Jumat, 26 Juli 2013

KERJA KERAS ORANG TUA: DEMI ANAK ATAU DEMI ORANG TUA?



KERJA KERAS ORANG TUA: DEMI ANAK ATAU DEMI ORANG TUA?
Oleh Ngainun Naim

Artikel Prof. Rhenald Kasali di Harian Jawa Pos edisi Rabo (23/7), Anak-Anak Kita, memberikan kesan mendalam dalam diri saya. Tulisan guru besar Universitas Indonesia tersebut memiliki titik relevansi dengan pengalaman personal saya sebagai seorang ayah. Melalui artikel yang ditulis Prof. Rhenald Kasali, saya tidak hanya mendapatkan informasi saja, tetapi juga mendapatkan kesadaran untuk memperhatikan perhatian dan pendidikan kepada anak saya secara lebih baik. Saya merasa ada banyak hal yang harus saya perbaiki dari pengalaman mendidik selama ini.
Seorang teman kerja di kantor sering melemparkan satu pernyataan yang menggelitik di berbagai kesempatan: ”Kita ini bekerja keras selalu dengan dalih demi anak. Benarkah? Jangan-jangan anak hanya menjadi dalih demi pembenaran atas apa yang kita lakukan. Padahal, sesungguhnya kita kerja keras sampai sering lupa waktu itu bukan demi anak, tetapi justru mengabaikan hak anak. Hak anak kan didampingi dan mendapatkan pelayanan yang memadai dari kita sebagai orang tuanya”, katanya.

Karena beberapa kali dia mengungkapkan pernyataan ini, saya pun menanggapinya dengan logika yang normatif saja. Tentu, ini langkah yang lebih aman dan tidak menggiring pada perdebatan yang berkepanjangan. Benar saja, biasanya setelah sedikit mendiskusikan pernyataan tersebut, perbincangan kemudian bergeser ke tema lain. Dan tema tersebut dengan sendirinya ditinggalkan begitu saja.
Pernyataan teman saya kembali terasa aktual saat saya membaca artikel Prof. Rhenald. Coba Anda simak kutipan artikel tersebut:
Rendahnya angka partisipasi sekolah pada level pendidikan tinggi dan SMU bangsa ini lebih disebabkan oleh tidak dikirimnya anak-anak itu ke taman kanak-kanak yang bermutu oleh orang tua, yang mengakibatkan rapuhnya fondasi bangsa.
Saya baca dengan cermat kalimat tersebut. Betul juga pendapat Prof. Rhenald. Dan beliau tidak hanya berbicara secara teori, tetapi melakukannya dengan aksi nyata. Tampaknya, hal penting yang kurang mendapatkan perhatian kita adalah pendidikan yang bermutu. Padahal, pendidikan bermutu, khususnya ketika anak-anak, akan menjadi penentu kualitas dan kesuksesan dalam perjalanan hidup kemudian.
Pada titik inilah, peran orang tua untuk memberikan pendidikan yang bermutu sangat diharapkan. Tetapi realitas sekarang ini menunjukkan bahwa orang tua sudah sangat sibuk mengejar kariernya dan kurang memberikan perhatian terhadap anak-anaknya. Saya mungkin termasuk di dalamnya. Adanya tulisan Prof. Rhenald menyadarkan saya untuk lebih memberikan perhatian pada anak saya. Saya tertegun dan malu saat membaca bagian yang menurut saya menjadi jiwa tulisan Prof. Rhenald, ”Anak-anak itu butuh kita, butuh orang tua yang menaruh perhatian. Seperti kata Bill Gates, ”Anak-anak adalah penyita waktu terbesar saya”.
Berkaitan dengan formula mendidik anak, ada beberapa catatan penting yang saya kira harus saya tingkatkan kualitasnya. Pertama, doa. Mungkin Anda tersenyum membacanya. Bagaimana mungkin mendidik anak hanya dengan doa? Mungkin itu pertanyaan yang muncul dalam benak Anda. Tidak apa-apa jika Anda tidak setuju atau menertawakannya. Bagi saya itu biasa dan bagian dari kebebasan untuk mengemukakan pendapat. Tetapi saya meyakini sepenuhnya bahwa doa itu memiliki pengaruh yang nyata. Anak-anak yang orang tuanya rajin mendoakan biasanya akan jauh lebih sukses. Saya telah membaca berbagai kisah tentang orang tua yang sukses dan ternyata (hampir) semuanya memiliki orang tua yang memiliki tradisi berdoa yang kuat. Karena itu, saya ingin agar doa semakin sering saya panjatkan kepada Allah agar memberikan kebaikan kepada anak saya.
Kedua, membangun kecintaan kepada buku. Bagi saya, buku itu sangat penting artinya buat pertumbuhan anak. Saya membiasakan diri untuk membacakan cerita setiap malam sebelum tidur. Memang tidak selalu berhasil saya lakukan karena kelelahan fisik sering membuat saya tertidur terlebih dulu. Tetapi dengan tulisan Prof. Rhenald, saya akan berusaha sebisa mungkin untuk menemani anak saya membaca, belajar, dan menjawab setiap pertanyaannya yang deras. Setiap saya bawakan buku baru, dengan berbinar saya lihat keceriaan di wajahnya. Dia akan khusyuk membuka-buka dan membacanya. Dan malamnya, giliran saya yang diminta untuk membacakan. Ini merupakan kegiatan yang sangat saya sukai dan nikmati.
Ketiga, saya akan menjadi orang tua yang banyak mendengarkan cerita anak. Sebagaimana kata Prof. Rhenald, saya ingin menjawab kebutuhan anak terhadap seorang ayah. Mendengarkan anak saya bercerita tentang berbagai pengalaman hidup sehari-hari ternyata begitu menyenangkan. Saya mendapatkan pelajaran hidup, keunikan, harapan, dan berbagai hikmah lainnya.
Keempat, membangun tradisi keagamaan yang kuat. Sebagaimana dikatakan Abdullah Nasih Ulwan bahwa tradisi keagamaan harus ditumbuhsuburkan kepada anak sedini mungkin. Dalam hal ini, orang tua harus menjadi teladan. Teladan dan ajakan orang tua akan lebih efektif daripada sekadar perintah tanpa teladan dari orang tua. Nilai keagamaan yang telah tertanam dengan kuat sejak dini akan menjadi modal bagi anak dalam menjalani kehidupan yang tantangannya semakin hari semakin berat ini.
Sebenarnya ada beberapa hal lain yang ingin saya lakukan, tetapi cukup empat hal itu saya yang saya tulis dalam catatan ini. Saya berdoa semoga apa yang saya lakukan ini memberikan pengaruh positif bagi anak saya. Saya berharap, berdoa, berusaha, dan ingin terus memberikan yang terbaik kepada anak saya agar dia menjadi manusia yang berkualitas. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.