Selasa, 23 Juli 2013

HABITUS PLAGIASI



HABITUS PLAGIAT
Oleh Ngainun Naim )*


Kasus plagiat berkali-kali mencoreng wajah dunia pendidikan Indonesia. Awal bulan maret 2012 ramai diberitakan media massa bahwa tiga orang calon guru besar dari sebuah universitas di Bandung diketahui melakukan plagiat di atas 90%. Akibat perbuatannya, ketiga orang tersebut gagal menjadi guru besar dan bahkan diturunkan pangkatnya.
Perilaku kurang terpuji dalam bentuk plagiat yang dilakukan oleh kalangan intelektual Indonesia sebenarnya bukan sekali ini saja. Berkali-kali dunia intelektual Indonesia diguncang oleh kasus semacam ini. Sekitar tahun 2000, seorang kolomnis produktif nasional diketahui melakukan plagiat terhadap skripsi dari Universitas Airlangga. Skripsi Nurhasyim tersebut diplagiat untuk kepentingan disertasi sang kolomnis. Penulis skripsi yang dirugikan menggugat terhadap perilaku tidak terpuji sang kolomnis. Keputusan pahit harus diterima sang kolomnis, yaitu gelar doktornya dicabut.
Tahun lalu, seorang guru besar dari sebuah universitas di Riau yang juga dikenal sebagai penulis sangat produktif karena telah menulis lebih dari 80 judul buku didemo mahasiswanya karena menerbitkan buku yang isinya sebagian besar plagiat. Setelah dilakukan penelitian, terbukti bahwa guru besar tersebut memang melakukan plagiat. Akibat perbuatannya, ia diturunkan pangkatnya sehingga tidak berhak lagi menyandang gelar profesor.
Jika mau jujur dan dilakukan penelitian secara obyektif, plagiat tampaknya semakin marak dilakukan, bahkan menjadi habitus. Kasus yang muncul di media massa hanyalah sebagian kecil dari realitas yang sesungguhnya. Jiplak-menjiplak untuk berbagai kepentingan, terutama kenaikan pangkat, menjadi fenomena yang semakin banyak dilakukan.
Kalangan intelektual, terutama yang menjadi dosen, dituntut untuk melakukan tugas intelektualnya dengan mengajar, meneliti, dan pengabdian kepada masyarakat. Hasil dari kerja intelektual tersebut kemudian ditulis dan dipublikasikan, baik secara terbatas maupun secara luas. Namun demikian, realitas menunjukkan bahwa kemampuan melakukan kerja-kerja intelektual dan menuliskan hasilnya ternyata masih belum berjalan optimal. Meneliti dan menulis merupakan ketrampilan yang tidak mudah dan sederhana. Sebab meneliti dan menulis merupakan ketrampilan yang perlu dilatih dan diasah secara terus-menerus. Hanya mereka yang terbiasa saja yang dapat melakukannya dengan baik. Sayangnya, kalangan dosen yang mampu melakukan hal ini hanya sebagian kecil saja. Padahal, seharusnya kalangan intelektual inilah yang menjadikan dunia menulis dalam berbagai media—surat kabar, majalah, jurnal, buku—sebagai sarana penyebaran ide. Dengan begitu, hasil penelitian dan olah pikirnya akan dapat tersosialisasi dan diterima oleh masyarakat secara luas.
Fenomena plagiat seharusnya mendapat perhatian serius dari berbagai pihak. Jika tidak ada langkah-langkah kontrol, sangat mungkin dunia perguruan tinggi akan semakin dirongrong oleh mentalitas pragmatis. Sangsi dan kontrol yang lebih ketat dari berbagai pihak, baik masyarakat maupun birokrasi yang mengurusi kepangkatan dosen, sangat penting untuk ditingkatkan. Dengan demikian, diharapkan kasus plagiat tidak semakin marak.
Di sisi lain, setiap perguruan tinggi seharusnya melakukan pembinaan dan sosialisasi secara terus menerus terhadap kalangan untuk menjadikan meneliti dan menulis sebagai bagian tidak terpisah dari tugas mereka sehari-hari. Meneliti dan menulis bukanlah sebuah kegiatan yang dapat dilakukan secara instan. Dibutuhkan proses dan latihan secara terus menerus. Selain itu, meneliti dan menulis lebih berkaitan dengan kecintaan dan perjuangan. Melakukan penelitian dan menulis yang dilakukan dalam kondisi terpaksa tidak akan membawa hasil secara maksimal. Landasan cinta mendalam terhadap profesi yang akan membuat meneliti dan menulis sebagai sebuah kegiatan penuh tantangan yang menyenangkan. Ketika Thomas Alva Edison ditanya mengenai kemampuannya meneliti sekitar 18 jam sehari, ia mengatakan bahwa yang dilakukannya bukanlah kerja, melainkan main-main yang mengasyikkan. Edison melakukan kerjanya dengan rasa suka sehingga durasi waktu yang sedemikian panjang tidak terasa. Spirit Edison ini layak untuk diteladani dalam menumbuhkan spirit kecintaan untuk meneliti dan menulis.
Dosen seyogyanya juga dibangun kesadarannya bahwa menulis itu merupakan sebuah perjuangan. Hambatan dan tantangan itu merupakan hal yang biasa. Seharusnya juga disadari bahwa melakukan kerja intelektual itu merupakan sebuah perjuangan. Meminjam ungkapan Albert Camus, “Bukan karena perjuanganlah kita menjadi seorang intelektual, tetapi karena kita intelektual maka kita menjadi pejuang-pejuang”. Spirit ini selayaknya disosialisikan dan ditanamkan secara luas agar kejahatan intelektual tidak lagi terulang.

* Penulis adalah dosen STAIN Tulungagung


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.