Bagian Kedua
Oleh Ngainun
Naim
Manusia berakhlak mulia adalah manusia yang selalu
berusaha memperbaiki dirinya sebagai individu, sebagai bagian dari kehidupan
sosial kemasyarakatan, sebagai makhluk
beragama, dan dalam interaksinya dengan alam. Hal ini menunjukkan bahwa tidak
ada manusia yang sempurna. Semua manusia pada dasarnya merupakan makhluk yang
berproses menjadi manusia yang berakhlak mulia.
Oleh karena itu, akhlak mulia yang telah terbentuk
seyogyanya dijaga dan dikembangkan ke arah yang selalu berada dalam bingkai
positif. Godaan sangat mungkin membelokkan arah karakter yang tertanam lama.
Jika ini yang terjadi, seseorang akan cepat merubah jalan dan orientasi
hidupnya menuju ke arah kebaikan.
Orang yang bergeser jalan dan orientasi hidupnya sangat
banyak. Dalam masyarakat ada ungkapan, ”Lebih baik bekas penjahat daripada
bekas kiai”. Ungkapan ini kelihatannya
sederhana dan terkesan guyonan, tetapi sesungguhnya mengandung filosofi yang
cukup mendalam. Kata ”bekas penjahat” sebenarnya merupakan bentuk kilas balik
kehidupan seseorang dari perilaku yang jahat menjadi perilaku yang baik.
Sementara ”bekas kiai” maknanya adalah berubahnya orientasi dan kiblat
seseorang dari kebaikan menjadi kejahatan.
Sebuah ungkapan tidak lahir dari ruang kosong. Ia muncul
sebagai refleksi dari kehidupan yang sesungguhnya. Demikian juga dengan
ungkapan di atas. Perubahan orientasi hidup, dari baik menjadi jahat atau dari
jahat menjadi baik, bukan mustahil untuk terjadi. Orang jahat menjadi baik
tentu menjadi harapan semua orang. Tetapi orang baik yang menjadi jahat adalah
fenomena yang seyogyanya dihindari. Dalam kerangka inilah, peran berbagai pihak
sangat diharapkan.
Orang yang menjadi jahat sesungguhnya membangun ’jalan
gelap’ dalam kehidupannya sendiri. ’Jalan gelap’ tersebut tidak hanya bermakna
masuk dalam kultur kejahatan, tetapi juga menutup pintu bagi kesuksesan dalam
hidup. Mungkin saja dalam kultur kejahatan tersebut ia sukses, tetapi suksesnya
diperoleh dengan jalan yang bertentangan dengan moralitas dan aturan
legal-formal. Dan itu berarti kesuksesannya hanyalah sementara. Sewaktu-waktu
kesuksesannya akan lenyap seiring perjalan waktu.
Dalam kaitannya dengan kesuksesan hidup, karakter tetap
menempati posisi yang penting. Sebuah penelitian mengenai berbagai faktor
sukses kehidupan yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan bahwa faktor IQ
yang tinggi menempati urutan sukses yang ke 21, sementara masuk sekolah top
berada pada urutan ke 23, dan lulus dengan nilai sangat baik atau cum laude berada pada urutan ke 30.
Sementara justru hal-hal yang berkaitan dengan karakter berada pada urutan
awal. Urutan faktor-faktor sukses tersebut adalah: (1) bersikap jujur kepada
semua orang; (2) mempunyai disiplin yang baik; (3) pintar bergaul; (4) bekerja
lebih keras; (5) memiliki semangat/kepribadian yang sangat kompetitif; (6)
memiliki kualitas kepemimpinan yang baik dan kuat; (7) mengatur hidup dengan
sangat baik; (8) memiliki kemampuan untuk menjual ide atau produk; (9) melihat
peluang yang tidak dilihat oleh orang lain; dan (10) berani mengambil resiko
keuangan bila memberikan hasil yang lebih baik.
Menyimak sepuluh urutan penentu sukses ini dapat diambil
sebuah kesimpulan bahwa aspek yang berkaitan dengan akhlak justru yang menjadi
penentu keberhasilan hidup. Sayangnya, sebagian besar masyarakat kita kurang
menyadari terhadap hal ini. Mereka lebih mengejar hal-hal yang dalam
kenyataannya justru kurang signifikan dalam menentukan keberhasilan hidup.
Aspek
yang berkaitan dengan akhlak memang terlihat abstrak.
Tetapi sesungguhnya ia menjadi bagian yang erat dan lekat dengan kehidupan. Ia
selalu hadir dalam setiap gerak kehidupan. Jujur, sabar, dan beberapa nilai
lainnya tersebut cukup mudah dievaluasi dalam konteks kehidupan seseorang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.