Oleh Ngainun Naim
Tulisan ini saya buat sekitar 2 tahun lalu. Juga pernah saya up load di FB. Secara tidak sengaja, tadi malam saya
membuka file-file tulisan lama dan menemukan tulisan ini. Saya baca secara
cermat tulisan ini. Saya perbaiki beberapa bagian yang kurang relevan. Demi
kepentingan berbagi, saya suguhkan kembali kepada pembaca sekalian, dan semoga
ada manfaatnya.
-----
Apa yang ada dalam benak Anda saat membaca judul di atas? Mungkin Anda
langsung senyum, atau bahkan ngguyu. Kalimat
di atas memang kurang umum, sebab yang umumnya kita kenal adalah ”urip mung
mampir ngombe”. Kalimat ini biasanya sering kita dengar dalam forum-forum
pengajian, atau perbincangan sehari-hari dalam masyarakat. Menurut saya,
kalimat ”urip mung mampir ngombe” sarat dengan kandungan filosofis dan kearifan
hidup. Beberapa hal yang dapat ditarik sebagai pelajaran adalah: pertama, hidup manusia di dunia ini
sesungguhnya singkat. Tidak ada kehidupan yang abadi. Semuanya pasti akan
berakhir. Perjalanan waktu berjalan begitu singkat. Coba Anda renungkan
perjalanan hidup Anda: segalanya ternyata berjalan begitu cepat. Rasanya baru
kemarin, ternyata sekarang sudah jadi orang tua. Rasanya belum terlalu lama
menikah, ternyata anak-anak sudah besar. Rasanya baru kemarin tamat SMA, kok
ternyata sudah lama sekali. Ya, ”rasanya baru kemarin” adalah refleksi cepatnya
kehidupan berjalan–yang kadang—tanpa kita sadari.
Kedua, karena hidup itu singkat maka harus dimanfaatkan dengan
sebaik-baiknya. Waktu itu sedemikian berharga. Ia tidak terbeli, tidak
terulang, dan terus berjalan. Maka, seharusnya waktu yang ada dipergunakan
sebaik-baiknya untuk hal-hal positif dalam hidup ini. Filosofi signifikansi
waktu inilah yang kemudian melahirkan berbagai kata bijak, seperti ”Time is
money=waktu adalah uang”, ”Al-waktu kas-Syaif=waktu ibarat pedang”, dan
sebagainya. Pentingnya waktu ini biasanya akan terasa pada saat tertentu.
Misalnya, saat keberangkatan pesawat terbang, saat mengerjakan ujian, dan
saat-saat penting lainnya. Sementara di saat yang lain, waktu seolah tidak
banyak artinya.
Pentingnya waktu ini mengingatkan saya pada banyak kisah heroik orang-orang
sukses. Saya pernah membaca pengantar panjang dari kumpulan resensi buku Jihad Ilmiah: Dari Termas Menuju Harvard
yang merupakan buku karya Prof. Kyai Yudian W. Asmin, Ph.D. Dalam pengantar
buku kumpulan resensi tersebut Prof. Yudian menyatakan bahwa kesuksesan yang
diraihnya sekarang ini adalah buah kerja kerasnya selama bertahun-tahun. Ia
melakukan itu semua karena memegang filosofi ”Selamat Datang Kematian”.
Filosofi tersebut ditanamkan pada dirinya bahwa sebelum kematian menjemput, ia
akan memanfaatkan waktu yang ada sebaik-baiknya untuk pengembangan ilmu.
Tentu banyak lagi kisah-kisah heroik mengenai pemanfaatan waktu ini.
Kisah-kisah kiai besar yang saat belajar di pesantren belajar keras hingga
teman-temannya tidak mengetahui bagaimana ia belajar, atau kisah pengusaha
sukses yang memanfaatkan waktunya sedetail mungkin, dan sebagainya. Semua itu
menunjukkan bahwa waktu itu harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
Ketiga, perubahan itu merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan.walaupun
hidup ini ibarat ”mampir ngombe”, tetapi kata ”ngombe” itu sendiri tidak hanya
bermakna sebagai aktivitas fisik. Ia, menurut saya, lebih sebagai simbol yang
sarat kandungan filosofis. Setelah minum—dalam makna simbolik—kita tidak akan
mengalami kehausan atau dehidrasi. Energi hidup kita bertambah. Karena itu,
”ngombe” sesungguhnya adalah sesuatu yang bisa memberi nilai lebih pada diri
kita; bisa lewat belajar, menyerap kearifan hidup, menggali potensi diri, dan
sebagainya.
Lalu bagaimana dengan ”urip mung mampir ngguyu?”. Kalimat ini ternyata
bukan hanya guyonan. Kalimat ini serius sebagaimana kalimat ”urip mung mampir
ngombe”. Di dalamnya juga terkandung makna filosofis mendalam. Saya mendengar
kalimat ini saat menonton acara Satu Jam
Lebih Dekat dengan Butet Kertarajasa di TV One pada Rabo malam (23/6/2011)
jam 11 hingga 12 malam. Di akhir sesi, saat Indriarto Priadi—pembawa
acara—bertanya kepada menantu Butet mengenai apa yang khas dari keluarga
mertuanya, dijawab bahwa filosofi hidup keluarga mertuanya adalah ”urip mung
mampir ngguyu”.
Saya tersentak, kaget, lalu tersenyum. Bagi saya, ini merupakan filosofi
yang menarik dan berani. Setidaknya ada beberapa hal yang dapat dipetik. Pertama, filosofi itu mengajarkan
bagaimana menghadapi hidup selalu penuh dengan keceriaan. Semua orang yang
hidup pasti akan menghadapi masalah. Jangan pernah mimpi hidup ini tidak punya
masalah. Hanya orang yang telah mati saja yang tidak punya masalah—setidaknya
dalam pandangan kita yang hidup. Justru karena ada masalah itulah hidup kita
tumbuh dan berkembang. Kemampuan menghadapi masalah dan menyelesaikannya
merupakan cermin eksistensi diri kita. Kalau kita mampu memecahkan setiap
masalah, sesungguhnya kita sudah belajar banyak hal. Nah, cara menghadapi
masalah dengan penuh keceriaan, alias dengan ”ngguyu” itulah yang menjadikan
masalah seberat apa pun dapat dihadapi dengan ringan.
Kedua, filosofi tersebut dapat dimaknai sebagai counter terhadap gaya hidup manusia
sekarang ini yang sarat dengan kompetisi, intrik, dan selalu penuh ketegangan.
Maka, kita menyaksikan betapa terasa semakin beratnya hidup sekarang ini.
Jumlah orang stress meningkat tajam. Demikian juga dengan orang yang bunuh
diri, melakukan kejahatan, mengkonsumsi narkoba, dugem, dan sebagainya. Semua
itu cermin semakin banyak orang yang kehilangan selera humor dalam menghadapi
hidup.
Ketiga, hidup ini harus dijalani dengan ”mentertawakan” segala
hal, termasuk diri kita sendiri. ”Mentertawakan” merupakan upaya kritik diri,
koreksi, dan evaluasi terhadap apa pun yang kita lakukan. Satu hal yang paling
mudah dalam hidup ini: menyalahkan orang
lain, dan yang sulit adalah mengakui
diri salah. Filosofi keluarga Butet tersebut dapat dijadikan sebagai
momentum ”mentertawakan” dalam maknanya yang luas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.