Selasa, 27 Agustus 2013

LEBIH BAIK MANTAN PENJAHAT DARIPADA MANTAN KIAI



LEBIH BAIK MANTAN PENJAHAT DARIPADA MANTAN KIAI
Oleh Ngainun Naim



Beberapa waktu terakhir beberapa kali saya diminta mengisi ceramah. Saya sesungguhnya bukan mubaligh dan tidak terlalu sering mengisi ceramah laiknya mubalig. Kalau boleh memilih, saya sebenarnya lebih suka menulis.
Salah satu topik yang pernah diminta oleh panitia adalah akhlak mulia. Berdasarkan kajian dan pengamatan, membentuk akhlak mulia itu bukan sebuah kegiatan yang bisa ditentukan kapan pencapaiannya. Memang ada tolok ukur tertentu yang bisa dijadikan indikator bahwa seseorang telah memiliki akhlak mulia. Namun demikian bukan berarti setelah itu prosesnya selesai.
Hidup manusia selalu memiliki dinamika dan tantangan. Tidak ada manusia yang akhlaknya sempurna, selain Rasulullah SAW. Semua manusia memiliki kelemahan dan kekurangan, termasuk manusia yang sekarang ini kita lihat sebagai manusia yang dalam pandangan kita telah memenuhi kriteria berakhlak mulia atau berkarakter.
Dalam ajaran Islam, hanya Nabi Muhammad Saw. saja yang memiliki kesempurnaan akhlak. Hal ini bisa dimengerti karena dalam hadits yang diriwayatkan oleh Siti Aisyah dinyatakan bahwa akhlak beliau adalah al-Qur’an. Bisa dibayangkan bagaimana keagungan akhlak beliau karena segala pernik hidup beliau, termasuk juga karakter beliau, merupakan gambaran dari al-Qur’an. Dan al-Qur’an adalah kitab suci yang menjadi pedoman dan petunjuk hidup seorang Muslim.
Selain itu, Nabi Muhammad adalah sosok yang dilindungi Allah dari melakukan dosa (ma’shum). Perilaku beliau terjaga dari hal-hal buruk. Tidak pernah sekalipun dalam hidupnya Nabi Muhammad melakukan dosa.
Hal-hal semacam itulah yang menjadikan karakter Nabi Muhammad sudah mantap. Sementara kita sebagai manusia biasa selalu tumbuh dan berkembang. Kadang-kadang kita berada dalam kondisi yang diliputi kebaikan, namun di saat yang lain kita berada dalam lingkaran keburukan. Tidak semua manusia mampu mempertahankan karakter dirinya dalam dinamika kehidupan yang terus berkembang. Kadang karakter baik yang telah tertanam kuat juga goyah. Dengan demikian, karakter manusia biasa memang tidak selamanya kokoh. Hal ini menjadi indikasi bahwasanya akhlak itu memang harus selalu dijaga, dipertahankan, dan ditumbuhkan kembangkan. Artinya, proses pengembangan akhlak bukan proses yang sekali jadi, melainkan proses yang terus-menerus tiada henti.
Kasus yang dialami Rudi Rubiandini, Luthfie Hasan Ishaq, dan beberapa pesohor lainnya menunjukkan bahwa manusia baik tidak selamanya bisa mempertahankan nilai kebaikan yang dimilikinya. Karena itu, saya selalu berdoa agar mendapatkan perlindungan Allah untuk tidak terjebak dalam lingkungan atau kondisi sebagaimana yang menimpa para pesohor. Cukuplah apa yang menimpa mereka saya jadikan sebagai pelajaran agar dapat menjalani hidup ini secara lebih hati-hati. 

