BUKU HARIAN YANG MENGGETARKAN
Oleh
Ngainun Naim
Hampir semua penulis menyatakan bahwa salah satu hal yang menjadi dasar
dari kesuksesan mereka menulis adalah menulis buku harian. Buku harian bukan
hanya tempat untuk curhat, tetapi juga untuk berkomunikasi dengan alam pikiran
bawah sadar. Para ahli mengatakan bahwa kita baru memakai kurang dari 10% atau
15% dari kemampuan otak kita. Itu artinya lebih 90% otak kita tidak dipakai
alias tidur.
Kecenderungan manusia dalam belajar adalah ia akan lebih cepat menangkap
atau mengingat sesuatu yang ia dengar, baca, lihat sekaligus rasakan. Ketika
kita mendengar sesuatu yang penting barangkali akan mudah hilang jika tidak
kita catat. Kebiasaan menyalin informasi atau ide yang terlintas atau yang
terdengar di buku harian sebenarnya merupakan cara untuk mengingat sebuah
informasi secara lebih langgeng dan cepat. Ketika kita menulis buku harian,
sebenarnya kita sedang mengaktifkan pikiran sadar kita. Ketika kita menempel
gambar atau yang lainnya, kita mengaktifkan pikiran bawah sadar kita.
Kisah tentang manfaat buku harian sangat banyak. Philip Barry Osborne dalam
Chicken Soup for the Writer’s Soul menulis bahwa dalam “Lesson from Aunt
Grace” yang muncul di Readers’s Digest, Nardi Reeder Campion
menyampaikan sebuah pengalaman dan pesan yang bisa bermanfaat bagi semua pembaca.
Kisah Nardi menggambarkan sebuah periode dalam hidupnya ketika ia sedang dalam
kesulitan, dan kemudian ia menemukan sebuah buku harian yang telah ditulis
lebih dari empat puluh tahun lalu oleh seorang bibi lajang yang juga pernah
mengalami masa-masa sulit. Dulu Bibi Grace miskin, rapuh, dan terpaksa hidup
bersama kerabatnya. “Aku tahu aku harus ceria, hidup dalam keluarga besar ini
tempat aku menggantungkan hidupku,” tulis Bibi Grace. “Meski begitu aku
dihantui kemuraman. Sudah jelas situasiku takkan berubah, karena itu, aku akan
harus berubah”.
Untuk membantu keutuhan dunianya yang rapuh, Bibi Grace bertekad melakukan
enam hal setiap harinya: (1) sesuatu untuk orang lain, (2) sesuatu untuk
dirinya sendiri, (3) sesuatu yang tak ingin ia lakukan dan yang perlu
dilakukan, (4) latihan fisik, (5) latihan mental, dan (6) sebuah doa asli yang
selalu mencakup menghitung anugerahnya. Dari sana, artikel Nardi menjelajahi
cara keenam langkah itu membantu mengubah hidupnya, seperti halnya
langkah-langkah itu telah membantu mengubah hidup Bibi Grace bertahun-tahun
yang lampau.
“Bisakah hidup dijalani berdasarkan sebuah formula?” tanya Nardi dalam
artikelnya. “Yang aku tahu hanyalah sejak aku mulai menjalani keenam aturan
itu, aku telah menjadi lebih terlibat dengan orang lain dan, karena itu, tidak
terlalu ‘terkubur’ dalam diriku sendiri. Bukannya berkubang dalam perasaan
mengasihani diri sendiri, aku malah berpedoman pada moto Bibi Grace,
‘Berkembanglah di mana kau ditanam.”
Setelah membaca buku harian ini, Nardi seperti mendapatkan secercah cahaya
baru. Ia mendapatkan pencerahan. Buku harian Bibi Grace dirasakan begitu luar
biasa. Sejak itu, ia terus berusaha memperbaiki hidupnya agar menjadi diri yang
berkembang.
Buku harian Ahmad Wahib merupakan sebuah contoh bagaimana sebuah buku
harian memiliki pengaruh yang sedemikian luas. Tidak sedikit pengakuan dari
para pemikir, aktivis, hingga mahasiswa yang menyatakan bahwa buku Wahid begitu
luar biasa. Begitu tersebut sarat dengan pemikiran progresif. Apa yang ditulis
Wahib tidak hanya berisi catatan aktivitas keseharian, tetapi lebih pada
pemikiran yang bernar, liberal, dan sangat berani. Itulah mengapa buku Wahid
begitu banyak dibicarakan orang karena pengaruhnya yang memang luar biasa.
Dari sebuah buku harian—yang Wahib sendiri hampir pasti tidak pernah
membayangkan semasa hidupnya jika akan menghasilkan catatan yang begitu
menghebohkan—muncul banyak tulisan, baik makalah, artikel, hingga buku. Mu’arif
misalnya, menulis sebuah buku yang berjudul Muslim Liberal. Buku ini membahas
tentang pemikiran Wahib yang dinilainya sebagai tokoh yang bisa disebut sebagai
liberal. Kata Mu’arif, jauh sebelum Ulil Abshar-Abdalla dan kawan-kawannya
mendirikan Jaringan Islam Liberal, Wahib sudah mengawalinya. Wahib memang tidak
banyak menelurkan karya, buku, apalagi organisasi macam JIL. Tetapi pada diri
Wahib melekat kuat identitas sebagai seorang Muslim liberal.
Jauh sebelum buku Wahib terbit, buku harian yang paling monumental adalah
karya R.A Kartini. Habis Gelap Terbitlah Terang adalah kumpulan catatan
harian dan surat menyurat antara RA Kartini dengan para sahabatnya di Negeri
Belanda. Seperti Anne Frank, Kartini telah membuka mata dunia, menginspirasi
banyak orang, dan memberikan pengaruh yang luar biasa.
Tokoh lain yang dapat disebut adalah Soe Hok Gie. Buku hariannya berisi
tentang aktivitas yang dilakukannya, baik sebagai demonstran yang gigih,
pembaca buku yang tekun, pendaki gunung yang fanatik, pemuda yang menyukai
pesta dan hura-hura, maupun sebagai keturunan Tionghoa yang punya banyak
pengalaman diskriminatif. Seperti umumnya buku harian, buku Gie juga banyak
diwarnai oleh konflik batin antara ia dengan kekasihnya, orang tuanya, lawan
politiknya, dan dengan dirinya sendiri. Gie menuliskan buku hariannya seperti
bercerita, sehingga membaca buku hariannya seperti membaca sebuah novel yang
bersetting sejarah tahun 60-an.
Ngainun Naim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.