Bagian
pertama
Oleh Ngainun
Naim
Meyakini kebenaran itu penting. Makna penting manusia sebagai makhluk
rasional terletak pada keyakinannya akan kebenaran. Namun satu hal yang
seharusnya dipahami bersama, kebenaran yang diperoleh manusia itu sifatnya
tidak absolut. Dalam bahasa Nurcholish Madjid, kebenaran yang dicapai manusia
adalah ”kebenaran relatif”. Kebenaran semacam ini mengindikasikan bahwa manusia
tidak bisa mengklaim kebenaran yang diperolehnya sebagai kebenaran final.
Selain itu, manusia harus membuka diri dan kesadarannya akan adanya kemungkinan
kebenaran yang lain.
Prof. Bernard Adeney-Risakotta, Ph.D dalam makalahnya untuk Seminar
Internasional yang digelar STAIN Tulungagung pada 20 November 2010”, yang
berjudul ”Tolerance and Intolerance: Rethinking Interfaith Relations in
Indonesia” menguraikan secara apik mengenai bagaimana kebenaran yang diperoleh
manusia itu sifatnya relatif. Prof. Berney mengambil contoh mengenai bagaimana
mahasiswanya di Program Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) yang
berasal dari Timur Tengah yang selalu berbicara atas nama Islam. Setiap
berbicara ia selalu memulainya dengan ”Menurut Islam..”. Pandangan semacam ini,
tentu saja, tidak selalu disetujui oleh mahasiswa ICRS lain yang kebetulan juga
beragama Islam. Maka, diskusi demi diskusi pun berlanjut. Pada akhirnya,
mahasiswa dari Timur Tengah tersebut memahami perspektifnya dan merubah
kalimatnya secara lebih arif menjadi, ”Menurut Islam yang saya pahami...”.
Kisah Pak Berney memberikan pembelajaran penting mengenai bagaimana merubah
perspektif yang dilakukan penuh kearifan. Merubah pandangan orang itu tidak
mudah. Perubahan pandangan dapat terjadi melalui dialog yang intensif, tanpa
kebencian, setara, dan tidak meremehkan pihak yang lain. Ada kesadaran dan
kebersamaan serta menghargai satu sama lain. Pada titik inilah, pencerahan
dapat terjadi. Pencerahan itu bukan soal klaim, tetapi soal keterbukaan hati
untuk menerima. Dan ini tidak akan terjadi kalau landasannya adalah, meminjam
terminologi Kuntowijoyo, ”nalar yang dibungkus ego”
Dialog sendiri, mengikuti perspektif cendekiawan Muslim Nurcholish Madjid
dalam bukunya Islam, Kemodernan, dan
Keindonesiaan, harus dilakukan dengan penuh kesadaran. Jika ada emosi,
entah karena satu pihak memancing emosi dan pihak lain juga terpancing emosi,
maka bukan dialog yang terjadi, tetapi perang klaim. Masing-masing pihak akan
merasa sebagai yang benar.
Jika ini yang terjadi, dialog itu tidak akan menghasilkan pemikiran
kreatif. Dialog dalam lingkungan suatu kelompok hampir mustahil jika segala
sesuatunya diletakkan dalam tanda tanya. Suatu dialog memerlukan titik tolak,
yang sedapat mungkin disepakati semua peserta. Jika suatu pandangan baru
mengenai suatu masalah diketengahkan, ia bisa diperjelas hanya dengan
membandingkannya dengan suatu latar belakang pokok ajaran yang disepakati, yang
ajaran itu, untuk suatu masa, dianggap atau diterima sebagai seolah-olah
konstan atau paling-paling mengalami peralihan karena pergantian perspektif. Bersambung.
Parakan Trenggalek, 27 Mei 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.