Senin, 26 Agustus 2013

MUSIM KAWIN



MUSIM KAWIN
Oleh Ngainun Naim

Bulan syawal bagi masyarakat Jawa bukan hanya bulan saling memaafkan, tetapi juga bulan musim kawin. Bagi orang Jawa, menikahkan anak itu tidak bisa dilakukan sembarang waktu. Ada ahli khusus yang dijadikan tempat konsultasi untuk mencari hari baik ini.
Bulan syawal yang artinya peningkatan ini tampaknya tidak hanya dimaknai sebagai peningkatan kebaikan saja, tetapi juga ditandai dengan peningkatan orang yang punya hajat. Bagi Anda yang tinggal di desa-desa di Jawa, khususnya Jawa Timur, bulan-bulan semacam ini menjadi bulan yang paling banyak menguras isi kantong. Bayangkan, dalam sebulan ada cukup banyak undangan. Orang tua saya pernah mendapatkan sekitar 25 undangan hajatan dalam sebulan. Itu artinya, harus menyediakan dana—katakan 50 ribu untuk bapak dan ibu—di atas satu juta rupiah. Ini jelas jumlah yang tidak kecil.

Minta Bupati Melarang Hajatan
Sekitar tahun 2000-an, saya menjadi pendamping masyarakat untuk sebuah program.  Ada banyak pengalaman menarik saat itu, khususnya yang berkaitan dengan hajatan. Saat pertama dikumpulkan, beberapa warga yang menjadi dampingan saya berdiskusi berkaitan dengan program. Diskusi berlangsung dengan lancar. Saat tanya jawab, muncul usulan yang menarik. ”Saya minta Adik sebagai petugas ini menyampaikan ke Pak Bupati agar melarang hajatan. Berat Dik. Saya ini istri perangkat desa. Kalau musim begini, habis sudah semua dana yang saya miliki. Sehari bisa lebih sekali untuk mendatangi orang hajatan”, keluhnya.
Saya terdiam sejenak. Saya kemudian menjelaskan bahwa hajatan merupakan tradisi yang sudah mendarahdaging di masyarakat. Sebagai tradisi, tentu tidak bisa dilarang. Pemerintah sendiri justru akan mendapatkan tantangan dari masyarakat kalau sampai membuat kebijakan melarang orang menyelenggarakan pesta hajatan.
Saya kemudian mengajak diskusi ibu tersebut. Saya menyarankan kepada beliau agar selektif mendatangi undangan. Jika memang memungkinkan untuk tidak didatangi karena berbagai pertimbangan, lebih baik tidak didatangi. Menghadiri undangan hajatan itu memang baik, tetapi jika secara ekonomi tidak mampu, itu namanya menyengsarakan diri. Memang ada banyak hal yang harus dipertimbangkan, tetapi secara prinsip saya katakan kepada beliau agar membuat skala prioritas mendatangi undangan agar tidak terjerat hutang.

Sehari Hanya untuk Mendatangi Hajatan
Bagi kita yang bekerja di kantor, waktu sehari habis untuk bekerja. Berangkat pagi buta dan pulang saat petang menjelang petang. Karena itu, sesampai di rumah biasanya kita sudah capek dan tidak memiliki waktu untuk berinteraksi secara intensif dengan para tetangga. Biasanya hari sabtu dan minggu yang bisa dimanfaatkan untuk bersosialisasi.
Saat masih bekerja sebagai pendamping warga masyarakat di daerah pegunungan yang secara geografis sulit untuk ditempuh, saya memiliki pengalaman menarik berkaitan dengan hajatan. Kondisi geografis yang sulit ditempuh membuat masyarakat ke mana-mana jalan kaki. Sepeda motor tidak memungkinkan untuk digunakan. Ikatan sosial yang lekat membuat mereka mendatangi tetangga yang punya hajat.
Seorang warga pernah bercerita kepada saya bahwa mereka biasa jika musim hajatan menghabiskan waktu sehari hanya untuk mendatangi hajatan saja. Katakan jika sehari ada 4 orang punya hajatan, maka seharian mereka harus berjalan kaki dalam sehari. Katakan dari rumah menuju lokasi ditempuh dengan jalan kaki selama satu jam, berarti pulang pergi dari rumah menuju lokasi hajatan dibutuhkan waktu sekitar 2 jam. Dan sehari berarti 8 jam waktu untuk mendatangi hajatan.

Sosialisasi Diri
Saya tinggal di kampung. Ada banyak pertimbangan mengapa saya lebih suka tinggal di kampung dan berbaur dengan masyarakat sekitar dibandingkan dengan tinggal di perumahan. Saya lahir di sebuah desa dari keluarga sederhana. Sekolah saya juga sederhana. Kesederhanaan masyarakat desa ini membuat ikatan sosial di antara warga desa kami berlangsung sangat erat. Jika mencari rumah seseorang, tidak perlu menyebutkan alamat secara detail. Cukup menyebut nama, biasanya orang mengetahui siapa kita.
Sekarang memang kondisi sudah semakin berubah. Jumlah penduduk semakin banyak. Saya tidak lagi tinggal sedesa dengan orang tua. Saya menjadi penduduk baru di desa tempat saya tinggal sekarang ini. Tetapi hubungan sosial di desa saya sekarang masih lumayan erat.
Jika ada warga yang memiliki hajat, saya pun datang menghadiri. Kami menyebutnya dengan nama ”mbecek”. Jika ada tetangga dekat, biasanya kami diundang untuk berpartisipasi sebagai panitia. Biasanya sudah ada pembagian tugas secara jelas.
Bagi saya pribadi, acara hajatan ini memiliki banyak makna. Walaupun semakin hari ada pergeseran pelaksanaan, tetapi saya melihat bahwa tradisi ini merupakan bagian dari dinamika kehidupan sosial orang Jawa.

Salam
Tulungagung, 26 Agustus 2013
Ngainun Naim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.