Oleh Ngainun Naim
Semua nikmat Allah yang dikaruniakan kepada manusia itu harus selalu
disyukuri. Orang yang bijaksana adalah orang yang pandai mensyukuri nikmat
Allah. Barangsiapa yang bersyukur kepada Allah, maka sesungguhnya manfaat
syukur itu kembali kepada dirinya sendiri. Syukur dan tidaknya manusia atas
nikmat Allah itu tidak akan memiliki dampak apapun terhadap dzat Allah.
Kalaupun seorang hamba tidak bersyukur, ke-Maha Kuasa-an Allah juga tidak
kurang.
Syukur dalam arti yang sebenarnya mencakup tiga hal, yaitu syukur dengan
hati (bil qalbi), syukur dengan lisan
(bil lisani), dan syukur dengan
anggota atau amal (bil jawaarihi, bil
a’mal). Syukur dengan hati berarti cinta Allah, ikrar untuk beribadah hanya
kepada Allah semata, iman dan yakin bahwa hanya bagi-Nyalah segala sifat
kesempurnaan dan keagungan dan hanya Dialah Pemberi Nikmat, Pemberi Rezeki dan
tak satupun sesembahan yang haq selain Allah.
Syukur dengan lisan berarti berarti memuji dan dzikir -menyebut dan
mengingat- Allah, menahan diri dari ucapan-ucapan yang tidak berguna (omong
kosong). Sedangkan syukur dengan anggota atau amal berarti mendayagunakan
segenap anggota badan untuk berkhidmat kepada Allah, sesuai dengan perintah dan
larangan-Nya (Mahmud Suyuthi, Catatan
Kecil Seorang Dai, Dari Nasehat Sampai Syafaat, Cet. 2, (Surabaya: Al-Ihsan, 1995), h. 56).
Jika manusia mau berfikir dan merenung, sesungguhnya hidupnya penuh dengan
anugerah dan karunia Allah. Namun banyak manusia yang lalai dan mengabaikan hal
ini. Satu ciri khas manusia adalah merasakan arti penting sesuatu ketika
sesuatu tersebut hilang.
Kita ambil satu contoh yang sederhana, yaitu sehat. Sehat adalah sebuah
karunia yang luar biasa. Sehat adalah sebuah kenikmatan yang luar biasa. Dengan
kesehatan, kita bisa melaksanakan berbagai kegiatan secara baik. Namun
kebanyakan manusia tidak pernah berfikir dan merenungkan anugerah kesehatan
yang diberikan oleh Allah. Kondisi sehat dengan anggap sebagai sesuatu yang
wajar dan biasa saja, sehingga tidak perlu untuk disyukuri.
Pentingnya syukur terhadap kesehatan baru dirasakan ketika menderita sakit.
Ketika sakit, terbayang bagaimana nikmatnya sehat, karena itu kemudian mulai
sadar bahwa sehat itu seharusnya disyukuri. “Kondisi sehat”, kata Athur
Schopenhauer, “bukanlah segala-galanya, tetapi tanpa kesehatan, segalanya
bukanlah apa-apa”.
Oleh karena itu, banyak orang yang sakit berjanji kepada diri sendiri untuk
bersyukur ketika sembuh. Namun, janji tersebut biasanya hanya terucap ketika
sakit. Saat sembuh, rasa syukur tersebut tidak terekspresikan sama sekali.
Bahkan semuanya dianggap telah selesai.
Begitulah
watak manusia. Oleh karena itu, kepandaian mensyukuri nikmat Allah itu hanya
dimiliki oleh orang yang bijaksana. Ada sebuah “rumus nikmat” yang mungkin
sudah baku: sebelum nikmat sampai di tangan, dikejar-kejar dengan pelbagai
cara. Tapi nikmat yang lama melekat dalam diri semakin lama tak terasa sebagai
nikmat. Baru terasa, jika nikmat itu terlepas, kabur tanpa pamit, kembali ke
hadirat Pemberi Nikmat, karena tidak kerasan lagi berdomisili dalam kalbu yang
gersang dari rasa syukur. Nikmat yang dianggap “kecil” yang telah lama dimiliki
dianggap “biasa” bahkan sepele karena ingin menggapai yang dianggap lebih
“besar”. Sikap inilah yang pelan-pelan membawa seseorang kepada kufur nikmat,
menganggap sepi dan mengingkari nikmat yang ada. Padahal, besar kecilnya nikmat
hanyalah persepsi nisbi, sekedar anggapan yang sangat relatif. Dan hanya orang
yang bijaksana saja yang mampu menyadari besarnya nikmat yang tiada berujung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.