Oleh Ngainun Naim
Saya tinggal di
sebuah desa yang dinamis. Masyarakatnya memiliki pluralitas yang cukup lumayan,
khususnya dalam dinamika sosial, politik, dan keagamaan. Pernah juga terjadi
riak kecil pada era reformasi, tetapi itu hal biasa yang juga dialami oleh
banyak desa lainnya di seluruh nusantara.
Saya tidak akan
mengulas tentang kondisi desa secara keseluruhan, tetapi satu aspek saja, yaitu
tentang ”nasi berkat”. Ya, saya orang yang dibesarkan dalam kultur Islam
tradisional. Sampai saat ini pun tetap setia dalam kultur ini, walaupun
pemikiran dan latar belakang pendidikan membuat saya memandang tradisi dengan
perspektif yang lebih kritis.
Hidup di desa itu
memiliki dinamika yang unik. Salah satu yang khas adalah tradisi slametan. Nyaris
setiap minggu ada saja tetangga yang memiliki hajat. Sebenarnya saya tidak
terlalu sering berada di rumah. Tempat kerja yang cukup jauh plus berbagai
kegiatan lain menjadikan saya sering sampai rumah selepas magrib atau selepas
isyak. Tetapi tetangga yang punya hajat selalu menitipkan ’nasi berkat’ jika
acaranya waktu asyar.
Tentu saja, ini
merupakan sebuah kehormatan sekaligus keberkahan tersendiri. Menurut
pengalaman, nasi berkat itu rasanya lebih nikmat. Istri pernah bertanya mengapa
rasa nasi berkat itu terasa lebih nikmat dibandingkan dengan nasi yang dimasak
di rumah atau di warung-warung? Saya menjawab dengan asal-asalan bahwa karena
doa yang dipanjatkan yang membuat nasi berkat memiliki rasa jauh lebih nikmat.
Saya mencoba
mencari jawaban yang lebih ilmiah terkait fenomena nasi berkat ini. Dan secara
kebetulan, saya menemukan tulisan Syamsul Ma’arif dengan judul ”Belajar, Hidup,
dan Berislam di Amerika”, yang termuat dalam buku Berguru ke Kiai Bule, Serba-Serbi Kehidupan Santri di Barat terbitan
Noura Books tahun 2013. Pada halaman 173, Ma’arif menulis:
”Menyajikan dan menyantap makanan di acara pengajian bukanlah semata
aktivitas sekular, tetapi juga religius. Sekalipun ingredient-nya mungkin sama, fungsi makanan di pengajian berbeda
dengan makanan di warung-warung, restoran-restoran atau makanan yang dimakan
setiap harinya. Manfaat makanan di pengajian [dan juga slametan—Naim] tidak
hanya mengenyangkan, tetapi juga menawarkan kepuasan batin karena terdapatnya
elemen budaya dan agama yang menempel padanya. Bagi aku dan peserta pengajian,
menghadiri pengajian adalah ibadah dan segala aktivitas selama pengajian adalah
ibadah: menyajikan dan menyantap makanan adalah ibadah”.
Penjelasan
Ma’arif ini menyadarkan saya akan dimensi nasi berkat. Karena itu, nasi berkat
selalu dirindukan. Seorang teman yang tinggal di perumahan pernah bercerita
betapa ia merindukan suasana slametan plus nasi berkatnya karena hal itu tidak
lagi ia temukan di tempat tinggalnya sekarang. Jadi, hidup ’nasi berkat’. Salam [Trenggalek, 15/5/2013].
istilah serupa juga dikenal di desa saya, payaman magelang jawa tengah. ya nasi berkat.
BalasHapusorangtua yg dpt undangan selametan sering pamit ke anak-anaknya 'nak, bapak mau ngoyak bajing' (nak, ayah mau mengejar bajing/tupai). istilah ngoyak bajing dulu sering disampaikan bapak saat mau menghadiri selametan itu.
nah, pekan lalu saya praktekkan ke anak saya saat mau menghadiri undangan selametan kelahiran anak tetangga.
sontak, luqman, anak kedua saya, penasaran. dia tidak mau ditinggal. maunya ikut.
"Bi, bajinge diplintheng po ditembak?"
"Engko nek wis mati ketembak njuk digodog po dibakar?"
"nek wis dimasak njuk dipangan bareng-bareng yo?"
tiga pertanyaan anak saya itu membuat dia harus ikut. pokoke melu.
sesampai di rumah yg punya hajat dia tanya "banjinge sing digolek'i ndi?"
saya diam tidak bisa menjawab. dan memang tidak punya jawaban.
akhirnya dia tertidur di tengah reriuhan para undangan yang membaca shalawat barjanji.
akhirnya, karena Luqman dibangunkan tidak mau bangun ya pulang ke rumah harus nggendong...
padahal jarak ke rumah sekira 200 meter. lumayan...
Pengalaman yang menarik dan makin memperkaya tulisanku. Bahkan ceritamu lebih kaya dari yang aku tulis. Terima kasih komentarnya dan semoga kamu selalu sukses. Salam juga buat Fatan dan Luqman.
BalasHapus