Oleh Ngainun Naim
Barangkali tidak ada kata yang memiliki sketsa dan hamparan makna semenarik
kata cinta. Ia ada, hadir dan menghiasi semesta ruang kesadaran dan
kemanusiaan. Dengan cinta, hidup akan terasa lebih kaya dan penuh makna. Sebaliknya,
tanpa cinta, hidup akan hampa dan penuh dengan angkara murka.
Cinta memang menjadi bagian tidak terpisah dari eksistensi hidup manusia.
Tanpa cinta, hidup akan terasa hampa. Begitu banyak kisah tragis yang hadir
karena putus cinta. Padahal sesungguhnya putus cinta bukan akhir segalanya.
Cinta menjadi tema pembahasan pada (hampir) semua bidang. Dunia tasawuf,
misalnya, mengabadikan nama Rabiah al-Adawiyah sebagai seorang sufi bermadzhab
cinta (mahabbah). Bagi Rabiah, cinta
melampaui tujuan material dan eskatologis dari ibadah.
Dunia psikoanalisa juga menjadikan tema cinta sebagai salah satu bahan
kajian yang menarik. Erich
Fromm, seorang psikoanalisis terkenal, bahkan menulis satu buku khusus tentang
cinta bertajuk Seni Mencinta. Buku
ini mengulas tentang keragaman makna cinta. Di mata Fromm, cinta memiliki
artikulasi makna yang sangat luas. Ia termanifestasi dalam beragam formulasi;
positif maupun negatif.
Walaupun tidak menjadikan cinta sebagai fokus kajian, tetapi Paulo Freire
memposisikan cinta sebagai salah satu prasyarat bagi keberhasilan konsepsi
pendidikannya. Freire yang terkenal dengan konsepnya tentang pendidikan
pembebasan menyatakan bahwa dialog menjadi dimensi substansial dalam mewujudkan
pendidikan yang membebaskan. Karena dialog memiliki tujuan kreatif, maka
dibutuhkan cinta yang membangkitkan orang lain untuk bertindak bebas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.