Jumat, 07 Juni 2013

SYUKUR DAN NIKMAT


Oleh Ngainun Naim

Semua nikmat Allah yang dikaruniakan kepada manusia itu harus selalu disyukuri. Orang yang bijaksana adalah orang yang pandai mensyukuri nikmat Allah. Barangsiapa yang bersyukur kepada Allah, maka sesungguhnya manfaat syukur itu kembali kepada dirinya sendiri. Syukur dan tidaknya manusia atas nikmat Allah itu tidak akan memiliki dampak apapun terhadap dzat Allah. Kalaupun seorang hamba tidak bersyukur, ke-Maha Kuasa-an Allah juga tidak kurang.
Syukur dalam arti yang sebenarnya mencakup tiga hal, yaitu syukur dengan hati (bil qalbi), syukur dengan lisan (bil lisani), dan syukur dengan anggota atau amal (bil jawaarihi, bil a’mal). Syukur dengan hati berarti cinta Allah, ikrar untuk beribadah hanya kepada Allah semata, iman dan yakin bahwa hanya bagi-Nyalah segala sifat kesempurnaan dan keagungan dan hanya Dialah Pemberi Nikmat, Pemberi Rezeki dan tak satupun sesembahan yang haq selain Allah.
Syukur dengan lisan berarti berarti memuji dan dzikir -menyebut dan mengingat- Allah, menahan diri dari ucapan-ucapan yang tidak berguna (omong kosong). Sedangkan syukur dengan anggota atau amal berarti mendayagunakan segenap anggota badan untuk berkhidmat kepada Allah, sesuai dengan perintah dan larangan-Nya (Mahmud Suyuthi, Catatan Kecil Seorang Dai, Dari Nasehat Sampai Syafaat, Cet. 2, (Surabaya: Al-Ihsan, 1995), h. 56).
Jika manusia mau berfikir dan merenung, sesungguhnya hidupnya penuh dengan anugerah dan karunia Allah. Namun banyak manusia yang lalai dan mengabaikan hal ini. Satu ciri khas manusia adalah merasakan arti penting sesuatu ketika sesuatu tersebut hilang.
Kita ambil satu contoh yang sederhana, yaitu sehat. Sehat adalah sebuah karunia yang luar biasa. Sehat adalah sebuah kenikmatan yang luar biasa. Dengan kesehatan, kita bisa melaksanakan berbagai kegiatan secara baik. Namun kebanyakan manusia tidak pernah berfikir dan merenungkan anugerah kesehatan yang diberikan oleh Allah. Kondisi sehat dengan anggap sebagai sesuatu yang wajar dan biasa saja, sehingga tidak perlu untuk disyukuri.
Pentingnya syukur terhadap kesehatan baru dirasakan ketika menderita sakit. Ketika sakit, terbayang bagaimana nikmatnya sehat, karena itu kemudian mulai sadar bahwa sehat itu seharusnya disyukuri. “Kondisi sehat”, kata Athur Schopenhauer, “bukanlah segala-galanya, tetapi tanpa kesehatan, segalanya bukanlah apa-apa”.
Oleh karena itu, banyak orang yang sakit berjanji kepada diri sendiri untuk bersyukur ketika sembuh. Namun, janji tersebut biasanya hanya terucap ketika sakit. Saat sembuh, rasa syukur tersebut tidak terekspresikan sama sekali. Bahkan semuanya dianggap telah selesai. 
Begitulah watak manusia. Oleh karena itu, kepandaian mensyukuri nikmat Allah itu hanya dimiliki oleh orang yang bijaksana. Ada sebuah “rumus nikmat” yang mungkin sudah baku: sebelum nikmat sampai di tangan, dikejar-kejar dengan pelbagai cara. Tapi nikmat yang lama melekat dalam diri semakin lama tak terasa sebagai nikmat. Baru terasa, jika nikmat itu terlepas, kabur tanpa pamit, kembali ke hadirat Pemberi Nikmat, karena tidak kerasan lagi berdomisili dalam kalbu yang gersang dari rasa syukur. Nikmat yang dianggap “kecil” yang telah lama dimiliki dianggap “biasa” bahkan sepele karena ingin menggapai yang dianggap lebih “besar”. Sikap inilah yang pelan-pelan membawa seseorang kepada kufur nikmat, menganggap sepi dan mengingkari nikmat yang ada. Padahal, besar kecilnya nikmat hanyalah persepsi nisbi, sekedar anggapan yang sangat relatif. Dan hanya orang yang bijaksana saja yang mampu menyadari besarnya nikmat yang tiada berujung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.