Senin, 29 Juli 2013

KATA-KATA TERTULIS ITU MEMILIKI ENERGI



KATA-KATA TERTULIS ITU MEMILIKI ENERGI
Oleh Ngainun Naim


Membaca sering menghadirkan kejutan. Banyak hal tak terduga yang muncul. Hal-hal biasa yang luput perhatian menjadi penting setelah mendapatkan informasi dari sebuah bacaan. Hidup sehari-hari yang tidak banyak direnungkan ternyata bisa memiliki khazanah makna yang luar biasa. Kita baru bisa menyadarinya setelah membaca dan memahami tulisan-tulisan di buku, koran, blog, dan berbagai media lainnya.
Saya merasakan betul betapa kata-kata tertulis itu memiliki energi. Dan itu ternyata tidak hanya saya yang merasakannya. Ada sangat banyak orang yang tergerak, melakukan titik perubahan, menemukan spirit hidup, bangkit dari keterpurukan, dan menemukan identitas diri yang baru setelah membaca.
Kesimpulan yang semacam ini mungkin tidak Anda setujui. Tidak apa-apa karena memang mungkin Anda memiliki pendapat yang berbeda. Tetapi saya meyakininya. Saya sendiri membuktikan dan merasakan betul energi dari kata-kata yang tertulis.
Mau buktinya? Tulisan yang sedang Anda baca ini adalah buktinya. Menulis yang saya lakukan—di Kompasiana saya mulai aktif beberapa minggu terakhir—dimotivasi oleh kata-kata tertulis dari banyak orang, baik langsung atau tidak langsung. Kutipan mengenai mengapa harus menulis saya serap energinya dari banyak penulis besar, seperti Imam Al-Ghazali yang menyatakan, ”Jika kamu bukan anak raja, bukan anak bangsawan, bukan anak orang terpandang, maka menulislah”, atau kata-kata Pramoedya Ananta Toer, ”Menulislah. Jangan pedulikan apapun hasilnya. Teruslah menulis, sebab jika Engkau tidak menulis maka Engkau akan hilang dari pusaran sejarah”.
Buku-buku tentang menulis yang diracik secara apik oleh para penulis Indonesia juga memiliki energi besar yang membuat saya terdorong untuk membuat tulisan demi tulisan. Beberapa nama yang tulisan mereka telah memberikan energi besar dalam diri saya untuk menulis adalah: Hernowo, M. Fauzil Adhim, Mulyadhi Kartanegara, Jalaluddin Rakhmat, dan Andrias Harefa. Di luar nama-nama itu, tentu saja, masih banyak nama-nama lain yang buku-buku mereka telah ’menyuntikkan’ energi menulis yang sangat besar.
Saya menemukan ’sumber energi’ baru setelah bergabung dengan Kompasiana. Luar biasa, ternyata banyak potensi tersembunyi yang dimiliki oleh para penulis di blog bersama ini. Mereka berbagi ilmu, menyebarkan virus kebaikan, menularkan spirit kebersamaan, mengajak untuk menjadi manusia yang lebih baik, dan sering mengajak untuk mempertahankan menulis sebagai bagian dari cara berbagi. Beberapa nama yang sering saya simak tulisannya adalah Omjay Wijaya Kusuma, Pak Dosen Moch. Khoiri, Pak Guru Johan Wahyudi, Om David Hermanu, dan beberapa nama yang lainnya. Tentu saja, di luar mereka, ada begitu banyak nama lain yang tulisannya juga sering saya baca.
Besarnya energi membaca juga saya abadikan dalam sebuah buku terbaru saya, The Power of Reading. Buku yang terbit pada bulan Mei lalu tersebut diterbitkan oleh Penerbit Aura Pustaka Yogyakarta. Sebagai buku baru, buku ini telah dibedah di Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Tulungagung. Sebagai pembedah adalah seorang trainer membaca sekaligus Direktur Taman Bacaan Masyarakat Yogyakarta ”Cakruk Pintar” yang sekaligus Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Muhsin Kalida, M.A. Melalui kegiatan ini, saya sekaligus ’berkampanye’ mengenai satu hal: kata-kata tertulis itu memiliki energi.
Membangun tradisi membaca merupakan salah satu kunci penting untuk membuat masyarakat menjadi maju. Kemajuan tidak bisa diperoleh hanya dengan adanya teknologi, modal besar, atau pergaulan luas semata. Kunci penting yang mendasari kemajuan adalah budaya membaca yang kokoh. Oleh karena itu, pada titik yang paling ekstrim, pernyataan pengarang asal Rusia, Joseph Brodsky, menjadi menarik untuk disimak. Kata Brodsky, “Ada beberapa kejahatan yang lebih buruk daripada membakar buku. Salah satunya adalah tidak membaca buku”.
Mungkin kita tidak sepenuhnya sepakat dengan pernyataan ini. Tetapi jika kita memetik kandungan maknanya, apa yang dikatakan Brodsky ini sesungguhnya merupakan bentuk penekanan akan arti penting kegiatan membaca sehingga tidak membaca buku dinilai oleh Brodsky sebagai sebuah kejahatan.
Membaca—dan juga menulis—seperti yang berkembang di Kompasiana memang harus terus ditumbuhkembangkan. Sebab, energi yang ada dalam kegiatan ini telah terbukti nyata. Sekarang yang menjadin tugas penting selanjutnya adalah bagaimana meradiasikan energi literasi ini menjadi spirit bersama secara lebih luas lagi. Salam.

Ngainun Naim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.