Ada banyak pendapat yang berkaitan dengan proses yang tiada berhenti ini. Sebagai proses yang tiada berhenti, secara sederhana pembentukan akhlak dibagi menjadi empat tahap. Pertama,  pada usia dini disebut tahap pembentukan. Kedua, pada usia remaja disebut tahap pengembangan. Ketiga, pada usia dewasa disebut tahap pemantapan. Dan keempat, pada usia tua disebut tahap pembijaksanaan.
Namun demikian tidak semua orang setuju dengan pembagian ini sebab dalam realitasnya, tidak sedikit orang yang sudah dewasa ternyata karakternya belum terbentuk secara mapan. Hal ini menunjukkan bahwa akhlak itu tidak harus disesuaikan dengan umur. Sementara dari dinamika perkembangannya; mulai dari pembentukan hingga pembijaksanaan, secara umum tidak banyak dipersoalkan.
Manusia berakhlak mulia adalah manusia yang selalu berusaha memperbaiki dirinya sebagai individu, sebagai bagian dari kehidupan sosial kemasyarakatan,  sebagai makhluk beragama, dan dalam interaksinya dengan alam. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Semua manusia pada dasarnya merupakan makhluk yang berproses menjadi manusia yang berakhlak mulia.
Oleh karena itu, akhlak mulia yang telah terbentuk seyogyanya dijaga dan dikembangkan ke arah yang selalu berada dalam bingkai positif. Godaan sangat mungkin membelokkan arah karakter yang tertanam lama. Jika ini yang terjadi, seseorang akan cepat merubah jalan dan orientasi hidupnya menuju ke arah kebaikan.
Orang yang bergeser jalan dan orientasi hidupnya sangat banyak. Dalam masyarakat ada ungkapan, ”Lebih baik mantan penjahat daripada mantan kiai”.  Ungkapan ini kelihatannya sederhana dan terkesan guyonan, tetapi sesungguhnya mengandung filosofi yang cukup mendalam. Kata ”mantan penjahat” sebenarnya merupakan bentuk kilas balik kehidupan seseorang dari perilaku yang jahat menjadi perilaku yang baik. Sementara ”mantan kiai” maknanya adalah berubahnya orientasi dan kiblat seseorang dari kebaikan menjadi kejahatan.
Sebuah ungkapan tidak lahir dari ruang kosong. Ia muncul sebagai refleksi dari kehidupan yang sesungguhnya. Demikian juga dengan ungkapan di atas. Perubahan orientasi hidup, dari baik menjadi jahat atau dari jahat menjadi baik, bukan mustahil untuk terjadi. Orang jahat menjadi baik tentu menjadi harapan semua orang. Tetapi orang baik yang menjadi jahat adalah fenomena yang seyogyanya dihindari. Dalam kerangka inilah, peran berbagai pihak sangat diharapkan.
Orang yang menjadi jahat sesungguhnya membangun ’jalan gelap’ dalam kehidupannya sendiri. ’Jalan gelap’ tersebut tidak hanya bermakna masuk dalam kultur kejahatan, tetapi juga menutup pintu bagi kesuksesan dalam hidup. Mungkin saja dalam kultur kejahatan tersebut ia sukses, tetapi suksesnya diperoleh dengan jalan yang bertentangan dengan moralitas dan aturan legal-formal. Dan itu berarti kesuksesannya hanyalah sementara. Sewaktu-waktu kesuksesannya akan lenyap seiring perjalan waktu.
Dalam kaitannya dengan kesuksesan hidup, karakter tetap menempati posisi yang penting. Sebuah penelitian mengenai berbagai faktor sukses kehidupan yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan bahwa faktor IQ yang tinggi menempati urutan sukses yang ke 21, sementara masuk sekolah top berada pada urutan ke 23, dan lulus dengan nilai sangat baik atau cum laude berada pada urutan ke 30. Sementara justru hal-hal yang berkaitan dengan karakter berada pada urutan awal. Urutan faktor-faktor sukses tersebut adalah: (1) bersikap jujur kepada semua orang; (2) mempunyai disiplin yang baik; (3) pintar bergaul; (4) bekerja lebih keras; (5) memiliki semangat/kepribadian yang sangat kompetitif; (6) memiliki kualitas kepemimpinan yang baik dan kuat; (7) mengatur hidup dengan sangat baik; (8) memiliki kemampuan untuk menjual ide atau produk; (9) melihat peluang yang tidak dilihat oleh orang lain; dan (10) berani mengambil resiko keuangan bila memberikan hasil yang lebih baik.
Menyimak sepuluh urutan penentu sukses ini dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa aspek yang berkaitan dengan akhlak justru yang menjadi penentu keberhasilan hidup. Sayangnya, sebagian besar masyarakat kita kurang menyadari terhadap hal ini. Mereka lebih mengejar hal-hal yang dalam kenyataannya justru kurang signifikan dalam menentukan keberhasilan hidup.
Aspek yang berkaitan dengan akhlak memang terlihat abstrak. Tetapi sesungguhnya ia menjadi bagian yang erat dan lekat dengan kehidupan. Ia selalu hadir dalam setiap gerak kehidupan. Jujur, sabar, dan beberapa nilai lainnya tersebut cukup mudah dievaluasi dalam konteks kehidupan seseorang.
Salam
Trenggalek, 20 Agustus 2013
Ngainun Naim


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.