HOBI KOK MENABUNG
MASALAH!
Oleh Ngainun Naim
Salah satu mentalitas
yang banyak menghinggapi masyarakat kita adalah mental menunda. Jika ada hal yang berkaitan dengan kewajiban,
bukannya diusahakan untuk diselesaikan secepat mungkin, tetapi justru dibiarkan
begitu saja karena yakin waktunya masih panjang. ”Kan masih dua minggu, masih
cukup lama”. Kalimat semacam ini sangat sering saya dengar saat bertanya
mengenai tugas yang harus diselesaikan oleh para mahasiswa saya.
Padahal, jika
dilaksanakan sesegera mungkin, beban pikiran dan peluang perbaikan—jika memang
ada yang kurang sempurna—masih terbuka luas. Hal ini membuka peluang bagi
terwujudnya hasil kerja yang lebih maksimal. Sebaliknya, kerja yang
ditangguhkan justru sama seperti MENABUNG
MASALAH. Mengapa demikian? Ya karena seiring dengan penundaan tersebut
berbagai masalah akan datang menghinggapi. Pertama-tama adalah menganggap enteng tugas. Cara pandang
semacam ini jelas kurang baik. Banyak ahli mengatakan bahwa orang sukses adalah
orang yang tekun mengerjakan hal-hal kecil secara baik. Jarang ada kesuksesan
yang langsung melompat dan meninggalkan detail-detail hal yang kecil.
Menganggap enteng kewajiban ini pada akhirnya membuat sebuah pekerjaan
terlantar.
Selain menganggap
enteng, dampak berikutnya adalah malas. Kemalasan itu musuh terbesar yang tidak
mudah untuk ditakhlukkan. Tidak ada orang yang tidak pernah tidak malas. Semua
orang pasti mengalaminya. Tetapi ada titik pembeda antara orang sukses dan
tidak: orang sukses tidak larut dalam kemalasan. Begitu rasa malas
menghinggapi, ia akan berusaha keras untuk mengatasinya. Sementara orang gagal
justru menikmati kemalasan itu.
Muara dari semuanya
itu adalah saat mendekati deadline. Banyak
yang baru sadar bahwa waktunya tinggal sedikit lagi. Akibatnya, kerja super
keras dilakukan. Lembur menjadi pilihan yang tidak terhindarkan. Kurang tidur,
badan kurang fit, hasil kurang maksimal, dan berbagai efek negatif lainnya
harus dihadapi.
Seminggu terakhir ini
saya menguji skripsi di kampus tempat saya bekerja. Jauh hari, sejak awal
semester lalu, mahasiswa yang menjadi bimbingan saya sudah saya anjurkan untuk
konsultasi secara teratur. Skripsi akan selesai kalau dikerjakan secara rutin
setiap hari. ”Jika Anda sehari menulis satu halaman saja, sekitar 3 bulan
skripsi Anda selesai. Kalau ada masalah, temui saya. Kita diskusikan masalah
tersebut agar ada solusinya”, kata saya kepada para mahasiswa.
Beberapa orang memang
rajin berkonsultasi. Dan betul, sekitar tiga bulan skripsi mereka selesai
dengan hasil yang bagus. Terbukti, mereka bisa mengikuti ujian gelombang awal
dengan hasil sesuai harapan. Sementara beberapa orang lainnya tampaknya memang menabung masalah. Beberapa kali saya
kirimi SMS agar mereka melaporkan perkembangan penulisan skripsinya. Ada yang
datang dan bercerita mengenai kendala yang dihadapi. Setelah diskusi dan
perbaikan, skripsinya akhirnya selesai juga dan bisa ikut ujian gelombang
kedua.
Nah, yang menjadi ide
tulisan ini adalah mahasiswa saya yang masuk kategori ketiga. Mereka ini jarang
konsultasi, dihubungi juga belum tentu mau datang (padahal seharusnya mereka
yang menghubungi saya he he he), dan berbagai alasan lainnya. Mereka baru
datang pada hari-hari terakhir menjelang pendaftaran gelombang terakhir ujian
pada semester ini. Tentu saja, hasil kerjanya juga jauh dari harapan. Mau
diperbaiki agar hasilnya lebih baik waktunya juga sudah sangat mepet. Mau tidak
mau, mereka harus kerja keras. Lembur dan lembur untuk mengejar waktu akhir
pendaftaran dengan hasil kerja minimalis menjadi pilihan yang tidak mungkin
untuk dihindarkan. Dan saat ujian, hasil kurang memuaskan, revisi
berlembar-lembar, dan kondisi fisik yang menurun staminanya.
Tiga tipe mahasiswa
yang saya bimbing itu saya kira ada di mana-mana. Di tempat kerja yang berbeda,
saya kira tipologinya juga hampir sama. Ada yang segera menyelesaikan kerja,
ada yang menyelesaikan agak terhambat, dan ada yang memang menundanya. Saya
sendiri bukan pekerja yang baik, hanya memang saya selalu berusaha—dan sering
juga tidak berhasil—untuk sesegera mungkin menyelesaikan kewajiban saya agar
tidak menjadi beban pikiran. LEBIH BAIK KERJA KERAS DI AWAL DAN AKHIRNYA SANTAI
DARIPADA SANTAI DI AWAL TAPI UJUNGNYA STRESS. Salam.
Ngainun Naim
Tulungagung, 1
Agustus 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.