Senin, 27 Mei 2013

MENJADI MANUSIA YANG BERAKHLAK KARIMAH


Bagian Kedua
Oleh Ngainun Naim

Manusia berakhlak mulia adalah manusia yang selalu berusaha memperbaiki dirinya sebagai individu, sebagai bagian dari kehidupan sosial kemasyarakatan,  sebagai makhluk beragama, dan dalam interaksinya dengan alam. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Semua manusia pada dasarnya merupakan makhluk yang berproses menjadi manusia yang berakhlak mulia.
Oleh karena itu, akhlak mulia yang telah terbentuk seyogyanya dijaga dan dikembangkan ke arah yang selalu berada dalam bingkai positif. Godaan sangat mungkin membelokkan arah karakter yang tertanam lama. Jika ini yang terjadi, seseorang akan cepat merubah jalan dan orientasi hidupnya menuju ke arah kebaikan.
Orang yang bergeser jalan dan orientasi hidupnya sangat banyak. Dalam masyarakat ada ungkapan, ”Lebih baik bekas penjahat daripada bekas kiai”.  Ungkapan ini kelihatannya sederhana dan terkesan guyonan, tetapi sesungguhnya mengandung filosofi yang cukup mendalam. Kata ”bekas penjahat” sebenarnya merupakan bentuk kilas balik kehidupan seseorang dari perilaku yang jahat menjadi perilaku yang baik. Sementara ”bekas kiai” maknanya adalah berubahnya orientasi dan kiblat seseorang dari kebaikan menjadi kejahatan.
Sebuah ungkapan tidak lahir dari ruang kosong. Ia muncul sebagai refleksi dari kehidupan yang sesungguhnya. Demikian juga dengan ungkapan di atas. Perubahan orientasi hidup, dari baik menjadi jahat atau dari jahat menjadi baik, bukan mustahil untuk terjadi. Orang jahat menjadi baik tentu menjadi harapan semua orang. Tetapi orang baik yang menjadi jahat adalah fenomena yang seyogyanya dihindari. Dalam kerangka inilah, peran berbagai pihak sangat diharapkan.
Orang yang menjadi jahat sesungguhnya membangun ’jalan gelap’ dalam kehidupannya sendiri. ’Jalan gelap’ tersebut tidak hanya bermakna masuk dalam kultur kejahatan, tetapi juga menutup pintu bagi kesuksesan dalam hidup. Mungkin saja dalam kultur kejahatan tersebut ia sukses, tetapi suksesnya diperoleh dengan jalan yang bertentangan dengan moralitas dan aturan legal-formal. Dan itu berarti kesuksesannya hanyalah sementara. Sewaktu-waktu kesuksesannya akan lenyap seiring perjalan waktu.
Dalam kaitannya dengan kesuksesan hidup, karakter tetap menempati posisi yang penting. Sebuah penelitian mengenai berbagai faktor sukses kehidupan yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan bahwa faktor IQ yang tinggi menempati urutan sukses yang ke 21, sementara masuk sekolah top berada pada urutan ke 23, dan lulus dengan nilai sangat baik atau cum laude berada pada urutan ke 30. Sementara justru hal-hal yang berkaitan dengan karakter berada pada urutan awal. Urutan faktor-faktor sukses tersebut adalah: (1) bersikap jujur kepada semua orang; (2) mempunyai disiplin yang baik; (3) pintar bergaul; (4) bekerja lebih keras; (5) memiliki semangat/kepribadian yang sangat kompetitif; (6) memiliki kualitas kepemimpinan yang baik dan kuat; (7) mengatur hidup dengan sangat baik; (8) memiliki kemampuan untuk menjual ide atau produk; (9) melihat peluang yang tidak dilihat oleh orang lain; dan (10) berani mengambil resiko keuangan bila memberikan hasil yang lebih baik.
Menyimak sepuluh urutan penentu sukses ini dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa aspek yang berkaitan dengan akhlak justru yang menjadi penentu keberhasilan hidup. Sayangnya, sebagian besar masyarakat kita kurang menyadari terhadap hal ini. Mereka lebih mengejar hal-hal yang dalam kenyataannya justru kurang signifikan dalam menentukan keberhasilan hidup. 
Aspek yang berkaitan dengan akhlak memang terlihat abstrak. Tetapi sesungguhnya ia menjadi bagian yang erat dan lekat dengan kehidupan. Ia selalu hadir dalam setiap gerak kehidupan. Jujur, sabar, dan beberapa nilai lainnya tersebut cukup mudah dievaluasi dalam konteks kehidupan seseorang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.