Selasa, 28 Mei 2013

KEBENARAN DAN KEARIFAN [1]


Bagian pertama
Oleh Ngainun Naim

Meyakini kebenaran itu penting. Makna penting manusia sebagai makhluk rasional terletak pada keyakinannya akan kebenaran. Namun satu hal yang seharusnya dipahami bersama, kebenaran yang diperoleh manusia itu sifatnya tidak absolut. Dalam bahasa Nurcholish Madjid, kebenaran yang dicapai manusia adalah ”kebenaran relatif”. Kebenaran semacam ini mengindikasikan bahwa manusia tidak bisa mengklaim kebenaran yang diperolehnya sebagai kebenaran final. Selain itu, manusia harus membuka diri dan kesadarannya akan adanya kemungkinan kebenaran yang lain.
Prof. Bernard Adeney-Risakotta, Ph.D dalam makalahnya untuk Seminar Internasional yang digelar STAIN Tulungagung pada 20 November 2010”, yang berjudul ”Tolerance and Intolerance: Rethinking Interfaith Relations in Indonesia” menguraikan secara apik mengenai bagaimana kebenaran yang diperoleh manusia itu sifatnya relatif. Prof. Berney mengambil contoh mengenai bagaimana mahasiswanya di Program Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) yang berasal dari Timur Tengah yang selalu berbicara atas nama Islam. Setiap berbicara ia selalu memulainya dengan ”Menurut Islam..”. Pandangan semacam ini, tentu saja, tidak selalu disetujui oleh mahasiswa ICRS lain yang kebetulan juga beragama Islam. Maka, diskusi demi diskusi pun berlanjut. Pada akhirnya, mahasiswa dari Timur Tengah tersebut memahami perspektifnya dan merubah kalimatnya secara lebih arif menjadi, ”Menurut Islam yang saya pahami...”.
Kisah Pak Berney memberikan pembelajaran penting mengenai bagaimana merubah perspektif yang dilakukan penuh kearifan. Merubah pandangan orang itu tidak mudah. Perubahan pandangan dapat terjadi melalui dialog yang intensif, tanpa kebencian, setara, dan tidak meremehkan pihak yang lain. Ada kesadaran dan kebersamaan serta menghargai satu sama lain. Pada titik inilah, pencerahan dapat terjadi. Pencerahan itu bukan soal klaim, tetapi soal keterbukaan hati untuk menerima. Dan ini tidak akan terjadi kalau landasannya adalah, meminjam terminologi Kuntowijoyo, ”nalar yang dibungkus ego”
Dialog sendiri, mengikuti perspektif cendekiawan Muslim Nurcholish Madjid dalam bukunya Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, harus dilakukan dengan penuh kesadaran. Jika ada emosi, entah karena satu pihak memancing emosi dan pihak lain juga terpancing emosi, maka bukan dialog yang terjadi, tetapi perang klaim. Masing-masing pihak akan merasa sebagai yang benar.
Jika ini yang terjadi, dialog itu tidak akan menghasilkan pemikiran kreatif. Dialog dalam lingkungan suatu kelompok hampir mustahil jika segala sesuatunya diletakkan dalam tanda tanya. Suatu dialog memerlukan titik tolak, yang sedapat mungkin disepakati semua peserta. Jika suatu pandangan baru mengenai suatu masalah diketengahkan, ia bisa diperjelas hanya dengan membandingkannya dengan suatu latar belakang pokok ajaran yang disepakati, yang ajaran itu, untuk suatu masa, dianggap atau diterima sebagai seolah-olah konstan atau paling-paling mengalami peralihan karena pergantian perspektif. Bersambung.
Parakan Trenggalek, 27 Mei 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.