HABITUS PLAGIAT
Oleh Ngainun Naim )*
Kasus plagiat berkali-kali mencoreng wajah dunia pendidikan Indonesia. Awal
bulan maret 2012 ramai diberitakan media massa bahwa tiga orang calon guru
besar dari sebuah universitas di Bandung diketahui melakukan plagiat di atas 90%. Akibat perbuatannya, ketiga orang tersebut gagal menjadi guru besar dan bahkan diturunkan pangkatnya.
Perilaku kurang terpuji dalam bentuk plagiat yang dilakukan oleh kalangan intelektual Indonesia sebenarnya bukan sekali ini saja.
Berkali-kali dunia intelektual Indonesia diguncang oleh kasus semacam ini. Sekitar tahun 2000, seorang kolomnis
produktif nasional diketahui melakukan plagiat terhadap skripsi dari
Universitas Airlangga. Skripsi Nurhasyim tersebut diplagiat untuk kepentingan
disertasi sang kolomnis. Penulis skripsi yang dirugikan menggugat terhadap
perilaku tidak terpuji sang kolomnis. Keputusan pahit harus diterima sang kolomnis, yaitu gelar doktornya dicabut.
Tahun lalu, seorang guru besar dari sebuah universitas di Riau yang juga
dikenal sebagai penulis sangat produktif karena telah menulis lebih dari 80
judul buku didemo mahasiswanya karena menerbitkan buku yang isinya sebagian
besar plagiat. Setelah dilakukan penelitian, terbukti bahwa guru besar tersebut
memang melakukan plagiat. Akibat perbuatannya, ia diturunkan pangkatnya sehingga tidak berhak lagi menyandang gelar profesor.
Jika mau jujur dan dilakukan penelitian secara obyektif, plagiat tampaknya
semakin marak dilakukan, bahkan menjadi habitus.
Kasus yang muncul di media massa hanyalah sebagian kecil dari realitas yang
sesungguhnya. Jiplak-menjiplak untuk berbagai kepentingan, terutama kenaikan
pangkat, menjadi fenomena yang semakin banyak dilakukan.
Kalangan intelektual, terutama yang menjadi dosen, dituntut untuk melakukan
tugas intelektualnya dengan mengajar, meneliti, dan pengabdian kepada
masyarakat. Hasil dari kerja intelektual tersebut kemudian ditulis dan
dipublikasikan, baik secara terbatas maupun secara luas. Namun demikian,
realitas menunjukkan bahwa kemampuan melakukan kerja-kerja intelektual dan
menuliskan hasilnya ternyata masih belum berjalan optimal. Meneliti dan menulis
merupakan ketrampilan yang tidak mudah dan sederhana. Sebab meneliti dan
menulis merupakan ketrampilan yang perlu dilatih dan diasah secara terus-menerus. Hanya mereka yang terbiasa saja yang dapat
melakukannya dengan
baik. Sayangnya, kalangan dosen yang mampu melakukan hal ini hanya sebagian
kecil saja. Padahal, seharusnya kalangan intelektual inilah yang menjadikan
dunia menulis dalam berbagai media—surat kabar, majalah, jurnal, buku—sebagai
sarana penyebaran ide. Dengan begitu, hasil penelitian dan olah pikirnya akan
dapat tersosialisasi dan diterima oleh masyarakat secara luas.
Fenomena plagiat seharusnya mendapat perhatian serius dari berbagai pihak. Jika tidak ada
langkah-langkah kontrol, sangat mungkin dunia perguruan tinggi akan semakin dirongrong
oleh mentalitas pragmatis. Sangsi dan kontrol yang lebih ketat dari berbagai
pihak, baik masyarakat maupun birokrasi yang mengurusi kepangkatan dosen,
sangat penting untuk ditingkatkan. Dengan demikian, diharapkan kasus plagiat tidak
semakin marak.
Di sisi lain, setiap perguruan tinggi seharusnya melakukan pembinaan dan
sosialisasi secara terus menerus terhadap kalangan untuk menjadikan meneliti
dan menulis sebagai bagian tidak terpisah dari tugas mereka sehari-hari.
Meneliti dan menulis bukanlah sebuah kegiatan yang dapat dilakukan secara
instan. Dibutuhkan proses dan latihan secara terus menerus. Selain itu,
meneliti dan menulis lebih berkaitan dengan kecintaan dan perjuangan. Melakukan
penelitian dan menulis yang dilakukan dalam kondisi terpaksa tidak akan membawa
hasil secara maksimal. Landasan cinta mendalam terhadap profesi yang akan
membuat meneliti dan menulis sebagai sebuah kegiatan penuh tantangan yang
menyenangkan. Ketika Thomas Alva Edison ditanya mengenai kemampuannya meneliti
sekitar 18 jam sehari, ia mengatakan bahwa yang dilakukannya bukanlah kerja,
melainkan main-main yang mengasyikkan. Edison melakukan kerjanya dengan rasa
suka sehingga durasi waktu yang sedemikian panjang tidak terasa. Spirit Edison
ini layak untuk diteladani dalam menumbuhkan spirit kecintaan untuk meneliti
dan menulis.
Dosen seyogyanya juga dibangun kesadarannya bahwa menulis itu merupakan
sebuah perjuangan. Hambatan dan tantangan itu merupakan hal yang biasa.
Seharusnya juga disadari bahwa melakukan kerja intelektual itu merupakan sebuah
perjuangan. Meminjam ungkapan Albert Camus, “Bukan karena perjuanganlah kita
menjadi seorang intelektual, tetapi karena kita intelektual maka kita menjadi
pejuang-pejuang”. Spirit ini selayaknya disosialisikan dan ditanamkan secara
luas agar kejahatan intelektual tidak lagi terulang.
* Penulis adalah dosen STAIN Tulungagung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.