KOMPETISI HIDUP TANPA TITIK AKHIR
Judul Buku: Rantau 1 Muara
Penulis: A. Fuadi
Penerbit: Gramedia Jakarta
Edisi: Mei 2013
Tebal: xi + 407 halaman
Peresensi: Ngainun Naim
Inilah
kisah lebih lanjut seorang Alif dalam menapaki jejak hidup yang penuh
tantangan. Tidak jauh berbeda dengan dua novel sebelumnya, Negeri 5 Menara dan Ranah 3
Warna, serial ketiga ini tetap sarat dengan potret perjuangan, proses
menapaki hidup yang kian tidak ringan, dan dinamika kompetisi yang menegangkan.
Juga liku-liku interaksi yang menegangkan dan acapkali tak terduga.
Trilogi
besutan A. Fuadi, termasuk seri yang ketiga ini, berangkat dari ruh kata
mutiara (mahfudhat) yang penuh energi
hidup. Seri pertama berbasis pada man
jadda wajada, seri kedua pada man shabara dzafira, maka seri ketiga
ini berbasis pada man sara ’ala darbi
washala (barangsiapa yang berjalan di atas jalan yang benar, maka ia akan
sampai).
Kisah
diawali tentang kepulangan Alif dari Kanada dan Singapura. Sebagai mahasiswa
yang belum lulus dari Universitas Padjajaran, prestasi Alif ke dua negera asing
tentu sebuah prestasi yang membanggakan. Banyak orang yang memujinya. Secara
cerdas Fuadi mengajak pembacanya untuk tidak hanya melihat apa yang dialami
Alif sebagai hasil semata, tetapi seharusnya juga dipahami bagaimana proses
yang ia jalani sehingga mencapai hasil maksimal semacam itu. Coba simak
bagaimana Alif bertutur, ”Berapa ratus
malam sepi yang aku habiskan sampai dini hari untuk mengasah kemampuanku,
belajar, membaca, menulis, dan berlatih tiada henti. Melebihkan usaha di atas
rata-rata orang lain agar aku bisa meningkatkan harkat diriku” (hlm. 8).
Fuadi
mengajak pembacanya untuk tidak bermental instan. Kesuksesan harus diraih
melalui usaha dan kerja keras. Kisah dalam keseluruhan novel ini menceritakan
tentang bagaimana satu kesuksesan sesungguhnya hanyalah sebuah terminal.
Tantangan baru akan selalu terbuka lebar saat sebuah kesuksesan tercapai.
Misalnya,
sukses melanglang ke dua negara tetangga bukan berarti jalan hidup Alif terbuka
bagi banyak kemudahan. Dikisahkan bagaimana setelah lulus kuliah Alif mengalami
berbagai tantangan hidup yang tidak ringan. Setelah melamar ke banyak
perusahaan, akhirnya ia diterima oleh sebuah perusahaan di Jakarta sebagai staf
marketing dan komunikasi. Tentu saja ia gembira. Ia pun bersiap ke Jakarta.
Namun malang, sesaat menjelang keberangkatannya ke Jakarta, ia menerima
pemberitaan bahwa perusahaan tersebut batal menerima Alif karena krisis ekonomi
di awal reformasi.
Ajaran
pesantren untuk tidak mudah putus asa menjadikan Alif terus berusaha keras agar
mendapatkan pekerjaan yang layak. Setelah berjuang dengan sangat keras,
akhirnya ia diterima di Majalah Derap. Di
tempat inilah Alif menempa dirinya secara keras. Ia terus berusaha berjuang,
memepertahankan idealisme, dan berkarier. Ada banyak pernik hidup yang ia
alami.
Tetapi
satu hal yang selalu tertanam kuat dalam benak Alif, yaitu bisa kuliah S2 di
luar negeri. Karena itu, bacaan sehari-harinya adalah TOEFL. Buku tentang
bahasa Inggris ini terus menemani hari-harinya. Saat istirahat di kantor, di
kereta dalam perjalanan tugas, malam menjelang tidur, dan dalam kondisi yang
memungkinkan, buku TOEFL selalu menjadi bagian dari aktivitas Alif. Secara
menarik Fuadi melukiskan, ”Ketika
kawanku tidur bergelung mendengkur, aku sedang sibuk belajar, riset, dan
membaca. Tapi aku tidak sedih, karena aku tahu sedang dalam proses bekerja
lebih keras dari orang kebanyakan. Hanya cara itu yang aku tahu untuk menjadi
lebih baik (hal. 154).
Perjuangan
Alif tidak sia-sia. Ia lolos mendapatkan beasiswa Fulbright. Tetapi sekali
lagi, sukses itu hanyalah sebuah terminal. Ia masih harus berjuang untuk
mendapatkan universitas yang bisa menerimanya. Penolakan demi penolakan terus
saja mendera, sampai akhirnya ada penerimaan dari George Washington University
hanya seminggu menjelang waktu deadline. Detail
cerita dalam novel ini mengajak pembacanya untuk menikmati ketegangan demi
ketegangan.
Sukses
menakhlukkan beasiswa bukan berarti sukses dalam urusan cinta. Alif diceritakan
begitu lugu dalam urusan cinta. Ia lebih pandai memendam rasa daripada
mengungkapkannya. Tampaknya ia lebih bermain perasaan dan hidup dalam harapan
daripada berbicara langsung kepada Dinara, gadis yang ditaksirnya. Anda akan
tersenyum geli melihat bagaimana Alif berjuang hanya untuk mengungkapkan rasa
cintanya. Tetapi di situlah sisi menariknya.
Sukses
menakhlukkan hati Dinara sekaligus menikahinya bukan berarti tidak ada masalah
sama sekali. Persoalan demi persoalan selalu saja muncul dan menghadang.
Semuanya membutuhkan penyelesaian secara bijak. Dan kedua pasangan muda ini
memang mampu menjalani dinamika hidup yang begitu pelik dan tidak mudah diurai.
Hidup
sukses di negeri orang ternyata mendatangkan kebimbangan dalam diri. Kelanjutan
hidup dan pilihan kembali ke tanah air telah membuat Alif dan Dinara kembali
terbenam dalam konflik berkepanjangan. Harapan, angan, kekawatiran, dan
pilihan-pilihan tidak mudah harus mereka hadapi. Pada akhirnya memang kembali
ke tanah air merupakan pilihan yang paling baik. Ya, di sinilah saya kira
spirit utama novel ini, Rantau 1 Muara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.