Sabtu, 08 Juni 2013

KESADARAN EKOLOGIS

Bagian Pertama
Oleh Ngainun Naim


Saban sore, selama musim hujan, seseorang memindahkan surga dari langit ke kampung kami—Andrea Hirata, Novel Padang Bulan

Musim hujan menjadi musim yang banyak ditunggu. Kemarau yang panas mengentak menjadi sejuk penuh kedamaian dan asa begitu hujan turun mengguyur bumi. Ada kegembiraan, kesejukan, dan harapan yang dirasakan oleh warga masyarakat yang menanti datangnya air hujan.
Rasa yang penuh dengan nada optimis menjelang musim hujan perlahan namun pasti mulai berkurang. Kini, rasa yang muncul adalah kekawatiran. Hujan lebih sering datang dengan ancaman. Apalagi sepanjang tahun nyaris hujan tiada henti. Hujan tidak hanya identik dengan keberkahan, tetapi juga identik dengan bencana. Banjir, tanah longsor, pohon-pohon tumbang, air sungai meluap, tanggul jebol, dan berbagai kerusakan lain menjadi bagian lain dari musim hujan. Fenomena semacam ini baru terjadi secara massal dalam beberapa tahun terakhir.
Dulu, ketika kondisi alam masih belum banyak dirusak, hutan belum dijarah, gunung-gunung belum dieksploitasi secara liar tanah dan batunya, segala sesuatunya berlangsung dengan baik. Tetapi kini, ketika kerusakan ekologis sudah sedemikian parah, semua merasakan dampaknya. Banyak warga yang harus kehilangan rumah dan sanak keluarganya. Padahal, belum tentu mereka sebagai pelaku perusakan lingkungan. Bencana memang tidak mengenal kasta, agama, status sosial, dan segala bentuk perbedaan lainnya.
Realitas semacam ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Jika terus saja kerusakan demi kerusakan dibiarkan tanpa langkah pencegahan, kehidupan akan selalu berada dalam ancaman. Oleh karena itu, perlu dipikirkan langkah-langkah serius, strategis, sistematis, dan berkelanjutan agar kerusakan dapat diminimalisir.
Langkah mendasar yang harus segera dilakukan adalah dengan menghijaukan bumi sekarang juga. Tidak ada tawaran atau pilihan lain. Hanya dengan menanam pohon-pohonan, menjaga dan merawatnya, bumi akan kembali hijau. Implikasi lebih jauhnya, keseimbangan ekologis akan mampu tercipta kembali. Kerusakan lingkungan sekarang ini terjadi karena hutan dan berbagai pepohonan hancur dibabat habis tanpa mengindahkan ekses destruktifnya.
Secara lebih terperinci, ada beberapa langkah mendasar yang dapat dilakukan dalam menerjemahkan gagasan tentang menghijaukan bumi di atas. Pertama, kebijakan yang mendukung. Pemerintah harus membuat aturan yang tegas tentang pentingnya menjaga keseimbangan ekologis. Aturan ini juga harus dilaksanakan secara konsisten. Jangan sampai aturannya sudah dibuat secara tegas, tetapi implementasinya kosong, sebab terjadi kongkalikong antara penegak hukum dengan para pelanggarnya. Oleh karena itu, peraturan yang dibuat harus dikawal oleh seluruh elemen masyarakat. Dengan demikian, peraturan ini akan menjadi faktor mendasar bagi terciptanya kembali keseimbangan ekologis.
Kedua, kurikulum. Sekolah menjadi tempat persemaian gagasan, wawasan, pengetahuan, dan kesadaran para peserta didik akan segala bentuk pengetahuan. Lewat bangku sekolah, setiap siswa akan membangun idealisasi dan mimpi-mimpi hidupnya. Ketika seseorang duduk dalam bangku sekolah, ada begitu banyak hal yang terinternalisasi dalam pemikiran dan kesadarannya. Dalam konteks pelestarian lingkungan, sekolah menjadi media paling efektif untuk membangun kesadaran akan makna penting lingkungan. Kesadaran ekologis ini akan lebih kokoh manakala didesain dalam kurikulum secara sistematis. Dengan kurikulum yang berwawasan lingkungan diharapkan akan tumbuh pemahaman dan pemaknaan terhadap lingkungan hidup seiring perjalanan pendidikannya. Secara implementatif, tidak harus ada pelajaran khusus tentang lingkungan, tetapi mata pelajaran yang ada dapat dikontekskan dengan persoalan lingkungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.