Bagian Pertama
Oleh Ngainun Naim
Saban sore, selama musim
hujan, seseorang memindahkan surga dari langit ke kampung kami—Andrea Hirata, Novel
Padang Bulan
Musim hujan menjadi musim yang
banyak ditunggu. Kemarau yang panas mengentak menjadi sejuk penuh kedamaian dan
asa begitu hujan turun mengguyur bumi. Ada kegembiraan, kesejukan, dan harapan yang
dirasakan oleh warga masyarakat yang menanti datangnya air hujan.
Rasa yang penuh dengan nada
optimis menjelang musim hujan perlahan namun pasti mulai berkurang. Kini, rasa
yang muncul adalah kekawatiran. Hujan lebih sering datang dengan ancaman. Apalagi
sepanjang tahun nyaris hujan tiada henti. Hujan tidak hanya identik dengan
keberkahan, tetapi juga identik dengan bencana. Banjir, tanah longsor,
pohon-pohon tumbang, air sungai meluap, tanggul jebol, dan berbagai kerusakan
lain menjadi bagian lain dari musim hujan. Fenomena semacam ini baru terjadi
secara massal dalam beberapa tahun terakhir.
Dulu, ketika kondisi alam masih
belum banyak dirusak, hutan belum dijarah, gunung-gunung belum dieksploitasi
secara liar tanah dan batunya, segala sesuatunya berlangsung dengan baik.
Tetapi kini, ketika kerusakan ekologis sudah sedemikian parah, semua merasakan
dampaknya. Banyak warga yang harus kehilangan rumah dan sanak keluarganya.
Padahal, belum tentu mereka sebagai pelaku perusakan lingkungan. Bencana memang
tidak mengenal kasta, agama, status sosial, dan segala bentuk perbedaan
lainnya.
Realitas semacam ini tidak
bisa dibiarkan begitu saja. Jika terus saja kerusakan demi kerusakan dibiarkan
tanpa langkah pencegahan, kehidupan akan selalu berada dalam ancaman. Oleh
karena itu, perlu dipikirkan langkah-langkah serius, strategis, sistematis, dan
berkelanjutan agar kerusakan dapat diminimalisir.
Langkah mendasar yang harus
segera dilakukan adalah dengan menghijaukan bumi sekarang juga. Tidak ada tawaran
atau pilihan lain. Hanya dengan menanam pohon-pohonan, menjaga dan merawatnya,
bumi akan kembali hijau. Implikasi lebih jauhnya, keseimbangan ekologis akan
mampu tercipta kembali. Kerusakan lingkungan sekarang ini terjadi karena hutan
dan berbagai pepohonan hancur dibabat habis tanpa mengindahkan ekses destruktifnya.
Secara lebih terperinci, ada
beberapa langkah mendasar yang dapat dilakukan dalam menerjemahkan gagasan
tentang menghijaukan bumi di atas. Pertama, kebijakan yang mendukung.
Pemerintah harus membuat aturan yang tegas tentang pentingnya menjaga
keseimbangan ekologis. Aturan ini juga harus dilaksanakan secara konsisten.
Jangan sampai aturannya sudah dibuat secara tegas, tetapi implementasinya
kosong, sebab terjadi kongkalikong antara penegak hukum dengan para
pelanggarnya. Oleh karena itu, peraturan yang dibuat harus dikawal oleh seluruh
elemen masyarakat. Dengan demikian, peraturan ini akan menjadi faktor mendasar
bagi terciptanya kembali keseimbangan ekologis.
Kedua,
kurikulum.
Sekolah menjadi tempat persemaian gagasan, wawasan, pengetahuan, dan kesadaran
para peserta didik akan segala bentuk pengetahuan. Lewat bangku sekolah, setiap
siswa akan membangun idealisasi dan mimpi-mimpi hidupnya. Ketika seseorang
duduk dalam bangku sekolah, ada begitu banyak hal yang terinternalisasi dalam
pemikiran dan kesadarannya. Dalam konteks pelestarian lingkungan, sekolah
menjadi media paling efektif untuk membangun kesadaran akan makna penting
lingkungan. Kesadaran ekologis ini akan lebih kokoh manakala didesain dalam
kurikulum secara sistematis. Dengan kurikulum yang berwawasan lingkungan
diharapkan akan tumbuh pemahaman dan pemaknaan terhadap lingkungan hidup
seiring perjalanan pendidikannya. Secara implementatif, tidak harus ada
pelajaran khusus tentang lingkungan, tetapi mata pelajaran yang ada dapat
dikontekskan dengan persoalan lingkungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.