Jumat, 17 Mei 2013

MENGGAPAI CINTA TRANSENDENTAL [1]


Oleh Ngainun Naim

Barangkali tidak ada kata yang memiliki sketsa dan hamparan makna semenarik kata cinta. Ia ada, hadir dan menghiasi semesta ruang kesadaran dan kemanusiaan. Dengan cinta, hidup akan terasa lebih kaya dan penuh makna. Sebaliknya, tanpa cinta, hidup akan hampa dan penuh dengan angkara murka.
Cinta memang menjadi bagian tidak terpisah dari eksistensi hidup manusia. Tanpa cinta, hidup akan terasa hampa. Begitu banyak kisah tragis yang hadir karena putus cinta. Padahal sesungguhnya putus cinta bukan akhir segalanya.
Cinta menjadi tema pembahasan pada (hampir) semua bidang. Dunia tasawuf, misalnya, mengabadikan nama Rabiah al-Adawiyah sebagai seorang sufi bermadzhab cinta (mahabbah). Bagi Rabiah, cinta melampaui tujuan material dan eskatologis dari ibadah.
Dunia psikoanalisa juga menjadikan tema cinta sebagai salah satu bahan kajian yang menarik. Erich Fromm, seorang psikoanalisis terkenal, bahkan menulis satu buku khusus tentang cinta bertajuk Seni Mencinta. Buku ini mengulas tentang keragaman makna cinta. Di mata Fromm, cinta memiliki artikulasi makna yang sangat luas. Ia termanifestasi dalam beragam formulasi; positif maupun negatif.
Walaupun tidak menjadikan cinta sebagai fokus kajian, tetapi Paulo Freire memposisikan cinta sebagai salah satu prasyarat bagi keberhasilan konsepsi pendidikannya. Freire yang terkenal dengan konsepnya tentang pendidikan pembebasan menyatakan bahwa dialog menjadi dimensi substansial dalam mewujudkan pendidikan yang membebaskan. Karena dialog memiliki tujuan kreatif, maka dibutuhkan cinta yang membangkitkan orang lain untuk bertindak bebas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.