Kamis, 01 Agustus 2013

HOBI KOK MENABUNG MASALAH!



HOBI KOK MENABUNG MASALAH!
Oleh Ngainun Naim


Salah satu mentalitas yang banyak menghinggapi masyarakat kita adalah mental menunda. Jika ada hal yang berkaitan dengan kewajiban, bukannya diusahakan untuk diselesaikan secepat mungkin, tetapi justru dibiarkan begitu saja karena yakin waktunya masih panjang. ”Kan masih dua minggu, masih cukup lama”. Kalimat semacam ini sangat sering saya dengar saat bertanya mengenai tugas yang harus diselesaikan oleh para mahasiswa saya.
Padahal, jika dilaksanakan sesegera mungkin, beban pikiran dan peluang perbaikan—jika memang ada yang kurang sempurna—masih terbuka luas. Hal ini membuka peluang bagi terwujudnya hasil kerja yang lebih maksimal. Sebaliknya, kerja yang ditangguhkan justru sama seperti MENABUNG MASALAH. Mengapa demikian? Ya karena seiring dengan penundaan tersebut berbagai masalah akan datang menghinggapi. Pertama-tama adalah menganggap enteng tugas. Cara pandang semacam ini jelas kurang baik. Banyak ahli mengatakan bahwa orang sukses adalah orang yang tekun mengerjakan hal-hal kecil secara baik. Jarang ada kesuksesan yang langsung melompat dan meninggalkan detail-detail hal yang kecil. Menganggap enteng kewajiban ini pada akhirnya membuat sebuah pekerjaan terlantar.
Selain menganggap enteng, dampak berikutnya adalah malas. Kemalasan itu musuh terbesar yang tidak mudah untuk ditakhlukkan. Tidak ada orang yang tidak pernah tidak malas. Semua orang pasti mengalaminya. Tetapi ada titik pembeda antara orang sukses dan tidak: orang sukses tidak larut dalam kemalasan. Begitu rasa malas menghinggapi, ia akan berusaha keras untuk mengatasinya. Sementara orang gagal justru menikmati kemalasan itu.
Muara dari semuanya itu adalah saat mendekati deadline. Banyak yang baru sadar bahwa waktunya tinggal sedikit lagi. Akibatnya, kerja super keras dilakukan. Lembur menjadi pilihan yang tidak terhindarkan. Kurang tidur, badan kurang fit, hasil kurang maksimal, dan berbagai efek negatif lainnya harus dihadapi.
Seminggu terakhir ini saya menguji skripsi di kampus tempat saya bekerja. Jauh hari, sejak awal semester lalu, mahasiswa yang menjadi bimbingan saya sudah saya anjurkan untuk konsultasi secara teratur. Skripsi akan selesai kalau dikerjakan secara rutin setiap hari. ”Jika Anda sehari menulis satu halaman saja, sekitar 3 bulan skripsi Anda selesai. Kalau ada masalah, temui saya. Kita diskusikan masalah tersebut agar ada solusinya”, kata saya kepada para mahasiswa.
Beberapa orang memang rajin berkonsultasi. Dan betul, sekitar tiga bulan skripsi mereka selesai dengan hasil yang bagus. Terbukti, mereka bisa mengikuti ujian gelombang awal dengan hasil sesuai harapan. Sementara beberapa orang lainnya tampaknya memang menabung masalah. Beberapa kali saya kirimi SMS agar mereka melaporkan perkembangan penulisan skripsinya. Ada yang datang dan bercerita mengenai kendala yang dihadapi. Setelah diskusi dan perbaikan, skripsinya akhirnya selesai juga dan bisa ikut ujian gelombang kedua.
Nah, yang menjadi ide tulisan ini adalah mahasiswa saya yang masuk kategori ketiga. Mereka ini jarang konsultasi, dihubungi juga belum tentu mau datang (padahal seharusnya mereka yang menghubungi saya he he he), dan berbagai alasan lainnya. Mereka baru datang pada hari-hari terakhir menjelang pendaftaran gelombang terakhir ujian pada semester ini. Tentu saja, hasil kerjanya juga jauh dari harapan. Mau diperbaiki agar hasilnya lebih baik waktunya juga sudah sangat mepet. Mau tidak mau, mereka harus kerja keras. Lembur dan lembur untuk mengejar waktu akhir pendaftaran dengan hasil kerja minimalis menjadi pilihan yang tidak mungkin untuk dihindarkan. Dan saat ujian, hasil kurang memuaskan, revisi berlembar-lembar, dan kondisi fisik yang menurun staminanya.
Tiga tipe mahasiswa yang saya bimbing itu saya kira ada di mana-mana. Di tempat kerja yang berbeda, saya kira tipologinya juga hampir sama. Ada yang segera menyelesaikan kerja, ada yang menyelesaikan agak terhambat, dan ada yang memang menundanya. Saya sendiri bukan pekerja yang baik, hanya memang saya selalu berusaha—dan sering juga tidak berhasil—untuk sesegera mungkin menyelesaikan kewajiban saya agar tidak menjadi beban pikiran. LEBIH BAIK KERJA KERAS DI AWAL DAN AKHIRNYA SANTAI DARIPADA SANTAI DI AWAL TAPI UJUNGNYA STRESS. Salam.
Ngainun Naim
Tulungagung, 1 Agustus 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.