MEMAKNAI BAHAGIA
Oleh Ngainun Naim
Tujuan hidup manusia itu sesungguhnya bisa disederhanakan pada kata
bahagia. Anda boleh saja tidak setuju dengan pendapat saya ini. Setiap orang
juga memiliki pemikiran terkait dengan tujuan hidupnya masing-masing. Karena
itu jika ada yang memiliki tujuan hidup yang lain atau berbeda dengan apa yang
saya tulis ini, itu merupakan realitas yang harus saya hargai sebaik-baiknya.
Hakikat bahagia sendiri ternyata tidak mudah dirumuskan. Ada yang memahami
bahagia sebagai memiliki harta berlimpah. Tetapi ketika banyak harta telah
diperoleh, ternyata tidak pernah merasakan kepuasan. Ia selalu saja merasa
kurang dan kurang. Harta ternyata ibarat air laut yang tidak bisa menghilangkan
dahaga. Maka kita acapkali mendengar orang yang kaya raya tetapi hidupnya tidak
bahagia.
Ada juga yang bilang bahwa bahagia itu ketika kita dipuja banyak orang.
Demi menjadi orang pujaan berbagai cara ditempuh. Ada yang melalui jalur normal
lewat berbagai kompetisi. Namun ada juga yang melalui jalur pintas. Tetapi
apakah ketika ketenaran telah diperoleh berarti bahagia akan diperoleh? Mungkin
saja ia, tetapi kita tidak bisa menutup mata bahwa banyak pesohor yang tersiksa
hidupnya karena kebebasannya terenggut. Kemana-mana ia tidak lagi memiliki
kebebasan.
Satu fenomena perburuan kebahagiaan yang kini justru meresahkan adalah
dengan jalan mengkonsumsi narkoba. Kian hari para penggunanya kian bertambah.
Para pengguna narkoba mungkin saja menemukan kebahagiaan saat mengkonsumsinya
tetapi itu hanya bersifat sementara. Setelah pengaruhnya hilang, mungkin
kesengsaraan yang ia rasakan. Apalagi kalau kemudian ditangkap polisi maka
kesengsaraannya kian berlimpah.
Tentu ada lebih banyak lagi paparan yang bisa ditemukan mengenai bagaimana
bahagia itu. Dan Anda sekalian saya kira punya daftar yang lebih panjang lagi. Definisi
bahagia yang Anda rumuskan bisa jadi sangat khas dan tidak sama dengan rumusan
saya. Saya kira itu wajar.
Saat menulis catatan ini, saya teringat sebuah buku kecil karangan
Jalaluddin Rakhmat. Buku tersebut berjudul Tafsir
Kebahagiaan (Jakarta: Serambi, 2010) .
Saya buka lagi buku itu dan saya menemukan sebuah paparan yang cukup
menarik. Kata Kang Jalal, kebahagiaan itu bukan hanya ketenteraman dan
kenyamanan saja. Kenyamanan atau kesenangan satu saat saja tidak melahirkan
kebahagiaan. Mencapai keinginan saja tidak dengan sendirinya memberikan
kebahagiaan. Kesenangan dalam mencapai keinginan biasanya bersifat sementara. Satu
syarat penting harus ditambahkan, yaitu kelestarian atau menetapnya perasaan
itu dalam diri kita (h. 18).
Saya renungkan paparan tersebut. Hasil renungan saya menyimpulkan bahwa
meraih kebahagiaan itu tidak mudah. Mungkin Anda tidak setuju karena bagi Anda
kebahagiaan itu sederhana dan mudah saja. Tetapi saya memahaminya sebagai
sebuah kondisi yang tidak datang begitu saja. Bahagia itu, menurut saya, harus
diusahakan dan adanya kemauan untuk membangun paradigma yang tepat dalam
memahami setiap fenomena. Sikap semacam ini penting agar bahagia itu
betul-betul hadir dalam kehidupan kita.
Satu cara yang saya tangkap dari paparan Kang Jalal adalah kebahagiaan itu
merupakan sebuah sudut pandang. Dalam hal ini lag-lagi saya mengamini Kang
Jalal yang menyatakan bahwa kita cenderung lebih memerhatikan penderitaan
ketimbang kebahagiaan, something wrong lebih
mengalihkan perhatian daripada something
right. Kang Jalal memberikan contoh, sebuah gigi yang sakit lebih
diperhatikan daripada sekian gigi yang sehat. Satu bagian tubuh yang sakit akan
lebih menyita perhatian daripada anggota-anggota badan yang tak sakit (hal.
30). Padahal, jika kita mengubah sudut pandang, justru kita akan bersyukur dan
menemukan kebahagiaan.
Kebahagiaan itu tidak bisa selamanya menetap diri. Suatu ketika pasti ada
kesedihan. Kebahagiaan ada karena adanya kesedihan. Sedih itu manusiawi, tetapi
jangan larut di dalamnya. Mari kita ubah sudut pandang dengan lebih
memerhatikan berbagai hal yang positif daripada konsentrasi pada hal negatif.
Jika ini kita lakukan, kebahagiaan saya kira akan hadir dalam hidup kita.
Semoga.
Ngainun Naim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.