KATA-KATA TERTULIS ITU MEMILIKI
ENERGI
Oleh Ngainun
Naim
Membaca sering menghadirkan kejutan. Banyak hal tak terduga yang muncul. Hal-hal
biasa yang luput perhatian menjadi penting setelah mendapatkan informasi dari
sebuah bacaan. Hidup sehari-hari yang tidak banyak direnungkan ternyata bisa
memiliki khazanah makna yang luar biasa. Kita baru bisa menyadarinya setelah
membaca dan memahami tulisan-tulisan di buku, koran, blog, dan berbagai media
lainnya.
Saya merasakan betul betapa kata-kata
tertulis itu memiliki energi. Dan itu ternyata tidak hanya saya yang
merasakannya. Ada sangat banyak orang yang tergerak, melakukan titik perubahan,
menemukan spirit hidup, bangkit dari keterpurukan, dan menemukan identitas diri
yang baru setelah membaca.
Kesimpulan yang semacam ini mungkin tidak Anda setujui. Tidak apa-apa
karena memang mungkin Anda memiliki pendapat yang berbeda. Tetapi saya meyakininya.
Saya sendiri membuktikan dan merasakan betul energi dari kata-kata yang
tertulis.
Mau buktinya? Tulisan yang sedang Anda baca ini adalah buktinya. Menulis
yang saya lakukan—di Kompasiana saya mulai aktif beberapa minggu
terakhir—dimotivasi oleh kata-kata tertulis dari banyak orang, baik langsung
atau tidak langsung. Kutipan mengenai mengapa harus menulis saya serap
energinya dari banyak penulis besar, seperti Imam Al-Ghazali yang menyatakan, ”Jika kamu bukan anak raja, bukan anak
bangsawan, bukan anak orang terpandang, maka menulislah”, atau kata-kata
Pramoedya Ananta Toer, ”Menulislah.
Jangan pedulikan apapun hasilnya. Teruslah menulis, sebab jika Engkau tidak
menulis maka Engkau akan hilang dari pusaran sejarah”.
Buku-buku tentang menulis yang diracik secara apik oleh para penulis
Indonesia juga memiliki energi besar yang membuat saya terdorong untuk membuat
tulisan demi tulisan. Beberapa nama yang tulisan mereka telah memberikan energi
besar dalam diri saya untuk menulis adalah: Hernowo, M. Fauzil Adhim, Mulyadhi
Kartanegara, Jalaluddin Rakhmat, dan Andrias Harefa. Di luar nama-nama itu,
tentu saja, masih banyak nama-nama lain yang buku-buku mereka telah
’menyuntikkan’ energi menulis yang sangat besar.
Saya menemukan ’sumber energi’
baru setelah bergabung dengan Kompasiana. Luar biasa, ternyata banyak potensi
tersembunyi yang dimiliki oleh para penulis di blog bersama ini. Mereka berbagi
ilmu, menyebarkan virus kebaikan, menularkan spirit kebersamaan, mengajak untuk
menjadi manusia yang lebih baik, dan sering mengajak untuk mempertahankan
menulis sebagai bagian dari cara berbagi. Beberapa nama yang sering saya simak
tulisannya adalah Omjay Wijaya Kusuma, Pak Dosen Moch. Khoiri, Pak Guru Johan
Wahyudi, Om David Hermanu, dan beberapa nama yang lainnya. Tentu saja, di luar
mereka, ada begitu banyak nama lain yang tulisannya juga sering saya baca.
Besarnya energi membaca juga saya abadikan dalam sebuah buku terbaru saya, The Power of Reading. Buku yang terbit
pada bulan Mei lalu tersebut diterbitkan oleh Penerbit Aura Pustaka Yogyakarta.
Sebagai buku baru, buku ini telah dibedah di Kantor Perpustakaan Daerah
Kabupaten Tulungagung. Sebagai pembedah adalah seorang trainer membaca
sekaligus Direktur Taman Bacaan Masyarakat Yogyakarta ”Cakruk Pintar” yang
sekaligus Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Muhsin Kalida, M.A. Melalui
kegiatan ini, saya sekaligus ’berkampanye’ mengenai satu hal: kata-kata tertulis itu memiliki energi.
Membangun tradisi membaca merupakan salah satu kunci penting untuk membuat
masyarakat menjadi maju. Kemajuan tidak bisa diperoleh hanya dengan
adanya teknologi, modal besar, atau pergaulan luas semata. Kunci penting yang
mendasari kemajuan adalah budaya membaca yang kokoh. Oleh karena itu, pada
titik yang paling ekstrim, pernyataan pengarang asal Rusia, Joseph Brodsky,
menjadi menarik untuk disimak. Kata Brodsky, “Ada beberapa kejahatan yang lebih buruk daripada membakar buku. Salah
satunya adalah tidak membaca buku”.
Mungkin kita tidak sepenuhnya sepakat dengan pernyataan ini. Tetapi jika
kita memetik kandungan maknanya, apa yang dikatakan Brodsky ini sesungguhnya
merupakan bentuk penekanan akan arti penting kegiatan membaca sehingga tidak
membaca buku dinilai oleh Brodsky sebagai sebuah kejahatan.
Membaca—dan juga menulis—seperti yang berkembang di Kompasiana memang harus
terus ditumbuhkembangkan. Sebab, energi yang
ada dalam kegiatan ini telah terbukti nyata. Sekarang yang menjadin tugas
penting selanjutnya adalah bagaimana meradiasikan
energi literasi ini menjadi spirit bersama secara lebih luas lagi. Salam.
Ngainun
Naim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.