DERING HP
SAAT SHALAT
Oleh Ngainun
Naim
Wajah
perempuan setengah baya yang duduk di kursi bis sebelah saya terlihat jengkel. Sesekali ia menoleh ke arah suara dari beberapa kursi di
belakangnya. Kemudian bibirnya berkomentar lirih. ”Telpon kok di loudspeaker.
Nggak tahu apa kalau mengganggu orang lain”, gerutunya.
Cukup lama suara perbincangan via HP yang menimbulkan
kejengkelan tersebut. Saya kira tidak hanya dia yang jengkel. Namun reaksi
terhadap kejengkelan tersebut bermacam-macam. Saya sesungguhnya juga jengkel,
tetapi saya berusaha menikmati setiap kondisi yang saya temui. Karena bagi
saya, perjalanan ke tempat kerja dengan bis umum akan menghadapi berbagai
resiko yang beragam, mulai dari penumpang penuh sesak, orang mabuk, bau
menyengat, dan berbagai kemungkinan lainnya, termasuk mendengar suara gaduh HP
yang diloadspeaker.
Tulisan ini ingin menyorot satu fenomena yang sering saya
temui, yaitu HP. HP sekarang ini memang telah menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari kehidupan. Rasanya HP telah menjadi ”candu” sehingga tanpa HP
hidup terasa kurang lengkap. HP ketinggalan saja bingungnya minta ampun,
apalagi kalau sampai hilang.
Memang kemajuan dalam berbagai produk HP menjadikan HP
tidak hanya sekadar sebagai alat komunikasi, tetapi juga berbagai fungsi
lainnya yang kian hari kian canggih. Setiap waktu selalu muncul produk terbaru
yang menawan. Hari ini beli produk terbaru, minggu depan telah keluar produk
yang lebih baru lagi. Begitu seterusnya.
Tetapi tampaknya pemilikan HP tidak diikuti dengan etika penggunaannya. Etika itu—menurut
saya—berlaku dalam segala kondisi, khususnya saat berhadap dengan orang lain.
Jika Anda sedang sendirian, menerima telepon dalam bentuk dan aksi apapun tidak
menjadi masalah. Tetapi jika Anda bersama orang lain, maka ada etika yang harus
Anda perhatikan.
Pertama, saat Anda mengikuti kegiatan yang melibatkan banyak
orang, seperti rapat, mendengarkan ceramah, mengikuti kuliah, dan kegiatan
sejenisnya, lebih baik HP dimatikan. Telepon yang berdering pada saat semacam
ini menganggu suasana. Mematikan HP juga merupakan bagian dari ikhtiar untuk
tidak tergantung sepenuhnya terhadap HP. HP memang penting, tetapi jangan sampai
keberadaannya membuat kita kecanduan dan mengabaikan etika.
Kedua, saat berada di tempat ibadah, seperti di masjid, HP harus
dimatikan. Di berbagai masjid sekarang ini ada tulisan yang tegas, ”HP Harap
Dimatikan”. Tulisan semacam ini, sayangnya tidak selalu dipatuhi. Beberapa kali
saya menemukan kejadian yang mengganggu konsentrasi shalat. Kejadian itu,
kebetulan saya alami sendiri. Bukan dari HP saya, tetapi HP jamaah yang
kebetulan berada persis di samping saya. Saat itu sedang shalat asar. Memasuki
rakaat kedua, dering HP jamaah samping saya berdering. Lagu OPLOSAN dangdut
koplo berdendang secara utuh sampai shalat selesai. Usai shalat dan bersalaman,
saya lihat wajah jamaah tersebut kemerahan karena menahan malu.
Di saat lain, justru imam yang memimpin shalat lupa
mematikan HP-nya. Berkali-kali HP yang diletakkan di depannya berbunyi
mendendangkan sebuah lagu pop. Jelas saja, kondisi ini mengganggu konsentrasi
jamaah yang lainnya.
Tentu pembaca sekalian memiliki ukuran etika sendiri
tentang kapan saat HP harus dimatikan dan kapan harus dibunyikan. Prinsip yang
mendasar, jangan sampai bunyi HP Anda mengganggu aktivitas sosial saat bersama
orang lain. Soal kapan dan bagaimana penerapannya, saya kira pembaca yang lebih
tahu kondisinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.