KERJA KERAS ORANG TUA: DEMI ANAK ATAU DEMI ORANG TUA?
Oleh Ngainun Naim
Artikel
Prof. Rhenald Kasali di Harian Jawa Pos edisi
Rabo (23/7), Anak-Anak Kita, memberikan
kesan mendalam dalam diri saya. Tulisan guru besar Universitas Indonesia
tersebut memiliki titik relevansi dengan pengalaman personal saya sebagai
seorang ayah. Melalui artikel yang ditulis Prof. Rhenald Kasali, saya tidak
hanya mendapatkan informasi saja, tetapi juga mendapatkan kesadaran untuk
memperhatikan perhatian dan pendidikan kepada anak saya secara lebih baik. Saya
merasa ada banyak hal yang harus saya perbaiki dari pengalaman mendidik selama
ini.
Seorang
teman kerja di kantor sering melemparkan satu pernyataan yang menggelitik di
berbagai kesempatan: ”Kita ini bekerja keras selalu dengan dalih demi anak.
Benarkah? Jangan-jangan anak hanya menjadi dalih demi pembenaran atas apa yang
kita lakukan. Padahal, sesungguhnya kita kerja keras sampai sering lupa waktu
itu bukan demi anak, tetapi justru mengabaikan hak anak. Hak anak kan didampingi
dan mendapatkan pelayanan yang memadai dari kita sebagai orang tuanya”,
katanya.
Karena
beberapa kali dia mengungkapkan pernyataan ini, saya pun menanggapinya dengan
logika yang normatif saja. Tentu, ini langkah yang lebih aman dan tidak
menggiring pada perdebatan yang berkepanjangan. Benar saja, biasanya setelah
sedikit mendiskusikan pernyataan tersebut, perbincangan kemudian bergeser ke
tema lain. Dan tema tersebut dengan sendirinya ditinggalkan begitu saja.
Pernyataan
teman saya kembali terasa aktual saat saya membaca artikel Prof. Rhenald. Coba
Anda simak kutipan artikel tersebut:
Rendahnya
angka partisipasi sekolah pada level pendidikan tinggi dan SMU bangsa ini lebih
disebabkan oleh tidak dikirimnya anak-anak itu ke taman kanak-kanak yang
bermutu oleh orang tua, yang mengakibatkan rapuhnya fondasi bangsa.
Saya
baca dengan cermat kalimat tersebut. Betul juga pendapat Prof. Rhenald. Dan
beliau tidak hanya berbicara secara teori, tetapi melakukannya dengan aksi
nyata. Tampaknya, hal penting yang kurang mendapatkan perhatian kita adalah
pendidikan yang bermutu. Padahal, pendidikan bermutu, khususnya ketika
anak-anak, akan menjadi penentu kualitas dan kesuksesan dalam perjalanan hidup
kemudian.
Pada
titik inilah, peran orang tua untuk memberikan pendidikan yang bermutu sangat
diharapkan. Tetapi realitas sekarang ini menunjukkan bahwa orang tua sudah
sangat sibuk mengejar kariernya dan kurang memberikan perhatian terhadap
anak-anaknya. Saya mungkin termasuk di dalamnya. Adanya tulisan Prof. Rhenald
menyadarkan saya untuk lebih memberikan perhatian pada anak saya. Saya tertegun
dan malu saat membaca bagian yang menurut saya menjadi jiwa tulisan Prof.
Rhenald, ”Anak-anak itu butuh kita,
butuh orang tua yang menaruh perhatian. Seperti kata Bill Gates, ”Anak-anak
adalah penyita waktu terbesar saya”.
Berkaitan
dengan formula mendidik anak, ada beberapa catatan penting yang saya kira harus
saya tingkatkan kualitasnya. Pertama, doa.
Mungkin Anda tersenyum membacanya. Bagaimana mungkin mendidik anak hanya dengan
doa? Mungkin itu pertanyaan yang muncul dalam benak Anda. Tidak apa-apa jika
Anda tidak setuju atau menertawakannya. Bagi saya itu biasa dan bagian dari
kebebasan untuk mengemukakan pendapat. Tetapi saya meyakini sepenuhnya bahwa
doa itu memiliki pengaruh yang nyata. Anak-anak yang orang tuanya rajin
mendoakan biasanya akan jauh lebih sukses. Saya telah membaca berbagai kisah
tentang orang tua yang sukses dan ternyata (hampir) semuanya memiliki orang tua
yang memiliki tradisi berdoa yang kuat. Karena itu, saya ingin agar doa semakin
sering saya panjatkan kepada Allah agar memberikan kebaikan kepada anak saya.
Kedua,
membangun
kecintaan kepada buku. Bagi saya, buku itu sangat penting artinya buat
pertumbuhan anak. Saya membiasakan diri untuk membacakan cerita setiap malam
sebelum tidur. Memang tidak selalu berhasil
saya lakukan karena kelelahan fisik sering membuat saya tertidur terlebih dulu.
Tetapi dengan tulisan Prof. Rhenald, saya akan berusaha sebisa mungkin untuk
menemani anak saya membaca, belajar, dan menjawab setiap pertanyaannya yang
deras. Setiap saya bawakan buku baru, dengan berbinar saya lihat keceriaan di
wajahnya. Dia akan khusyuk membuka-buka dan membacanya. Dan malamnya, giliran
saya yang diminta untuk membacakan. Ini merupakan kegiatan yang sangat saya
sukai dan nikmati.
Ketiga, saya akan menjadi orang tua yang banyak mendengarkan
cerita anak. Sebagaimana kata Prof. Rhenald, saya ingin menjawab kebutuhan anak
terhadap seorang ayah. Mendengarkan anak saya bercerita tentang berbagai
pengalaman hidup sehari-hari ternyata begitu menyenangkan. Saya mendapatkan
pelajaran hidup, keunikan, harapan, dan berbagai hikmah lainnya.
Keempat, membangun tradisi keagamaan yang kuat. Sebagaimana
dikatakan Abdullah Nasih Ulwan bahwa tradisi keagamaan harus ditumbuhsuburkan
kepada anak sedini mungkin. Dalam hal ini, orang tua harus menjadi teladan.
Teladan dan ajakan orang tua akan lebih efektif daripada sekadar perintah tanpa
teladan dari orang tua. Nilai keagamaan yang telah tertanam dengan kuat sejak
dini akan menjadi modal bagi anak dalam menjalani kehidupan yang tantangannya
semakin hari semakin berat ini.
Sebenarnya
ada beberapa hal lain yang ingin saya lakukan, tetapi cukup empat hal itu saya
yang saya tulis dalam catatan ini. Saya berdoa semoga apa yang saya lakukan ini
memberikan pengaruh positif bagi anak saya. Saya berharap, berdoa, berusaha,
dan ingin terus memberikan yang terbaik kepada anak saya agar dia menjadi
manusia yang berkualitas. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.