LEBIH BAIK MANTAN PENJAHAT DARIPADA MANTAN KIAI
Oleh Ngainun
Naim
Beberapa waktu terakhir beberapa kali saya diminta
mengisi ceramah. Saya sesungguhnya bukan mubaligh dan tidak terlalu sering mengisi
ceramah laiknya mubalig. Kalau boleh memilih, saya sebenarnya lebih suka
menulis.
Salah satu topik yang pernah diminta oleh panitia adalah
akhlak mulia. Berdasarkan kajian dan pengamatan, membentuk akhlak mulia itu bukan sebuah kegiatan yang bisa ditentukan kapan
pencapaiannya. Memang ada tolok ukur tertentu yang bisa dijadikan indikator
bahwa seseorang telah memiliki akhlak
mulia. Namun demikian bukan berarti
setelah itu prosesnya selesai.
Hidup manusia selalu memiliki dinamika dan tantangan.
Tidak ada manusia yang akhlaknya sempurna,
selain Rasulullah SAW. Semua manusia
memiliki kelemahan dan kekurangan, termasuk manusia yang sekarang ini kita
lihat sebagai manusia yang dalam pandangan kita telah memenuhi kriteria
berakhlak mulia atau berkarakter.
Dalam ajaran Islam, hanya Nabi Muhammad Saw. saja yang
memiliki kesempurnaan akhlak. Hal ini bisa dimengerti karena dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Siti Aisyah dinyatakan bahwa akhlak beliau adalah al-Qur’an.
Bisa dibayangkan bagaimana keagungan akhlak beliau karena segala pernik hidup
beliau, termasuk juga karakter beliau, merupakan gambaran dari al-Qur’an. Dan
al-Qur’an adalah kitab suci yang menjadi pedoman dan petunjuk hidup seorang
Muslim.
Selain itu, Nabi Muhammad adalah sosok yang dilindungi
Allah dari melakukan dosa (ma’shum).
Perilaku beliau terjaga dari hal-hal buruk. Tidak pernah sekalipun dalam
hidupnya Nabi Muhammad melakukan dosa.
Hal-hal semacam itulah yang menjadikan karakter Nabi
Muhammad sudah mantap. Sementara kita sebagai manusia biasa selalu tumbuh dan
berkembang. Kadang-kadang kita berada dalam kondisi yang diliputi kebaikan,
namun di saat yang lain kita berada dalam lingkaran keburukan. Tidak semua
manusia mampu mempertahankan karakter dirinya dalam dinamika kehidupan yang
terus berkembang. Kadang karakter baik yang telah tertanam kuat juga goyah.
Dengan demikian, karakter manusia biasa memang tidak selamanya kokoh. Hal ini
menjadi indikasi bahwasanya akhlak itu memang harus selalu dijaga, dipertahankan,
dan ditumbuhkan kembangkan. Artinya, proses pengembangan akhlak bukan
proses yang sekali jadi, melainkan proses yang terus-menerus tiada henti.
Kasus yang dialami Rudi Rubiandini, Luthfie Hasan Ishaq,
dan beberapa pesohor lainnya menunjukkan bahwa manusia baik tidak selamanya
bisa mempertahankan nilai kebaikan yang dimilikinya. Karena itu, saya selalu
berdoa agar mendapatkan perlindungan Allah untuk tidak terjebak dalam
lingkungan atau kondisi sebagaimana yang menimpa para pesohor. Cukuplah apa
yang menimpa mereka saya jadikan sebagai pelajaran agar dapat menjalani hidup
ini secara lebih hati-hati.
Ada banyak pendapat yang berkaitan dengan proses yang
tiada berhenti ini. Sebagai proses yang tiada berhenti, secara sederhana pembentukan akhlak dibagi menjadi empat tahap. Pertama, pada usia dini disebut tahap pembentukan. Kedua, pada usia remaja disebut tahap
pengembangan. Ketiga, pada usia
dewasa disebut tahap pemantapan. Dan keempat,
pada usia tua disebut tahap pembijaksanaan.
Namun demikian tidak semua orang setuju dengan pembagian
ini sebab dalam realitasnya, tidak sedikit orang yang sudah dewasa ternyata
karakternya belum terbentuk secara mapan. Hal ini menunjukkan bahwa akhlak itu tidak
harus disesuaikan dengan umur. Sementara dari dinamika perkembangannya; mulai
dari pembentukan hingga pembijaksanaan, secara umum tidak banyak dipersoalkan.
