MUSIM KAWIN
Oleh Ngainun Naim
Bulan syawal bagi masyarakat Jawa bukan hanya bulan
saling memaafkan, tetapi juga bulan musim kawin. Bagi orang Jawa, menikahkan
anak itu tidak bisa dilakukan sembarang waktu. Ada ahli khusus yang dijadikan
tempat konsultasi untuk mencari hari baik ini.
Bulan syawal yang artinya peningkatan ini tampaknya tidak
hanya dimaknai sebagai peningkatan kebaikan saja, tetapi juga ditandai dengan
peningkatan orang yang punya hajat. Bagi Anda yang tinggal di desa-desa di
Jawa, khususnya Jawa Timur, bulan-bulan semacam ini menjadi bulan yang paling
banyak menguras isi kantong. Bayangkan, dalam sebulan ada cukup banyak
undangan. Orang tua saya pernah mendapatkan sekitar 25 undangan hajatan dalam
sebulan. Itu artinya, harus menyediakan dana—katakan 50 ribu untuk bapak dan
ibu—di atas satu juta rupiah. Ini jelas jumlah yang tidak kecil.
Minta Bupati
Melarang Hajatan
Sekitar tahun 2000-an, saya menjadi pendamping masyarakat
untuk sebuah program. Ada banyak pengalaman
menarik saat itu, khususnya yang berkaitan dengan hajatan. Saat pertama dikumpulkan, beberapa warga yang menjadi dampingan
saya berdiskusi berkaitan dengan program. Diskusi berlangsung dengan lancar.
Saat tanya jawab, muncul usulan yang menarik. ”Saya minta Adik sebagai petugas
ini menyampaikan ke Pak Bupati agar melarang hajatan. Berat Dik. Saya ini istri
perangkat desa. Kalau musim begini, habis sudah semua dana yang saya miliki.
Sehari bisa lebih sekali untuk mendatangi orang hajatan”, keluhnya.
Saya terdiam sejenak. Saya kemudian menjelaskan bahwa
hajatan merupakan tradisi yang sudah mendarahdaging di masyarakat. Sebagai
tradisi, tentu tidak bisa dilarang. Pemerintah sendiri justru akan mendapatkan
tantangan dari masyarakat kalau sampai membuat kebijakan melarang orang
menyelenggarakan pesta hajatan.
Saya kemudian mengajak diskusi ibu tersebut. Saya
menyarankan kepada beliau agar selektif mendatangi undangan. Jika memang
memungkinkan untuk tidak didatangi karena berbagai pertimbangan, lebih baik
tidak didatangi. Menghadiri undangan hajatan itu memang baik, tetapi jika
secara ekonomi tidak mampu, itu namanya menyengsarakan diri. Memang ada banyak
hal yang harus dipertimbangkan, tetapi secara prinsip saya katakan kepada
beliau agar membuat skala prioritas mendatangi undangan agar tidak terjerat
hutang.
Sehari Hanya
untuk Mendatangi Hajatan
Bagi kita yang bekerja di kantor, waktu sehari habis
untuk bekerja. Berangkat pagi buta dan pulang saat petang menjelang petang.
Karena itu, sesampai di rumah biasanya kita sudah capek dan tidak memiliki
waktu untuk berinteraksi secara intensif dengan para tetangga. Biasanya hari
sabtu dan minggu yang bisa dimanfaatkan untuk bersosialisasi.
Saat masih bekerja sebagai pendamping warga masyarakat di
daerah pegunungan yang secara geografis sulit untuk ditempuh, saya memiliki
pengalaman menarik berkaitan dengan hajatan. Kondisi geografis yang sulit
ditempuh membuat masyarakat ke mana-mana jalan kaki. Sepeda motor tidak
memungkinkan untuk digunakan. Ikatan sosial yang lekat membuat mereka
mendatangi tetangga yang punya hajat.
Seorang warga pernah bercerita kepada saya bahwa mereka
biasa jika musim hajatan menghabiskan waktu sehari hanya untuk mendatangi
hajatan saja. Katakan jika sehari ada 4 orang punya hajatan, maka seharian
mereka harus berjalan kaki dalam sehari. Katakan dari rumah menuju lokasi
ditempuh dengan jalan kaki selama satu jam, berarti pulang pergi dari rumah
menuju lokasi hajatan dibutuhkan waktu sekitar 2 jam. Dan sehari berarti 8 jam
waktu untuk mendatangi hajatan.
Sosialisasi Diri
Saya tinggal di kampung. Ada banyak pertimbangan mengapa
saya lebih suka tinggal di kampung dan berbaur dengan masyarakat sekitar
dibandingkan dengan tinggal di perumahan. Saya lahir di sebuah desa dari
keluarga sederhana. Sekolah saya juga sederhana. Kesederhanaan masyarakat desa
ini membuat ikatan sosial di antara warga desa kami berlangsung sangat erat.
Jika mencari rumah seseorang, tidak perlu menyebutkan alamat secara detail.
Cukup menyebut nama, biasanya orang mengetahui siapa kita.
Sekarang memang kondisi sudah semakin berubah. Jumlah
penduduk semakin banyak. Saya tidak lagi tinggal sedesa dengan orang tua. Saya
menjadi penduduk baru di desa tempat saya tinggal sekarang ini. Tetapi hubungan
sosial di desa saya sekarang masih lumayan erat.
Jika ada warga yang memiliki hajat, saya pun datang
menghadiri. Kami menyebutnya dengan nama ”mbecek”.
Jika ada tetangga dekat, biasanya kami diundang untuk berpartisipasi sebagai
panitia. Biasanya sudah ada pembagian tugas secara jelas.
Bagi saya pribadi, acara hajatan ini memiliki banyak
makna. Walaupun semakin hari ada pergeseran pelaksanaan, tetapi saya melihat
bahwa tradisi ini merupakan bagian dari dinamika kehidupan sosial orang Jawa.
Salam
Tulungagung,
26 Agustus 2013
Ngainun
Naim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.