan seharusnya mampu menjadikan manusia kembali suci, yaitu manusia yang telah terhapus dosa-dosanya.
Satu hal menarik yang beliau sampaikan berkaitan dengan Idul Fitri yaitu janganlah merayakan Idul Fitri secara berlebihan. Saran ini beliau sampaikan karena banyak masyarakat merasa telah bebas, lepas, dan mendapatkan kemenangan dengan datangnya Idul Fitri. Untuk itu, berbagai perilaku yang sesungguhnya kurang sesuai dengan spirit Idul Fitri justru dilakukan. Pak Quraish menyatakan, ”Janganlah seperti mengurai benang yang ditenun satu persatu dengan pelan-pelan. Puasa ramadhan sebulan diibaratkan perempuan yang membuat kain tenun. Dirajutnya sabar, tawakal, kesederhanaan, kedisiplin, kejujuran, dan berbagai nilai positif lainnya. Semua tenunan akan terurai satu demi satu dengan hilangnya sabar, tawakal, kesederhanaan, kedisiplinan, dan sebagainya pada saat Idul Fitri”.
Menarik sekali merenungkan pendapat pakar tafsir Indonesia tersebut. Perjuangan puasa selama sebulan ibarat merajut benang tenun. Karena itu, janganlah kita mengurainya sendiri. Saat ini semua orang berbondong-bondong menyambut Idul Fitri. Pertanyaan penting yang layak diajukan adalah: Masihkan tersisa kuat ”rajutan” nilai-nilai ramadhan dalam diri kita? Jika memang masih kuat, itulah harapan kita. Tetapi jika telah terurai satu persatu, marilah segera kita perbaiki kembali. Jangan sampai puasa ramadhan selama sebulan penuh yang kita jalani menjadi kehilangan maknanya yang substansial. Salam.
Trenggalek—Tulungagung, 2 Agustus 2013
Ngainun Naim
www.ngainun-naim.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.