Manusia berakhlak mulia adalah manusia yang selalu
berusaha memperbaiki dirinya sebagai individu, sebagai bagian dari kehidupan
sosial kemasyarakatan, sebagai makhluk
beragama, dan dalam interaksinya dengan alam. Hal ini menunjukkan bahwa tidak
ada manusia yang sempurna. Semua manusia pada dasarnya merupakan makhluk yang
berproses menjadi manusia yang berakhlak mulia.
Oleh karena itu, akhlak mulia yang telah terbentuk
seyogyanya dijaga dan dikembangkan ke arah yang selalu berada dalam bingkai
positif. Godaan sangat mungkin membelokkan arah karakter yang tertanam lama.
Jika ini yang terjadi, seseorang akan cepat merubah jalan dan orientasi
hidupnya menuju ke arah kebaikan.
Orang yang bergeser jalan dan orientasi hidupnya sangat
banyak. Dalam masyarakat ada ungkapan, ”Lebih
baik mantan penjahat daripada mantan kiai”. Ungkapan ini
kelihatannya sederhana dan terkesan guyonan, tetapi sesungguhnya mengandung filosofi
yang cukup mendalam. Kata ”mantan penjahat” sebenarnya merupakan bentuk kilas balik
kehidupan seseorang dari perilaku yang jahat menjadi perilaku yang baik.
Sementara ”mantan kiai” maknanya adalah berubahnya orientasi dan kiblat
seseorang dari kebaikan menjadi kejahatan.
Sebuah ungkapan tidak lahir dari ruang kosong. Ia muncul
sebagai refleksi dari kehidupan yang sesungguhnya. Demikian juga dengan
ungkapan di atas. Perubahan orientasi hidup, dari baik menjadi jahat atau dari
jahat menjadi baik, bukan mustahil untuk terjadi. Orang jahat menjadi baik
tentu menjadi harapan semua orang. Tetapi orang baik yang menjadi jahat adalah
fenomena yang seyogyanya dihindari. Dalam kerangka inilah, peran berbagai pihak
sangat diharapkan.
Orang yang menjadi jahat sesungguhnya membangun ’jalan
gelap’ dalam kehidupannya sendiri. ’Jalan gelap’ tersebut tidak hanya bermakna
masuk dalam kultur kejahatan, tetapi juga menutup pintu bagi kesuksesan dalam
hidup. Mungkin saja dalam kultur kejahatan tersebut ia sukses, tetapi suksesnya
diperoleh dengan jalan yang bertentangan dengan moralitas dan aturan
legal-formal. Dan itu berarti kesuksesannya hanyalah sementara. Sewaktu-waktu
kesuksesannya akan lenyap seiring perjalan waktu.
Dalam kaitannya dengan kesuksesan hidup, karakter tetap
menempati posisi yang penting. Sebuah penelitian mengenai berbagai faktor
sukses kehidupan yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan bahwa faktor IQ
yang tinggi menempati urutan sukses yang ke 21, sementara masuk sekolah top
berada pada urutan ke 23, dan lulus dengan nilai sangat baik atau cum laude berada pada urutan ke 30.
Sementara justru hal-hal yang berkaitan dengan karakter berada pada urutan
awal. Urutan faktor-faktor sukses tersebut adalah: (1) bersikap jujur kepada
semua orang; (2) mempunyai disiplin yang baik; (3) pintar bergaul; (4) bekerja
lebih keras; (5) memiliki semangat/kepribadian yang sangat kompetitif; (6)
memiliki kualitas kepemimpinan yang baik dan kuat; (7) mengatur hidup dengan
sangat baik; (8) memiliki kemampuan untuk menjual ide atau produk; (9) melihat
peluang yang tidak dilihat oleh orang lain; dan (10) berani mengambil resiko
keuangan bila memberikan hasil yang lebih baik.
Menyimak sepuluh urutan penentu sukses ini dapat diambil
sebuah kesimpulan bahwa aspek yang berkaitan dengan akhlak justru yang menjadi
penentu keberhasilan hidup. Sayangnya, sebagian besar masyarakat kita kurang
menyadari terhadap hal ini. Mereka lebih mengejar hal-hal yang dalam
kenyataannya justru kurang signifikan dalam menentukan keberhasilan hidup.
Aspek yang berkaitan dengan akhlak memang
terlihat abstrak. Tetapi sesungguhnya ia menjadi bagian yang erat dan lekat
dengan kehidupan. Ia selalu hadir dalam setiap gerak kehidupan. Jujur, sabar,
dan beberapa nilai lainnya tersebut cukup mudah dievaluasi dalam konteks
kehidupan seseorang.
Salam
Trenggalek,
20 Agustus 2013
Ngainun
Naim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.